Hari Minggu tiba, Hakim yang libur dari pekerjaannya memutuskan untuk berlari di trek lari. Ia berlari dengan rasa emosi lantaran pikirannya masih terbesit sindiran orang-orang yang ada di kampungnya hingga rasa sesalnya menjadi anak yang tidak berguna bagi kedua orangtuanya.
“Sialan.. Sialan.. Sialan!”
Beberapa kali Hakim mengumpat diri ketika trek lari kosong tidak ada orang. Hingga akhirnya ia letih berlari dan memutuskan untuk duduk dan beristirahat di pinggir trek.
Ia lantas meminum air yang ia bawa dari rumah, sambil melihat orang-orang yang berlari, pikirannya masih kacau. Ia masih tidak bisa melupakan sindiran para tetangga kampungnya
“Hakim?”
Seorang bapak tua mendatanginya dan duduk disebelahnya. Hakim tampak tidak asing dengan bapak tua ini.
“Iya.”
“Saya Pak Rudi, masih ingat?” Tanya Pak Rudi sambil menjulurkan tangannya untuk mengajak Hakim bersalaman.
“Oh iya! Pak Rudi.. Pak Rudi… Yang kemarin lari disini…”
“Iya yang kolaps pada saat itu. Untung ada kamu Kim.”
Sambil menjawab salaman tangan Pak Rudi, Hakim memuji Pak Rudi dalam hati, ia masih hapal dengannya, Hakim sendiri saja sempat bingung dan pangling.
“Kalau enggak ada kamu, bisa-bisa saya enggak pernah bisa lagi olahraga disini.” Cetus Pak Rudi sambil tertawa yang kemudian diikuti oleh Hakim yang tertawa malu.
“Sekarang ada yang mendampingi kan pak?” Gurau Hakim.
“Ada, itu pengawal saya.” Tunjuk Pak Rudi dengan telunjuknya kearah seseorang yang masih berlari.
Hakim sejenak Heran, siapa Pak Rudi ini, hebat sekali ia bisa membawa pengawal.