Selama Hania terbaring di rumah sakit, ia dan Ibu Fifna mempercayakan kafe kepada salah satu orang kepercayaan mereka, karena Ibu Fifna sendiri pun tidak bisa ke kafe setiap saat karena harus menemani Hania.
Meski jalannya kafe sekarang tidak sebaik seperti waktu Hania sendiri yang menangani dulu, tapi mau bagaimanapun keadaannya, kafe yang telah susah payah ia bangun itu harus tetap berjalan. Sebab ini bukan hanya menyangkut nasib kafenya, tapi juga nasib pegawai-pegawainya.
Hania meminta tolong kepada Abi dan Gwen untuk membantu melihat keadaan kafe hari ini. Sekaligus menitip gaji kepada Abi dan Gwen, untuk bisa diberikan kepada pegawai-pegawai kafenya.
“Gwen tolong ambilin permen di tas gue dong. Seret nih.” kata Abi sembari fokus menyetir.
Tak ada respon dari orang yang ada di sebelahnya. Pergerakan tangan mencari permen di tas pun tidak ada. Sadar permintaan tolongnya tidak digubris, Abi pun melirik ke arah Gwen. Tidak sedang bermain ponsel atau tidur, Gwen justru hanya duduk bersedekap dan melihat ke arah jendela mobil sambil melamun.
Abi mencolek lengan Gwen dengan jarinya. “Mikirin apa sih ?” tanya Abi yang kali ini lembut dan tidak resek.
“Nggak mikirin apa-apa.” jawab Gwen pelan lalu mengalihkan pandangan ke depan.
“Kata-kata Hania tadi kan ?” tebak Abi.
“Nggak.” dalih Gwen.
Tidak bisa dipungkiri, kata-kata Hania di rumah sakit tadi seakan terbayang terus di pikiran Gwen. Ia mencoba untuk tidak perduli seperti biasanya, tapi bukannya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, kata-kata itu malah masuk dan tertancap dalam hati dan pikirannya.
“Oh…” Abi manggut-manggut. “Gue kira hati lo yang beku itu udah mulai mencair.” goda Abi.
“Hati gue bukan es batu !” balas Gwen malas.
“Apa dong ? Batu ?”
Gwen mendorong pelan pundak Abi. “Gue hati batu, lo kepala batu !” ketus Gwen.
Abi tertawa pelan. “Iya.. Gue akuin kok gue kepala batu. Tapi sekarang gue udah sadar karena udah kena batunya. Jadi gue saranin, karena sekarang lo baru kena pasirnya, mending lo cepat-cepat sadar. Daripada nanti keburu kena batunya, entar nyesel lho kayak gue.” katanya sambil melirik Gwen.
“Udah deh daripada lo banyak ngomong, mending sekarang lo antar gue ke suatu tempat !” suruh Gwen tiba-tiba.
Abi mengernyit, lalu melirik Gwen. “Kemana ? Bukannya kita mau ke kafe Hania ?”
“Lo anterin gue dulu, baru habis itu lo jalan ke kafenya Hania.” sambung Gwen.
“Jadi maksudnya gue ke kafe sendiri gitu ? Enak aja, kan yang dimintain tolong kita berdua.” protes Abi lalu mengerutkan bibirnya.
“Gue percaya sama lo, lo pasti bisa sendiri.” kata Gwen dengan tanpa berdosanya sambil menepuk-nepuk pundak Abi.
“Ngomong doang mah enak Schneider !” Abi makin cemberut. “Memangnya lo mau kemana sih ? Tiba-tiba banget gini.”
“Ke kantor Bokap. Ada yang pengin gue tanyaiin soalnya.”
“Timbang pengin nanya kan lewat telpon aja bisa, atau entar malam gitu pas lo pulang rumah ? Bokap lo kan nggak kemana-mana Gwen.”
“Nggak bisa Abi….” rengek Gwen. “Ini itu harus ditanyain sekarang dan nggak bisa lewat telpon. Level kepentingannya tuh diatas rata-rata.”
“Diatas rata-rata menurut ukuran siapa ? Kalau menurut ukuran lo gue yakin aslinya nggak penting-penting amat.’ balas Abi tak mau kalah.
“Ini itu menyangkut masa depan karir gue Bi, penting kan ? Sebagai sahabat lo harusnya mendukung dong.”
Abi melirik sinis Gwen lalu mendesah. “Hmm.. Ya udah iya.” serahnya terpaksa.
“Nah gitu dong. Nggak marah kan ?” rayu Gwen nyengir.