“Ma ? Memangnya Hania sakit apa ?” tanya Hania setelah selesai menelan bubur yang disuapi oleh Ibu Fifna .
“Mama juga belum tahu sayang. Kan hasil tesnya baru keluar sebentar sore. ” jawab Ibu Fifna sambil bersiap menyuapi Hania lagi.
“Kok perasaan aku jadi nggak enak ya Ma ?”
“Kamu nggak boleh ngomong gitu dong sayang. Yang terpenting sekarang kita sama-sama berdoa, yakin semuanya akan baik-baik aja. Oke ?” kata Ibu Fifna sambil mengelus puncak kepala Hania.
Hania yang tadinya selalu yakin bahwa sakit yang dirasakannya hanyalah sakit biasa, kali ini mulai takut dan khawatir. Bagaimana tidak ? Seumur hidup, ini kali pertama ia kejang-kejang. Belum lagi serangkaian tes yang dilaluinya hari ini, semakin membuatnya menjadi parno.
Pintu kamar rawat Hania tiba-tiba terbuka. Hania yang baru selesai minum obat langsung mengarahkan pandangannya ke arah pintu.
“Nathan ? Kamu belum pulang ?” tanya Hania kaget.
Nathan menggeleng sambil nyengir. “Belum. Tadi aku cuman ke kantin bentar buat minum kopi.”
“Kamu pulang dulu gih. Istirahat. Kan aku udah ada Mama.”
“Bentar lagi deh sayang.” bujuk Nathan.
Hania menghembuskan napas panjang. “Kamu itu udah dari semalam di sini Nat. Nanti kalau kamu sakit karena kecapean jagain aku gimana?”
“Aku rela kok sakit. Yang penting bisa lihat kamu sembuh.” kedengaran gombal memang. Tapi sebenarnya Nathan sungguh-sungguh.
“Nathan aku serius.. Kamu pulang, mandi, terus istirahat. Pokoknya kamu nggak boleh ke sini kalau belum istirahat.” balas Hania pura-pura ngambek.
Nathan tersenyum lalu mengacak-acak puncak kepala Hania. “Iya deh iya.. Aku pulang.”
Hania tersenyum lebar. “Nah gitu dong.”
“Ya udah kalau gitu Nathan pamit ya Tante. Sebentar sore Nathan pasti balik lagi.” pamit Nathan lalu salim kepada Ibu Fifna.
“Iya Nak Nathan. Makasih ya udah mau repot-repot jagain Hania. Titip salam buat Mama sama Papa kamu.” balas Ibu Fifna tersenyum.
Semalam Nathan menginap di rumah sakit untuk menjaga Hania. Bukan hanya Nathan, Abi dan Gwen juga semalam menginap di rumah sakit. Tapi karena hari ini masih hari kerja, mereka berdua pun pulang lebih dulu.
Yang sakit satu, yang jagain empat sekaligus. Hania memang sangat beruntung.
*****
“Ini hasil Hania sudah keluar ya Bu. Kita lihat sama-sama.” kata Dokter Manuel sambil mengeluarkan hasil CT scan dan MRI kepala Hania dari dalam amplop besar.
Dokter Manuel melihat hasil tes dengan begitu serius, sambil membandingkan keduanya.
“Gimana Dok ?” tanya Ibu Fifna agak cemas.
“Jadi begini Bu...” Dokter Manuel kemudian memperlihatkan hasil-hasil tes itu dan menjelaskannya dengan sangat detail. “Berdasarkan penjelasan saya tadi, bisa dipastikan bahwa ada terdapat sel-sel tumor, yang tumbuh di otak anak Ibu saat ini.”
Ibu Fifna sontak terdiam. Ia memandang hasil-hasil tes itu nanar. Seperti ada sesuatu yang baru saja menamparnya.
“Selanjutnya kami akan melakukan tes biopsi, yaitu berupa pengambilan sampel jaringan tumor. Tes ini untuk memastikan jenis tumor yang ada di otak Hania, dan pengobatan yang bisa kita lakukan nanti. ” lanjut Dokter Manuel menjelaskan.
“Tumor kan Dok ? Bukan kanker ?” tanya Ibu Fifna dengan suara bergetar.
“Saya belum bisa memastikan sebelum dilakukan tes biopsi Bu. Semoga saja, tumor yang ada di otak Hania saat ini masih tergolong jinak dan belum menyebar. Kemungkinan terburuk nantinya, jika memang tumor itu sudah menyebar, maka bisa dipastikan itu adalah kanker.”
Air mata Ibu Fifna mulai menetes. “Masih bisa sembuh kan Dok ?”
“Sebagai Dokter kami akan terus berusaha yang terbaik bagi kesembuhan pasien.” jawab Dokter Manuel.
Ibu Fifna hanya bisa terdiam. Satu katapun tak sanggup lagi keluar dari mulutnya saat ini. Tidak ada yang lebih pedih bagi seorang Ibu, selain mengetahui anak yang paling disayanginya menderita sebuah penyakit berbahaya.
*****
“Hania. Lo mau gue kupasin buah yang mana ? Pisang, apel, jeruk, durian, atau nangka ?” tanya Gwen yang sudah bersiap dengan pisau di tangannya.
“Perasaan tadi kita nggak beli durian sama nangka deh.” sambung Abi bingung.
“Memang nggak. Gue cuman berspekulasi biar kedengaran banyak gitu pilihannya.” balas Gwen lalu nyengir tak berdosa.
“Dasar lo !” Abi menjitak pelan kepala Gwen.
Hania tertawa pelan. “Apel aja deh Gwen.”
“Oke.” ucap Gwen sambil mengacungkan jempolnya. “Kupas Bi !” suruh Gwen lalu memberikan pisau di tangannya kepada Abi.
“Gimana sih lo ? Kan lo udah pegang pisaunya, kenapa nggak lo aja ?” tanya Abi terheran-heran.