Abi cepat-cepat masuk ke dalam ruang rawat Hania, bahkan refleks langsung mengunci pintu setelah ia masuk.
“Kenapa Bi ? Adam macam-macamin lo ya ?” tanya Hania panik.
“Dia masih di luar ?” sambung Nathan.
Abi mengangguk.
“Biar gue yang ngomong sama dia. Lo tunggu di sini.” kata Nathan yang mulai berjalan ke arah Abi yang masih berdiri di depan pintu.
“Eh jangan !” cegah Abi cepat. “Nggak usah diladenin lagi. Entar juga dia pergi sendiri.” lanjutnya.
“Tapi Adam nggak ngapa-ngapain lo kan Bi ?” tanya Hania masih panik.
“Nggak Han. Aman kok.” jawab Abi tersenyum sambil menghampiri Hania.
Hania menghembuskan napas lega. “Tapi kok dia bisa tahu lo ada di sini Bi ?”
“Gue juga nggak tahu Han. Kalau dari Bokap Nyokap gue nggak mungkin banget, dengar nama dia aja mereka udah sepet. Kayaknya dia tahu deh kalau gue pasti ada di sini buat nemenin lo.” duga Abi.
“Mau ngapain lagi sih memangnya dia ?” tanya Nathan rada kesal.
“Intinya dia ngaku dia salah, dia nyesel, terus habis itu pengin balikan lagi sama gue. Gue tolak, eh dianya malah ngotot. Gue jujur soal semua keburukan dia, dianya malah marah, hampir nampar gue bahkan.” belum selesai Abi berbicara, mata Hania, Nathan, dan Ibu Fifna langsung terbuka sempurna menatap Abi. “Tapi untungnya tangan gue duluan yang nyampe ke pipinya dia. Kiri kanan mantap deh pokoknya. Hitung-hitung kasih pelajaran juga biar dia tobat.” sambung Abi cepat sambil terkekeh pelan.
“Ya ampun.. Bersyukur kamu nggak jadi nikah sama dia Bi, dijauhkan dari orang yang salah.” kata Ibu Fifna sambil mengusap-usap lengan Abi. “Terus dia ngejar kamu ? Kamu sampai kunci pintu segala.”
“Nggak ngejar sih Tante. Aku cuman nggak mau aja dia sampai nekat masuk terus malah bikin keributan di sini. Kasihan Hanianya nanti.” jawab Abi.
“Gue bikin tambah merah tuh pipinya kalau dia sampai berani masuk.” geram Nathan.
“Iya, coba aja kalau berani masuk, langsung Tante kutuk jadi buaya !” dengus Ibu Fifna.
Kekuatan Emak-Emak, laki-laki yang benar-benar gentle, dan bucin yang baru saja bertobat, jika dijadikan satu, maka tamatlah Adam.
*****
Hari ini merupakan hari yang cukup menguras emosi bagi Hania, Abi, dan Gwen. Dari pagi hingga malam, perasaan bahagia, haru, sedih, marah, kesal, lega, dan puas, semua dirasakan karena akhirnya hari ini, mereka bisa bangkit dari keterpurukan masalah yang dihadapi dan bisa menyelesaikan semuanya tanpa ada kata terlambat.
Sebagai bentuk syukuran dan perayaan kecil-kecilan, Gwen kembali ke rumah sakit dengan membawa dua kotak martabak telur dan dua kotak martabak manis. Terlalu banyak, Ibu Fifna dan Nathan pun menyerah. Tersisa pejuang-pejuang terakhir yang masih belum berhenti mengunyah, yaitu Abi dan Gwen. Sangking bahagia karena masalah yang akhirnya bisa selesai, sampai-sampai perut mereka tak kenyang-kenyang.
Untuk malam ini Nathan tidak menginap di rumah sakit, ia harus pulang karena Ibunya juga sedang tidak enak badan. Setelah jam praktek malam Dokter Manuel selesai, Ibu Fifna pasti selalu pergi ke ruangan Dokter Manuel, untuk berkonsultasi tentang keadaan Hania.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan Hania belum juga tidur. Ia masih penasaran dengan cerita-cerita Abi dan Gwen. Apalagi cerita Gwen yang akhirnya bisa menerima Davina kembali.
“Harusnya lo nggak perlu balik ke sini lagi Gwen, kan baru baikan sama Nyokap, spending time lebih banyak lha sama Tante Davina dan Om Franz.” kata Hania.
“Mereka juga nggak keberatan kok gue ke sini. Lagian gue nggak sabar aja pengin nyombongin ke kalian soal ini.” balas Gwen lalu menggigit martabak manis yang entah sudah potongan ke berapa.
“Tadi udah peluk-peluk manja belum sama Nyokap ?” goda Abi.
Gwen mengangguk. “Udah. Tapi belum puas. Lanjutin besok aja.”