Sanubari

Imajiner
Chapter #2

Bagian 2: Cerita Pagi Hari

Suasana jalanan kali ini cenderung sepi, karena Hasan dan Hakim sudah melewati jembatan yang menandakan batas jalan kampung dan jalan menuju kota.

Kali ini ayah dan anak ini lebih sering mengobrol,

“Nanti Hakim ikut ya yah nangkap ikannya?” Tanya Hakim dengan gembira.

“Nggak usah nak, jauh kolamnya.” Balas Hasan sambil menuntun sepedanya.

“Enggak apa-apa, kasihan ayah soalnya.”

“Terima kasih nak, tapi ayah bisa sendiri kok.”

Hakim terlihat murung, melihat anaknya murung Hasan lantas berkata,

“Bantu ibu saja di rumah, menyiapkan bahan-bahan.”

“Iya yah.” Jawab Hakim pelan.

Tak mau anaknya kecewa, Hasan lantas berbicara topik lain.

“Oh iya, bagaimana persiapan UN?”

“Kurang lebih 80% yah. Hakim terus bersiap kok.” Ujar Hakim Yakin.

“Bagus kalau begitu.” Ujar Hasan yang senang mendengar keyakinan ayahnya.

“Kan ayah tahu, kalau target Hakim adalah masuk UGM Fakultas Hukum. Makanya Hakim harus giat belajar supaya bisa lulus UN dengan hasil maksimal.”

“Ayah tahu nak. Ayah dan ibu tiap malam berdoa kok supaya cita-citamu bisa tercapai.” Balas Hasan sambil mengelus kepala anaknya.

“Amin, terima kasih yah.” Ujar Hakim sambil tersenyum.

Persimpangan jalan pun terlihat, Hasan dan Hakim saling berpamitan sebelum akhirnya berpisah.

Tujuan Hasan dan Hakim berbeda, Hasan ke arah timur dengan tujuan SD Mentari Pagi untuk mengajar, sedangkan Hakim ke arah barat untuk belajar di SMA Sinar Harapan.

Hasan terlihat mulai mengayuh sepedanya menuju tujuannya. Sedangkan Hakim menunggu angkot datang untuk mengantarkannya ke sekolahnya.

“Hakim akan bahagiakan ayah dan ibu. Hakim janji itu.” Gumam Hakim yang melihat ayahnya sudah meninggalkannya jauh.

***

Hasan sudah mengayuh sepedanya separuh jalan, tenaganya sudah menghilang seiring usia. Keringat pun mulai bercucuran di kening Hasan dan juga membasahi sebagian belakang bajunya.

Hasan merasa sepedanya semakin berat untuk dikayuh.

“Bannya bocor pak!” Ucap pengendara sepeda motor yang langsung melenggang entah kemana.

Hasan pun turun dari sepedanya untuk mengecek ban.

Astagfirullah.” Ucap Hasan sedih melihat bannya yang kempis.

Sebuah paku tertancap di ban belakang sepedanya. Hasan yang sudah turun dari sepedanya, kali ini mulai menuntunnya. Ia tidak ingin telat untuk mengajar.

***

Di dalam angkot yang terisi penuh, Hakim menyempatkan diri untuk membaca buku pengantar hukum miliknya.

“Ayo neng, Rambutan - Palawija.” Sayup-sayup kenek angkot dari luar.

Seorang wanita pun masuk kedalam angkot. Suasana sesak tidak dapat dihindari.

“Rambutan - Palawija, Rambutan - Palawija. Langsung berangkat.”

Walaupun sudah penuh sesak, kenek angkot tetap memaksakan untuk memuat penumpang.

“Langsung berangkat, langsung berangkat.” Kali ini ucap si supir angkot.

Sadar situasi tidak memungkinkan untuk membaca buku, Hakim lantas menutup bukunya dan memasukkannya kedalam tas.

“Sudah tahu penuh, masih saja dipaksakan masuk.” Kesal Hakim dalam hati.

Akhirnya angkot pun berjalan setelah memuat penumpang terakhir.

***

Setelah menuntun sepedanya cukup lama, Akhirnya Hasan menemukan tambal ban untuk menambal ban sepedanya yang bocor.

“Wah, bocornya sampai ke dalam pak.” Ujar tukang tambal ban setelah selesai mengecek kondisi ban sepeda Hasan.

“Iya, parah juga ya?” Tambah Hasan yang ikut memeriksa.

Suasana terdiam sejenak, hingga akhirnya,

“Kalau diganti kena berapa?” Tanya Hasan.

“Empat puluh ribu pak. Nanti saya kasih ban yang bagus sekalian.”

Hasan nampak ragu, ia membalas ucapan tukang tambal itu,

Lihat selengkapnya