Menemani Hania dalam menjalani pengobatannya, adalah janji Abi dan Gwen. Bukan suatu hal yang mudah bagi mereka, dimana mereka harus melihat dengan mata kepala sendiri rasa sakit yang dialami Hania. Muntah-muntah, nyeri yang begitu hebat, merupakan sebagian dari efek samping yang selalu dirasakan Hania setelah kemoterapi. Tapi entah terlahir dengan DNA Wonder Woman, Hania tetap kuat dan tegar, satu kata keluhan pun tak pernah keluar dari mulutnya.
Abi dan Gwen senang melihat Hania yang begitu pantang menyerah, tapi disisi lain, mereka tidak tega melihat penderitaan yang harus Hania tanggung. Air mata yang sering kali tanpa sadar menetes, membuat Hania justru berbalik menguatkan mereka. Saat dimana yang merasakan langsung, lebih kuat daripada yang hanya mendampingi.
“Bi ?” panggil Hania yang masih tersandar lemas di kursi mobil.
“Iya Han ?” balas Abi sambil menengok sekilas ke arah Hania.
“Gue bisa minta tolong nggak ?” tanya Hania pelan.
“Ya boleh dong, minta tolong apa ?” balas Abi sambil tersenyum.
“Udah lama banget gue nggak ke kafe, gue kangen. Tolong anterin gue kesana ya ?” pinta Hania dan berhasil membuat Abi langsung tertegun.
Gwen memajukan badannya. “Lo jangan aneh-aneh deh Han, lo tuh baru habis kemo, entar kalau lo kenapa-kenapa gimana ?” sosor Gwen.
“Gue masih kuat Gwen.. Lagian kan gue kesana cuman pengin lihat-lihat doang, bukan masak.” balas Hania melirik Gwen.
“Benar kata Gwen Han, keadaan lo nggak memungkinkan buat kita ke kafe sekarang, lain kali aja ya ?” bujuk Abi.
“Bi please, sebentar doang kok, nggak lama.” lirih Hania menatap Abi sendu.
“Tapi kita udah janji sama Tante Fifna untuk langsung bawa lo pulang Han.” sambung Gwen.
“Biar gue yang jelasin ke Mama, ya ?” Hania terus memohon kepada Abi dan Gwen.
Abi dan Gwen saling melirik. Bimbang. Galau. Tubuh Hania masih sangat lemas pasca kemoterapi, untuk berbicara pun Hania terlihat mengeluarkan usaha yang lebih, bagaimana mungkin mereka mengiyakan permintan Hania yang satu ini ?
“Gue juga pengin ketemu sama karyawan-karyawan gue, gimanapun juga mereka masih tanggung jawab gue Bi, Gwen.” lirih Hania.
Gwen kembali menyenderkan tubuhnya sambil menggigit jari, sementara sambil menyetir, Abi menggaruk-garuk pelipisnya. Sungguh sangat serba salah.
“Kita ke kafe, tapi dengan satu syarat.” tukas Gwen.
“Apa syaratnya Gwen ?” tanya Hania semringah.
“Selama disana, gue sama Abi harus selalu ada di samping lo, lo nggak boleh jauh-jauh dari kita !” tegas Gwen.
Hania mengangguk menyanggupi. “Oke,”
“Janji ya nggak lama-lama ?” sambung Abi.
“Iya Bi… Janji.” balas Hania tersenyum.
*****
Memasuki kafe, level kebahagiaan Hania langsung meningkat drastis. Bagaimana tidak ? Ini adalah kali pertama ia kembali ke kafe, setelah terakhir kali dirinya terkapar kejang-kejang di tempat ini dan dibawa Nathan ke rumah sakit. Ia memutar bola matanya, melihat ke segala sudut kafe yang dipenuhi oleh pengunjung. Kafenya masih tetap ramai, bahkan lebih ramai. Mata beberapa pelayan, penjaga kasir, langsung tertuju kepada Hania. Senyum mereka langsung merekah dan langsung menyambut Hania dengan begitu menggebu-gebu. Seperti anak-anak itik yang kembali menemukan induknya.
“Mba Hania…” seru beberapa pelayan kafe yang berlari menghampiri Hania.
Semua mata pengunjung kafe pun sontak langsung tertuju ke arah mereka.
“Gimana kalian ? Baik ?” tanya Hania begitu ramah.
“Baik Mba,” seperti paduan suara, pelayan-pelayan kafe kompak menjawab.
“Baguslah kalau kalian baik-baik aja, aku senang dengarnya.” balas Hania tersenyum. “Ya udah kalau gitu kalian lanjut kerja ya ? Kecuali Dina, kamu temenin saya dulu keliling-keliling.” lanjutnya.
“Siap Mba,” balas Dina.
Dina merupakan salah satu pelayan kafe Hania, sekaligus orang yang dipercayakan Hania untuk mengelola kafe sejak dirinya dirawat di rumah sakit. Dina sendiri sudah bekerja dengan Hania sejak Hania membuka usaha kue kecil-kecilan, maka dari itu Hania yakin bahwa Dina adalah orang yang tepat untuk membantu dirinya mengelola kafe untuk sementara waktu.