Sanubari

Shinta Jolanda Moniaga
Chapter #18

18. Logika dan Perasaan

Nathan mondar-mandir di depan ruang rawat Hania sambil sesekali melihat jam tangannya. Sudah dua jam sejak ia kembali dari rumah Abi, dan sampai sekarang Abi dan Gwen tak kunjung datang ke rumah sakit. Nathan terlihat sangat gelisah. Ia takut tidak bisa menepati janjinya kepada Hania ketika Hania bangun nanti.

“Nathan.” panggil Ibu Fifna yang baru saja keluar dari ruang rawat. 

Nathan membalikkan badan. “Iya Tante ?”

“Abi sama Gwen belum datang juga ?” tanya Ibu Fifna dengan suara pelan.

Nathan menggeleng. “Belum Tante.” jawabnya resah.

“Udah coba ditelpon ? Hania udah bangun soalnya.” kata Ibu Fifna ikut resah.

“Udah Tante. Tapi nomor mereka berdua nggak aktif.”

“Ya udah biar Tante aja yang nungguin mereka di sini. Kamu temuin Hania dulu di dalam, dia barusan nanyain kamu soalnya.”

“Iya Tante.”

Nathan membuka pintu dengan sangat pelan, dan ketika ia masuk, ia melihat Hania yang sudah tersenyum bahagia menyambutnya.

“Mereka mana Nat ?” tanya Hania begitu bersemangat.

“Mereka.. Eee...” jawab Nathan gelagapan sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. “Mereka…”

“Dua anak angkatmu datang Mama..” seru Abi dan Gwen ketika masuk ke ruangan Hania.

Nathan sontak bernapas lega. Keajaiban disaat kepepet memang nyata.

Dengan senyum yang begitu lebar, mereka berjalan menghampiri Hania dan mencium dahi Hania bergantian.

“Kalian kemana aja ?” lirih Hania dengan air mata yang mulai menetes.

“Habis bertapa sebentar Han di Gunung Kidul.” jawab Gwen sengaja menghibur Hania.

“Serius Gwen, kalian kenapa tiba-tiba ngilang ? Kalian nggak kenapa-kenapa kan ?” rengek Hania.

“Kita nggak kenapa-kenapa kok Han. Buktinya kita masih sehat walafiat kan ? Udah dong nangisnya. Yang penting sekarang kita udah ada di sini nemenin lo.” balas Abi tersenyum sambil menyeka air mata Hania dengan tangannya.

“Kayaknya Mama sama Nathan keluar dulu deh. Nggak mau ganggu reuni akbar kalian setelah empat hari nggak ketemu.” goda Ibu Fifna.

Empat hari memang. Tapi bagaikan empat tahun bagi Hania, Gwen, dan Abi.

Gwen nyengir. “Tante tahu aja. Makasih Tante atas perhatiannya.”

Ibu Fifna dan Nathan pun keluar dari ruangan, dan membiarkan Hania menikmati waktu bersama sahabat-sahabat tercintanya itu.

“Udah makan belum ?” tanya Abi kepada Hania.

Hania mengangguk pelan “Udah tadi pagi.”

“Baiklah kalau begitu, karena ini udah siang, berarti sekarang lo harus makan lagi . Oke ? Gue suapin.” bujuk Abi.

Hania tersenyum lebar. “Oke.”

“Mau duduk atau baringan aja Han ?” tanya Gwen.

“Duduk aja deh Gwen.” jawab Hania.

“Oke sini biar gue bantuin.” dengan sigap Gwen pun membantu Hania untuk duduk sambil bersandar di kasurnya.

“Segini udah nyaman belum ?” tanya Gwen.

“Udah Gwen. Makasih ya.” kata Hania dengan suara masih agak lemas.

“Kalau pusing bilang ya ?”

Hania terkekeh pelan. “Iya…”

Abi kemudian duduk di samping Hania, dan mulai menyuapi Hania.

“Terus gimana Han kata dokter ?” tanya Abi sambil menyeka bubur yang belepotan di sekitar mulut Hania dengan tisu.

“Gue dengar dari Nyokap sih katanya Dokter udah berusaha angkat sel kanker dari otak gue. Cuman ya itu, ada beberapa yang udah terlanjur menyebar di jaringan yang lain dan sulit untuk diangkat.” jawab Hania yang tetap terlihat tenang menjelaskan.

“Terus ?” sambung Gwen dengan ekspresi yang mulai khawatir.

 “Tapi kalian nggak usah khawatir. Lusa gue bakal diperiksa lagi buat mastiin kalau sel kanker itu nggak menyebar ke organ lain. Kalau nggak, sisa sel kanker di otak gue bisa dihilangin dengan kemoterapi. Dan gue bisa sembuh deh.” lanjut Hania yang begitu optimis dengan kesembuhannya.

“Amin…” ucap Gwen dan Abi kompak.

“Lo ingat kan kata gue ? Lo lebih kuat dari sel-sel kanker itu Han. Mereka pasti bakal kalah dan nggak akan pernah berani buat muncul lagi.” lanjut Abi.

“Lagian awas aja kalau mereka sampai nyebar. Gue tabok sampai KO.” tambah Gwen sambil memukul cukup kencang lengan Abi.

Sontak Abi menjerit. “Aw.. kenapa gue yang lo tabok asem ?!” geramnya.

Sorry. Kelepasan.” jawab Gwen begitu polos sambil nyengir tak berdosa.

Walaupun masih belum bisa tertawa lepas, tapi kebahagiaan benar-benar tidak bisa disembunyikan lagi dari wajah Hania. Semua sakit yang dirasakannya beberapa hari ini, seketika sirna karena kehadiran Gwen dan Abi yang selalu berhasil membuat dirinya tersenyum.

Lihat selengkapnya