Sanubari

Shinta Jolanda Moniaga
Chapter #4

4. The Past

Kalau hari ini tidak ada fashion show, Gwen pasti sudah mengurung diri di kamar entah sampai kapan. Intinya Gwen tidak ingin sama sekali bertatap muka dengan Ibu kandungnya itu.

Agar hari ini ia tidak bertemu dengan Davina, Gwen sengaja bangun pagi-pagi benar dan bersiap untuk meninggalkan rumah sebelum semuanya bangun. Walaupun peragaan busananya baru akan dimulai pada sore hari. Gwen juga sudah mengubungi Hania agar bisa menumpang istirahat sebentar di rumah sahabatnya itu.

“Gwen ?” panggil Mr. Franz yang berhasil mengagetkan Gwen, ketika Gwen hendak keluar kamar diam-diam.

“Papa…” rengek Gwen sambil menyapu dadanya. “Kalau Gwen jantungan gimana ?”

Mr. Franz hanya bisa terkekeh pelan. “Lagian kamu kenapa kayak maling gitu sih ? Terus ini kenapa pagi-pagi gini udah mau berangkat ? Mau kemana ?” cercanya.

“Kan Gwen udah chat Papa kalau Gwen hari ini ada fashion show.” jawabnya berusaha untuk tidak gugup.

Yang di Senayan ? Bukannya nanti sore ? Agensi Papa kan juga ikut sponsor.”

Gwen terdiam. Rupanya ia sudah salah berbohong.

“Acaranya memang sore Pa, tapi Gwen harus fitting baju dulu di tempat desainernya. Soalnya kemarin nggak keburu.” kilahnya.

Mr. Franz mengangguk. “Ya udah, tapi jangan lupa pamit sama Mama dulu sebelum berangkat.”

“Nggak mau.” balasnya cepat.

“Kalau nggak mau pamit, nggak boleh berangkat ! Semua pintu Papa kunci.” ancam Mr. Franz lalu langsung turun meninggalkan Gwen.

Gwen mencak-mencak. Niatnya menghindar, tapi malah tertangkap basah. Sial seribu sial.

Ia terpaksa turun dengan langkah yang sangat berat. Wajahnya pun sangat cemberut. Mau bagaimana lagi ? Gwen memang keras, tapi Mr. Franz juga tak kalah keras. Daripada ia harus membayar denda karena tiba-tiba membatalkan kontrak, lebih baik ia menurut pada sang Ayah.

“Pagi sayang.” sapa Davina lembut.

Davina sudah menunggu di kursi ruang keluarga, tempat favorit Gwen dan Mr. Franz menghabiskan waktu berdua. Begitu melihat Gwen turun, Davina pun langsung berdiri dan melemparkan senyum yang begitu semringah kepada anaknya itu.

Gwen enggan membalas. Ia sama sekali tidak menatap Davina.

“Saya berangkat.” pamitnya datar.

“Mau Mama bekalin apa gitu sayang ?” tanya Davina begitu hangat.

Gwen tertawa sinis. “Saya bukan anak kecil lagi yang harus dibekalin kalau mau berangkat pagi-pagi. Ups, saya lupa, anda kan ninggalin saya udah lama ya ? Mana ingat anda umur saya sekarang berapa. Mungkin ingat punya anak perempuan juga nggak.” sindirnya.

“Gwen Mama bisa jelasin semuanya sayang.” Davina mulai melangkah dengan mata yang sudah berkaca-kaca menghampiri Gwen.

 “Nggak ada yang perlu dijelasin lagi.” tolak Gwen.

“Tapi Gwen …” kini Davina tepat berada di hadapan Gwen.

Wajah Gwen mulai memerah, untuk pertama kalinya setelah lima belas tahun ia akhirnya menatap langsung mata sang Ibu. Tapi kali ini, dengan tatapan tajam.

“Anda ingat waktu dulu saya berusaha mencegah anda untuk tidak pergi ? Saya sampai berlutut di bawah kaki anda dan anda tetap tidak memperdulikan saya. Dan sekarang ? Dengan tanpa ada rasa berdosanya anda tiba-tiba datang lagi dalam kehidupan kami yang jelas-jelas, sudah sangat bahagia tanpa kehadiran anda.” kata Gwen terang-terangan dan tetap menatap tajam Davina.

Davina berusaha meraih tangan Gwen tapi dihempas Gwen dengan sangat cepat.

“Satu hal yang harus anda tahu, saya tidak akan pernah memaafkan dan menginginkan kehadiran anda lagi dalam hidup saya. Selamanya !” sambung Gwen dan langsung bergegas meninggalkan Davina.

“Gwen !!!” tegur Mr. Franz dengan intonasi yang agak tinggi.

Gwen tidak memperdulikan Mr. Franz dan tetap berjalan cepat untuk segera keluar dari rumah.

*****

Jika disuruh pilih menghabiskan waktu di kamar atau di dapur, Hania pasti akan lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di dapur. Tontonan favoritnya bukan drama Korea, tapi tutorial memasak di Youtube. Sehari saja ia tidak memegang spatula, seperangkat pisau, talenan, mikser dan kawan-kawannya, tangannya pasti gatal. Percaya.

Setiap pagi ia dan Ibunya pasti selalu berduet menyiapkan sarapan di dapur. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya, hobi memasak Hania memanglah turunan dari Ibu Fifna.

Pagi ini ia memasak nasi goreng, sesuai dengan permintaan Gwen sahabatnya itu. Bukan hanya numpang istirahat, Gwen juga rupanya ingin sekalian numpang sarapan dan makan siang. Sahabat yang tidak ingin menyia-nyiakan bakat luar biasa Hania.

Ponsel Hania tiba-tiba berdering ketika Hania baru saja memasukan bumbu di wajan untuk ditumis. Ia mengangkat telpon menggunakan tangan kirinya, sementara tangan kanannya tetap lihai menggerak-gerakan spatula.

“Halo Gwen.” jawab Hania.

Han, gue udah di depan.”

“Oh oke. Bentar gue ke depan.”

“Gwen udah di depan ?” tanya Ibu Fifna yang sementara mengocok telur untuk didadar.

“Iya Ma. Tolong gantiin aku bentar ya Ma ? Aku mau bukain pintu dulu buat Gwen.”

“Oke. Cepetan gih ! Kasihan kalau Gwen nunggu lama-lama di depan.” Ibu Fifna mengambil spatula dari tangan Hania.

Masih dengan celemek, Hania berjalan cepat menuju pintu utama rumahnya itu. Setelah ia membuka pintu, betapa terkejutnya ia ketika melihat Gwen sudah berdiri sambil sesenggukan di depan pintu.

Lihat selengkapnya