Sanubari

Imajiner
Chapter #6

Bagian 6: Realita

Pukul 4 sore ini adalah waktu yang ditunggu-ditunggu oleh Hakim. Pasalnya hasil SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) akan segera di umumkan di website resmi.

Dari jam 3 sore, Hakim sudah keluar dari rumahnya untuk bergegas menuju warnet yang jaraknya memanglah cukup jauh dari kampungnya.

Hakim sangat tidak sabar.

Sepanjang perjalanan Hakim sangat antusias dan amat yakin bahwa modal lima besar nilai tertinggi di sekolahnya bisa membantunya banyak untuk bisa masuk ke jurusan yang ia inginkan.

Hakim sangat yakin itu.

***

Sesampainya di warnet, ia lantas memasukkan nomor peserta miliknya.

"Bismillah, Bismillah" Ucapnya sembari menarik nafas dalam-dalam.

Akan tetapi, Hakim kaget bukan main kalau rupanya ia gagal masuk ke Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.

"Hah?" Ujar Hakim sambil termenung.

Beberapa kali Hakim mencoba merefresh halaman pengumuman ujian, akan tetapi hasilnya tidak berubah. Hakim tetap dinyatakan gagal masuk di UGM.

“Nggak mungkin, ini nggak mungkin..” Ujar Hakim meratapi.

“Masa predikat nilai tertinggiku tidak membantu banyak? Ini tidak mungkin..”

Hakim berulang kali menyalahkan dirinya sendiri dan terus menyesal.

Hingga sepanjang perjalanan ke rumahnya, Hakim masih terdiam dan murung. Hari yang ia anggap akan menjadi hari yang bersejarah baginya mendadak luntur. Orang tuanya jelas akan kecewa kepadanya, apalagi ia tidak bisa menjawab keraguan banyak orang yang telah meremehkannya.

***

“Tidak apa-apa nak, ayah paham usahamu. Mungkin itu bukan takdir Tuhan.” Imbuh Hasan yang mencoba memberikan Hakim semangat.

“Iya nak ibu setuju dengan ayah. Jangan disesali berlebih ya.” Pungkas Nurlidya seraya menenangkan anaknya.

Hakim masih terdiam, matanya memerah menahan tangis kekecewaan. Di pikirannya ia berusaha memikirkan cara lain bagaimana harus masuk ke UGM.

“Sebenarnya ada ujian lain yah, bu. Namanya SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) Tapi ada biayanya.”

Hasan yang duduk disebelah anaknya, kali ini mencoba lebih dekat kepadanya, dengan pelan ia berkata.

“Sebagai orang tua yang ingin melihat cita-cita dan impian anaknya tercapai, jangan kamu pikirkan masalah biaya nak. Ayah dan Ibu memiliki tabungan yang uangnya mungkin bisa kamu gunakan.”

“Benarkah?” Jawab Hakim sumringah.

“Iya nak, gunakanlah untuk masa depanmu.” Tambah Hasan.

Hakim memeluk erat ayahnya sambil menangis pelan.

“Maafkan Hakim, yang sudah merepotkan ayah dan ibu. Hakim berjanji, Hakim akan belajar lebih giat untuk membayar kepercayaan ayah dan ibu ini.”

“Iya nak, ayah paham. Impianmu itu nomor satu. Wujudkanlah.” Jawab Hasan sambil menyeka air mata Hakim yang mulai turun.

Nurlidya pun ikut menenangkan Hakim yang mulai menangis tersedu.

Lihat selengkapnya