“Kamu kenapa sih dari tadi kelihatan nggak tenang gitu ?” tanya Adam sambil melirik ke arah Abi yang ada di sampingnya.
“Hari ini hasil tes biopsinya Hania keluar. Aku cuman takut aja kalau nanti hasilnya nggak bagus.” jawab Abi cemas.
“Oh…” balas Adam santai lalu kembali fokus menyetir.
Abi menatap Adam. “Kamu nggak mau jengukin Hania ?”
“Aku capek Bi. Habis kita dinner nanti juga aku mau langsung pulang istirahat.”
“Gimana kalau kita perginya sekarang aja ? Makan malamnya kita batalin aja dulu. Kan bisa besok.” usul Abi.
“Nggak bisa gitu dong Bi. Aku udah reservasi restoran mahal untuk malam ini. Rugi kalau dibatalin gitu aja.” tolak Adam begitu mudahnya.
“Oh gitu. Ya udah.” serah Abi.
Dari dulu Adam memang tidak pernah peduli dengan sahabat-sahabat Abi. Setitik niatan untuk lebih mendekatkan diri dengan Hania dan Gwen pun tidak ada. Bagi Adam, teman Abi ya teman Abi. Bukan menjadi urusannya.
*****
“Bagaimana Dok dengan hasil biopsinya ? Tumor di otak anak saya masih bisa diangkat kan Dok ?” tanya Ibu Fifna.
“Begini Bu, hasil dari biopsi menunjukkan bahwa tumor di otak anak Ibu sudah memasuki stadium tiga. Yang dalam artian, sel-sel tumor sudah berkembang dengan sangat cepat dan sudah menyebar ke jaringan otak lainnya.” Dokter Manuel melipat kedua tangannya di atas meja, dan sedikit memajukan badan. “Mungkin ini berat dan sulit untuk Ibu, tapi saya harus katakan bahwa anak Ibu menderita kanker otak stadium tiga.”
Ibu Fifna langsung tersandar lemas di kursi. Jantungnya berdebar tak beraturan. Air mata mulai mengalir deras membasahi kedua pipinya. Apa yang ia takutkan keluar dari mulut Dokter, ternyata justru itu yang ia dengar. Sebuah kenyataan pahit yang memang sangat berat dan sulit untuk diterima oleh orang tua manapun.
“Dokter saya mohon. Tolong lakukan yang terbaik untuk kesembuhan anak saya.” Ibu Fifna memohon sambil tersedu-sedu.
“Iya Ibu. Kami akan segera melakukan operasi untuk membuang tumor semaksimal mungkin. Setelah itu, beberapa terapi untuk mencegah penyebaran ke organ lain harus dijalani oleh Hania.” balas Dokter Manuel.
“Apapun itu Dokter, tolong segera lakukan. Saya mau anak saya segera sembuh.” Ibu Fifna terus menangis. Ia terus berharap bahwa ini semua hanya mimpi buruk. Sekalipun kenyataan, biarlah ini semua menimpa dirinya. Jangan Hania.
*****
Malam ini Hania dijenguk oleh nyamuk cantik. Nyamuknya model pula. Nama nyamuknya Gwen Schneider. Karena malam ini Abi masih makan malam dengan Adam, Gwen terpaksa menjadi penonton tunggal aksi perhatian Nathan yang sedang menyuapi Hania makan malam. Daripada jiwa jomblonya semakin tertekan, ia segera mengambil remote TV dan menyalakannya. Lebih baik nonton Upin Ipin daripada nonton orang pacaran.
Mata Hania, Gwen, dan Nathan langsung tertuju ke pintu kamar rawat, ketika melihat knop pintu bergerak. Begitu pintu terbuka, seorang wanita paruh baya pun masuk dengan mata yang sangat sembap. Siapa lagi kalau bukan Ibu Fifna.
Nathan langsung berhenti menyuapi Hania, dan Gwen segera mematikan TV yang baru saja dinyalakannya. Perasaan mereka mendadak tidak enak setelah melihat Ibu Fifna datang dengan ekspresi yang tidak seperti biasanya.
“Gimana Tante hasilnya ?” tanya Nathan cepat.
Ibu Fifna menghela napas panjang. Bingung untuk memulai semuanya darimana. Memang ada pilihan untuknya berbohong dan tidak memberitahu yang sebenarnya kepada Hania. Tapi ia tahu, ia sama sekali tidak berhak untuk melakukan itu. Tega tidak tega, mau tidak mau, ia harus tetap jujur akan apa yang sebenarnya.
“Kata Dokter, tumor di otak Hania bukan merupakan tumor jinak. Tapi… Tapi tumor yang sudah berkembang menjadi… Menjadi…” Ibu Fifna menggantung perkataannya. Tak sanggup untuk melanjutkannya.
“Kanker ?” sambung Hania dengan suara pelan.
Ibu Fifna menggigit bibirnya, menahan tangis. Ia lalu mengangguk. “Iya sayang.”
Semua terpaku. Semua terdiam. Hanya air mata yang bisa menggambarkan perasaan mereka saat ini. Hati Nathan pasti hancur, hati Gwen juga, hati Ibu Fifna apalagi. Hati Hania ? Pasti. Sudah pasti. Bahkan lebih hancur. Tapi bukan Hania namanya, jika terus berlarut dalam kesedihan dan menyerah dengan keadaan.
Hania segera menyeka air matanya yang sempat jatuh, dan mengangkat dua sudut bibirnya. “Masih stadium tiga kan Ma ? Itu masih belum parah kok. Peluang kesembuhannya juga pasti masih besar.” katanya optimis.
Air mata Ibu Fifna makin menjadi. Terbuat dari apa sebenarnya hati anaknya ini ?
“Iya sayang. Dokter juga udah janji untuk melakukan yang terbaik, untuk kesembuhan kamu sayang.” balas Ibu Fifna yang masih berdiri tegap di dekat pintu.
Hania kemudian melebarkan kedua tangannya, sebagai tanda agar Ibu Fifna mendekat dan datang memeluknya.
Ibu Fifna berjalan pelan mendekati Hania dan memeluknya erat. Sangat erat.
“Mama jangan nangis dong. Kan Mama tahu aku paling nggak bisa lihat Mama nangis. Pokoknya Mama tenang aja, Hania pasti bisa sehat lagi. Hania akan terus ada di samping Mama.” ucap Hania yang justru berbalik menguatkan sang Ibu.
“Iya sayang. Mama juga janji akan terus ada di samping kamu.” janji Ibu Fifna lalu mengecup dahi Hania.