Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan kembali setelah operasi, hasil akhir pemeriksaan Hania pun keluar. Sesuai permintaannya, Hania ingin mendengar langsung penjelasan dari Dokter, maka dari itu Dokter Manuel menjelaskan hasil pemeriksaan yang telah dipelajarinya di ruangan Hania, dan didengar juga oleh Ibu Fifna, Abi, Gwen, serta Nathan.
“Kami para Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengangkat sel kanker yang ada di otak Hania. Sebelumnya, sel kanker tersebut memang sudah menyebar, tapi hanya di jaringan otak sekitar. Dan setelah saya lihat hasil serangkaian tes yang Hania lakukan, ternyata sel kanker tersebut sudah mulai menyebar ke sum-sum tulang belakang,” Dokter Manuel menghentikan penjelasannya sejenak.
Ibu Fifna semakin merangkul erat Hania. Abi dan Gwen saling berpegangan tangan. Sementara Nathan bersedekap was-was sambil memandangi Dokter Manuel yang sedang berdiri di hadapan Hania.
“Dengan berat hati saya katakan, bahwa kanker yang diderita Hania, sudah memasuki stadium akhir.” terang Dokter Manuel sambil menatap Hania dan Ibu Fifna bergantian.
Ibu Fifna menatap Dokter Manuel nanar, sementara Hania mengusap-usap punggung tangan Ibu Fifna yang ada di pundaknya, sambil melirik ke arah Ibu Fifna.
“I’m fine Ma.” gumam Hania kepada Ibu Fifna sambil tersenyum.
Bibir Ibu Fifna mulai bergetar. Ia tak sanggup lagi untuk berkata-kata. Di sisi lain Gwen menangis di pundak Abi, dan Nathan tersandar lemas di tembok. Dunia seakan runtuh.
“Kemarin saya katakan bahwa dua hari lagi Hania sudah diperbolehkan untuk pulang, tetapi setelah hasilnya keluar, saya sarankan Hania untuk tetap dirawat di rumah sakit agar pengobatan yang akan dijalani nanti bisa lebih maksimal.” saran Dokter Manuel.
“Apa saya nggak bisa rawat jalan aja Dokter ? Saya bersedia kok bolak-balik rumah sakit untuk menjalani pengobatannya.” tawar Hania.
“Sayang, apa yang dibilang Dokter itu yang terbaik. Kamu nurut aja ya ?” bujuk Ibu Fifna.
“Tapi Ma.. Aku udah bosan di rumah sakit. Aku pengin pulang.” lirih Hania.
“Tapi sayang…”
“Nggak apa-apa Bu, itu kan hanya saran saya saja. Kalau Hania memang ingin menjalani pengobatan rawat jalan juga tidak apa-apa. Asalkan Hania tetap rutin untuk menjalani pengobatan dan kontrol di rumah sakit.” potong Dokter Manuel.
“Boleh ya Ma ? Please.. Aku udah kangen rumah,” bujuk Hania sambil memeluk pinggang Ibu Fifna.
Ibu Fifna menghembuskan napas panjang. “Ya sudah kalau itu mau kamu.” serah Ibu Fifna terpaksa.
Dokter Manuel tersenyum. “Pemulihan Hania pasca operasi termasuk cepat Bu, itu tandanya keinginan anak Ibu untuk sembuh sangat besar, jarang lho ada pasien kanker seperti Hania. Saya yakin, Hania juga pasti akan tetap semangat untuk menjalani rawat jalannya nanti. Bukan begitu Hania ?”
Hania melepaskan pelukannya dari Ibu Fifna. “Iya Dokter. Pasti.” jawabnya tersenyum yakin. Tidak ada keraguan atau kesedihan terpancar dari wajahnya.
“Baik kalau begitu, Ibu Fifna bisa ikut saya sebentar ke ruang praktek ? Ada beberapa berkas yang harus diurus untuk keperluan radioterapi dan kemoterapi yang akan Hania lakukan.” kata Dokter Manuel.
“Baik Dokter,” jawab Ibu Fifna. “Abi, Gwen, Nathan, jaga Hania ya ?” kata Ibu Fifna kepada Abi, Gwen, dan Nathan.
“Iya Tante.” jawab Abi, Gwen, dan Nathan serempak.
Ibu Fifna kemudian membelai lembut pipi Hania, lalu mengambil tas dan keluar ruangan bersama Dokter.
Abi dan Gwen hendak melangkah ingin memeluk Hania.