Setelah dipindahkan ke ruang ICU, kondisi Hania pelan-pelan mulai stabil hingga akhirnya berhasil siuman. Efek dari pasca operasi membuat wajah Hania bengkak dan masih agak sulit untuk berkomunikasi. Tapi Ibu Fifna dan Nathan terus bergantian mendampingi Hania dan semaksimal mungkin mengajak Hania berinteraksi.
Walaupun masih terbata-bata dan belum terlalu jelas, ada satu pertanyaan yang berusaha Hania tanyakan. “Gwen dan Abi mana ?”
Ibu Fifna dan Nathan pun hanya bisa mengarang cerita bebas karena tidak mau membuat Hania sedih.
Gwen dan Abi mendadak tidak pernah muncul lagi di rumah sakit, sejak Hania selesai dioperasi. Mereka yang biasanya tidak pernah absen mendampingi Hania, kini menghilang bak ditelan bumi. Ibu Fifna dan Nathan terus mencoba menghubungi kedua sahabat Hania itu, tapi tak pernah ada jawaban.
Setelah kondisi Hania mulai membaik dan mulai bisa interaksi lagi, ia akhirnya dipindahkan ke ruang rawat inap.
“Ma, bisa tolong telponin Gwen sama Abi nggak ?” pinta Hania kepada Ibu Fifna.
“HP Mama pulsanya lagi habis sayang, Mama lupa isi.” kata Ibu Fifna bohong.
“Pakai HP aku aja Ma, masih ada pulsanya kok.” balas Hania.
“Ya ampun,” ucap Ibu Fifna sambil menepuk jidatnya. “HP kamu lupa Mama charge sayang, batreinya udah habis. Mama charge dulu ya ?” lanjut Ibu Fifna menemukan alasan lain untuk berdalih.
“Nat ?” panggil Hania.
“Iya sayang ?” balas Nathan sambil memegang tangan Hania.
“Tolong telponin Abi sama Gwen ya ? Please..” mohon Hania walaupun dengan suara yang masih lemas.
Nathan mengangguk lalu tersenyum. Mau ikut membohongi Hania tapi tak tega duluan melihat wajahnya.
“Oke.” Nathan lalu mengambil ponsel dari saku celana, dan mulai mencari kontak Abi untuk dihubungi pertama.
“Tolong dispeaker Nat.” kata Hania.
Nathan menuruti permintaan Hania. Panggilan itu terdengar tersambung, tapi tak kunjung diangkat. Ia lalu menghubungi Gwen, dan hasilnya pun tetap sama.
“Mereka lagi kenapa sih..?” gumam Hania terdengar khawatir.
“Kamu tenang Han, mungkin merekanya lagi sibuk dan nggak sempat aja buat angkat telpon.” balas Nathan cepat.
“Tapi mereka nggak biasanya kayak gini Nat. Aku yakin pasti lagi terjadi sesuatu sama mereka.” ucap Hania mulai menangis.
“Hey..” Nathan mulai mengelus kepala Hania dan berusaha menenangkannya. “Kamu jangan nangis dong, nanti kepala kamu sakit.” sambungnya sambil menyeka air mata Hania.
“Tolong cari mereka Nat, aku mohon. Aku takut kalau sampai mereka kenapa-kenapa dan aku nggak ada di sisi mereka.” rintih Hania.
“Iya Han iya. Aku pasti akan cari Abi dan Gwen. Yang penting kamu istirahat dulu ya ? Aku janji pas kamu bangun nanti, mereka pasti udah ada di sini.” balas Nathan terus mengelus kepala Hania lembut.
Hania mengangguk pelan. “Makasih Nat.”
Sebenarnya Nathan dan Ibu Fifna sudah tahu tentang masalah yang menimpa Gwen. Dan mereka yakin, itulah yang menjadi alasan Gwen menghilang beberapa hari ini. Tapi mereka sama sekali tidak tahu kenapa Abi juga tiba-tiba ikut-ikutan menghilang.
Demi kebaikan Hania, Ibu Fifna dan Nathan pun memilih untuk belum menceritakan yang sebenarnya kepada Hania. Mereka tak ingin Hania kepikiran dan akhirnya memperburuk keadaanya.
*****
Patah hati. Dua kata itulah yang pantas menggambarkan perasaan Abi saat ini. Pengorbanan dan kesetiaannya selama ini dibalas dengan pengkhianatan yang begitu pedih. Empat tahun yang terbuang percuma, bersama dengan laki-laki yang bahkan disaat mereka putus, masih sempat-sempatnya merendahkan Abi.
Patah hatinya pun menjadi semakin kronis dan berkembang menjadi komplikasi, karena harus menanggung malu dan rasa bersalah yang sangat besar. Bagaimana tidak ? Berbagai cibiran dan tubiran terpaksa harus Abi tanggung karena pernikahan yang tiba-tiba dibatalkan. Dan yang membuat Abi semakin depresi, keluarganya juga harus ikut menanggung malu yang sangat besar karena kebodohannya selama ini.
Pernikahan yang seharusnya menjadi momen paling bahagia, malah menjadi momen paling tragis bagi Abi dan keluarga.
Abi benar-benar tertekan. Berhari-hari ia tak mau keluar kamar. Tiap hari ia menangis histeris dan berteriak frustasi. Membuat kedua orang tuanya semakin khawatir dan hampir ikut frustasi.
“Abi… Abi sayang.. Ada yang pengin ketemu nih Nak.” panggil Ibu Iris sambil mengetuk pintu kamar Abi.
Abi yang sedang berbaring dengan posisi tengkurap memilih untuk mengabaikannya. Ia terus melamun dan bersedih.
“Abi...” panggil Ibu Iris sekali lagi. “Keluar dulu sebentar sayang. Ada Nathan yang udah nungguin kamu di ruang tamu.” sambungnya.
Abi mengernyit. Heran kenapa Nathan tiba-tiba datang ke rumahnya. Padahal Abi sendiri belum memberitahu sahabat-sahabatnya tentang pernikahannya yang batal itu. Namun matanya langsung terbuka lebar karena tiba-tiba tersadar akan sesuatu. Sangking terpuruk dengan keadaan yang dialaminya saat ini, ia bahkan sampai lupa memikirkan keadaan Hania yang baru saja selesai dioperasi.
Takut terjadi apa-apa dengan Hania, Abi langsung beranjak dari tempat tidurnya dan keluar kamar.
“Nathan udah lama Ma ?” tanya Abi kepada Ibu Iris.
“Baru kok. Nanti habis ketemu Nathan kamu sekalian makan ya ? Seharian ini kamu belum makan lho.” balas Ibu Iris.
Abi mengangguk dan langsung berjalan cepat menemui Nathan di ruang tamu.
Begitu melihat Abi, Nathan agak kaget melihat mata Abi yang sangat bengkak dengan wajah yang sangat kusam. Tidak seperti Abi yang biasanya.
“Tumben lo ke sini ? Ada apa ? Hania baik-baik aja kan ?” tanya Abi sedikit panik.
“Hania udah sadar kok Bi. Udah dari empat hari yang lalu.”
Abi menatap Nathan nanar. Abi kemudian duduk di sofa dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Abi benar-benar merasa bersalah karena telah melupakan Hania, dan tidak ada di samping Hania saat ia sadar.
Nathan lalu duduk di samping Abi. “Gue turut prihatin ya Bi.”
Abi melepaskan kedua tangannya dari wajah. Nathan pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Ibu Iris.
“Thank you Nat. But please jangan singgung soal itu dulu. Keadaan Hania gimana ?” Abi langsung mengalihkan topik. Ia tak mau menangis di depan Nathan jika membahas masalah itu.