Tibalah hari pengumuman Ujian Nasional. Hakim sedari tadi menunggu kurir pos yang akan datang ke rumahnya untuk mengantarkan hasil. Orang tuanya, Hasan masih mengajar di sekolah, sementara Nurlidya masih bekerja di rumah Ibu Sulastri.
Keluarga mereka tidak mempunyai alat komunikasi seperti handphone karena keterbatasan biaya. Oleh karenanya Hakim harap-harap cemas menunggu hasil. Ia takut mengecewakan orang tuanya yang pulang nanti dari pekerjaannya masing-masing.
***
Kurir pos tiba di rumah Sulastri untuk mengantarkan hasil ujian milik anaknya, Ikbal.
Gegap gempita terpancar dari Sulastri dan Ikbal. Mereka saling mengucap syukur dan tak henti-hentinya ibu dan anak ini saling berpelukkan erat.
“Selamat ya nak! Ibu bangga!”
“Iya ma, sama-sama.”
Percakapan tersebut membuat hati Nurlidya iri. Pasalnya ia masih sibuk menyelesaikan tugasnya di rumah Sulastri, ia masih tidak bisa bertemu dengan Hakim yang ia yakini betul bahwa kurir pos sudah datang ke rumahnya, karena rumah Sulastri dan Nurlidya yang satu kampung.
“Lihat nih Nur, nilai anak saya.” Ujar Sulastri memberi secarik kertas kepada Nurlidya dengan perasaan bangga.
Nurlidya melihat sekilas nilai milik Ikbal. Ia sejatinya ingin membandingkan nilai Ikbal dengan nilai anaknya ketika ia tiba di rumah nanti.
“Selamat ya nak Ikbal. Nilainya bagus.” Ujar Nurlidya tersenyum.
“Sama-sama bu. Ikbal harap Hakim bisa lulus dan nilainya baik.” Gumam Ikbal.
“Hakim kayaknya sulit untuk dapat nilai sebaik kamu ini.” Ujar Sulastri kecut.
Nurlidya mencoba bersabar menghadapi tingkah majikannya ini. Menurutnya nilai Ikbal tidak sebesar yang ia pikirkan sebelumnya, bahkan cenderung pas-pasan. Namun ia tidak mau mengejek hal itu karena Nurlidya sendiri belum melihat nilai anaknya, Hakim.
***
“Hebat kamu nak! Ayah bangga sama kamu!”
Selepas makan malam, Hakim memberikan secarik kertas nilai Ujian Nasional kepada ayahnya yang baru pulang Maghrib tadi. Ibunya telah melihatnya lebih dulu ketika pulang kerja dari rumah Ibu Sulastri. Tak disangka-sangka, Hakim masuk jajaran 5 besar anak dengan nilai tertinggi. Bahkan nilai Ikbal tidak ada apa-apanya dibanding nilai Hakim ini.
“Sama, ibu juga bangga nak.” Ucap Nurlidya yang langsung memeluk anaknya dari belakang.
“Ini semua tentunya berkat doa ayah dan ibu juga.” Balas Hakim.
Hasan mengelus kepala anaknya, sementara Nurlidya terus memeluk anaknya lebih erat.
"Oh iya, lusa akan ada perpisahan di sekolah yah, bu. Ibu Erwin guru BK Hakim tadi sempat mampir dan bilang, ayah dan ibu di undang untuk datang karena Hakim masuk 5 besar."
“Wih.. Ibu amat bangga nak!” Jawab Nurlidya gembira.
“Jadi bagaimana? Ibu ayah datang kan?”