“Mama mau tebus obat kamu dulu di Instalasi Farmasi, nggak apa-apa kan Mama tinggal sebentar ?” tanya Ibu Fifna kepada Hania.
Hania tersenyum tipis. “Nggak apa-apa Ma, kan ada Nathan juga di sini.”
“Oke. Sebentar doang kok, nggak lama.” balas Ibu Fifna tersenyum, lalu mengambil tas dan menyampirkannya di pundak kiri.
“Lama juga boleh kok Tante.” canda Nathan sambil nyengir.
Ibu Fifna tertawa pelan, lalu keluar dari ruang rawat Hania. Tak lama setelah Ibu Fifna keluar, seorang Suster berusia paruh baya datang. Tapi bukannya datang dengan medicine trolley, Suster tersebut malah datang dengan membawa sebuket bunga.
“Selamat sore,” sapa Suster Tabita, Suster yang khas dengan celetukannya, dan merupakan Suster favorit Hania selama dirawat di rumah sakit.
“Sore Sus, ” balas Hania dan Nathan kompak.
Suster Tabita berjalan menghampiri Hania. “Kamu udah bosan kan lihat saya datang bawa suntik, tensi, dan teman-temannya ? Nah kali ini saya bawa yang beda. Khusus buat kamu.” kata Suster Tabita menyeringai, sambil memberikan satu buket bunga mawar putih kepada Hania.
“Ini buat saya Sus ?” tanya Hania terkejut sambil menerima bunga dari Suster Tabita.
“Iya dong buat kamu, masa buat yang itu.” canda Suster Tabita sambil melirik ke arah Nathan. “Gini-gini saya setia lho sama suami saya.” tambahnya.
Hania tertawa pelan. “Dalam rangka apa nih Sus ?”
“Dalam rangka apa kamu bisa langsung baca aja di kartu ucapannya. Ada kok di situ.” jawab Suster Tabita tersenyum.
“Wah… Oke Sus. Makasih banyak ya Sus untuk bunganya.” kata Hania.
“Iya sama-sama. Kalau gitu saya permisi ya ? Nanti jam delapan saya ke sini lagi untuk ngontrol keadaan kamu.” balas Suster Tabita. “Tapi sebentar saya datang bawa alat perang saya lagi, nggak apa-apa kan ?” suntik dan para jajarannya tentunya.
Hania tertawa pelan lagi. “Iya Sus.. Siap.”
Suster Tabita kemudian keluar, dan meninggalkan Nathan dan Hania di dalam ruang rawat. Hania mengambil kartu ucapan yang ada di atas buket bunga. Ia lalu membuka dan membacanya.
“Bunga ini memang cantik. Tapi percuma. Karena jika disandingkan denganmu, kecantikan bunga ini takkan ada apa-apanya. – Nathan.”
Hania mengernyit. Ia lalu menatap Nathan yang ternyata sudah mengulum senyum sedari tadi di sampingnya.
Nathan yang sedang duduk, melipat kedua tangannya di tepi tempat tidur, dan memajukan badannya sedikit. “Gimana ? Suka nggak ?” senyumnya kali ini melebar.
“Bentar-bentar, ini dari kamu ? Terus kenapa bisa Suster Tabita yang kasih ?” sungguh Hania sama sekali tidak berekspektasi kalau bunga itu dari Nathan. Pikirnya, bunga itu memang pemberian dari Suster Tabita, atau hadiah dari rumah sakit untuk para pasien yang baru saja dioperasi.
“Aku sengaja minta tolong Suster Tabita untuk kasih bunga ini ke kamu. Biar surprise. Kalau aku yang kasih langsung, pasti jatuhnya biasa aja.” jujur Nathan sambil mengusap tengkuknya.
Deretan gigi putih Hania langsung terlihat. Nathan memang selalu berhasil dalam hal memberi kejutan kepadanya.
“Pertanyaan aku belum dijawab lho. Jadi gimana ? Suka nggak ?” tanya Nathan sekali lagi.
Hania mengangguk. “Suka. Suka banget. Makasih ya,” katanya masih tersenyum, sambil menatap Nathan.
Perlahan Nathan meraih tangan Hania, dan mulai menggenggamnya. Nathan menatap Hania dalam. “Aku sayang kamu Hania.”
Hania tersenyum tipis. “Aku juga sayang kamu Nat.” balasnya begitu lembut. “Maafin aku ya ? Aku udah nggak kayak dulu lagi. Sekarang kamu jadi harus punya pacar yang sakit-sakitan, lemah, botak, dan…”
“Tetap sempurna.” potong Nathan cepat dan berhasil membuat Hania tertegun. “Kamu tahu nggak kenapa aku kasih bunga itu ke kamu ?” sambungnya.
Hania menggeleng.
“Bunga itu sebagai tanda terima kasih aku. Terima kasih karena kamu sudah mau memberikan aku kesempatan, untuk bisa jadi laki-laki paling beruntung selama dua tahun belakangan ini.” ucap Nathan begitu lembut. “Dan aku ingin, aku bisa terus jadi laki-laki paling beruntung itu, selamanya.” ia lalu melepaskan genggaman tangannya, dan mengambil sesuatu di saku celananya.
Dengan setengah bingung, mata Hania pun mengikuti arah pergerakan tangan Nathan. Matanya langsung terbuka sempurna, ketika melihat apa yang dikeluarkan Nathan dari saku celananya.
Sebuah kotak cincin merah dipegang Nathan. Ia lalu menghadapkan kotak cincin itu di depan Hania, dan membukanya dengan pelan. “Sebenarnya niat aku ini udah lama. Dan aku rasa, inilah saatnya. Aku percaya kamu pasti sembuh, tapi aku nggak perlu nunggu waktu itu datang. Karena aku bukan cuman pengin dampingin kamu disaat kamu sehat aja. Tapi justru disaat seperti ini, aku pengin jadi orang yang bisa selalu ada di samping kamu. Bukan sebagai pacar, tetapi sebagai pendamping hidup kamu selamanya. --- Hania, will you marry me ?”
*****
Setelah selesai melaksanakan amanat dari Hania, Abi langsung kembali ke rumah sakit. Dan secara tidak sengaja, ia berpapasan dengan Ibu Fifna yang baru saja mengambil obat dari Instalasi Farmasi.
“Hai Tante,” sapa Abi.
“Hai Bi, kok kamu sendirian ? Gwen mana ?” balas Ibu Fifna.
“Tadi pas di jalan mau ke kafe kita pisah Tante. Kebetulan Gwen ada urusan mendadak sama Papanya.” jawab Abi.
“Lho jadi tadi kamu ngecek kafenya sendirian ? Aduh… Maaf banget ya Bi, Tante malah tambah repotin kamu deh jadinya.”
“Santai aja Tante, nggak ngerepotin sama sekali kok. Aku justru senang banget bisa bantu Tante sama Hania.” kata Abi santai sambil menyeringai. “Tante udah mau balik ke ruangan Hania kan ? Kita bareng aja yuk Tante.”
“Eh nggak Bi.” sanggah Ibu Fifna cepat. “Tante masih mau keliling-keliling rumah sakit. Kamu ikut yuk temenin Tante keliling-keliling rumah sakit ?” ajak Ibu Fifna.
Abi mengernyit. “Gimana Tante ? Keliling-keliling rumah sakit ?” tanya Abi bingung.