Sanubari

Shinta Jolanda Moniaga
Chapter #25

25. Aku Sayang Kalian

Sel-sel kanker berhasil membatasi bahkan hampir meredupkan seluruh rutinitas Hania yang selama ini selalu memberikan cerita baru bagi kehidupannya. Kini, cerita hidupnya hanya berkisar antara kemoterapi, obat, dan istirahat di kamar. Tidak lagi bisa mengurus kafe, tidak lagi bisa jalan-jalan kemana saja dengan Abi dan Gwen, dan tidak lagi bisa melakukan hobinya. Memasak.

Hari ini Hania sengaja meminta Abi, Gwen, dan Nathan untuk tidak datang ke rumahnya. Hania ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Ibu Fifna. Sudah lama ia tidak bermanja-manja dipelukan sang Ibu. Hania bersender dalam rangkulan Ibu Fifna, sambil menikmati belaian lembut Ibu Fifna.

“Ma,” ucap Hania lembut.

“Iya sayang ?” balas Ibu Fifna tetap membelai kepala Hania.

“Aku kangen Papa.” tukas Hania.

Ibu Fifna tersenyum. “Sama sayang. Mama juga kangen banget sama Papa.”

“Aku ingat banget kalau aku sama Mama udah asik masak, pasti Papa langsung cemberut. Cemburu karena dicuekin.” kata Hania lalu terkekeh pelan.

 “Iya, terus Papa pasti langsung nyanyi ‘Ku akui ku sangat sangat menginginkanmu, tapi kini kusadar ku di antara kalian...’ ” sambung Ibu Fifna.

Mereka berdua pun tertawa bersama, dan mengingat kembali kenangan-kenangan indah lainnya sewaktu sang Ayah masih hidup.

“Ada yang pengin Mama sampein nggak ke Papa ?” tanya Hania.

“Hmm..” Ibu Fifna terlihat berpikir. “Mama cuma pengin bilang, kalau Mama sa…yang banget sama Papa. Terima kasih karena sudah menjadi suami dan Ayah yang terbaik untuk Mama dan kamu.” jawab Ibu Fifna.

Hania lalu tersenyum begitu lebar setelah mendengar jawaban Ibu Fifna.

“Kamu kenapa ? Kok senyum-senyum ?” tanya Ibu Fifna memergoki Hania.

“Nggak apa-apa. Aku cuman kasihan aja sama maut, karena ternyata maut sama sekali nggak bisa pisahin cinta Mama dan Papa.” jawab Hania melirik ke arah Ibu Fifna.

Ibu Fifna tersenyum lalu mencolek hidung Hania. “Kamu ni ya,”

“Aku boleh cium Mama ?” pinta Hania tiba-tiba.

“Boleh dong sayang,” balas Ibu Fifna tersenyum.

Hania kemudian melepaskan diri dari rangkulan Ibu Fifna, ia menatap sang Ibu dalam, lalu dengan pelan memajukan kepalanya dan mulai mencium kedua pipi Ibu Fifna. “Aku sayang Mama.” katanya kemudian mencium dengan sangat lama dahi Ibu Fifna.

 Tiba-tiba Hania pingsan, dengan darah yang keluar dari hidungnya.

*****

Ambulans yang membawa Hania sampai di rumah sakit, para Dokter jaga dan perawat berlarian menjemput Hania dan segera membawa Hania ke ruang IGD.

Ibu Fifna mengikuti dari belakang sambil menangis terisak. Dilarang masuk ke ruang IGD, Ibu Fifna langsung terduduk lemas sambil terus menangis. Ia sungguh takut apabila terjadi apa-apa dengan Hania.

Setengah jam menunggu di depan ruang IGD, Dokter Manuel keluar dengan raut wajah yang semakin memancing prasangka buruk Ibu Fifna.

“Bagaimana keadaan Hania Dok ?” tanya Ibu Fifna dengan air mata yang terus menetes.

“Kesehatan Hania sangat menurun Bu, kami akan segera membawa Hania ke ruang ICU agar bisa mendapat penanganan yang lebih intensif lagi.” balas Dokter Manuel.

“A.. Anak saya, anak saya akan baik-baik aja kan Dok ?” rintih Ibu Fifna.

Dokter Manuel menghembuskan napas panjang. “Untuk saat ini tidak Bu. Tapi kami pasti akan terus melakukan yang terbaik untuk Hania.” jujur Dokter Manuel.

Tangis Ibu Fifna semakin pecah. Dadanya terasa sesak. Ia lalu memegang tangan Dokter Manuel sambil terus memohon dan merintih. “Tolong selamatkan anak saya Dokter, tolong, saya mohon, dia satu-satunya yang saya punya sekarang, saya nggak mau kehilangan dia Dokter.”

“Saya mengerti perasaan Ibu, dan saya pasti akan melakukan yang terbaik. Tapi sebagai manusia, kita harus menyerahkan semuanya kepada Yang Kuasa, karena saya pun hanya sebagai perpanjangan tanganNya saja Bu.” balas Dokter Manuel sambil berusaha menenangkan Ibu Fifna.

Ibu Fifna melepaskan tangan Dokter Manuel dengan sangat pasrah, ia kembali terduduk lemas di kursi sambil terus menangis.

Lihat selengkapnya