Kapan manusia akan lahir, apa yang akan dijalani semasa hidup, dan kapan manusia akan dipanggil pulang untuk selamanya, itu semua sudah ada dalam rencana Tuhan. Garis start sudah Tuhan tetapkan, tugas manusia hanyalah berlari dan terus berlari, hingga akhirnya sampai di garis finish yang juga sudah Tuhan tetapkan.
Ikhlas ? Iya ikhlas, tapi kepedihan juga berusaha mengambil tempat di hati Ibu Fifna. Menghantarkan Hania ke tempat peristirahatan terakhir yang tepat di sebelah makam sang Ayah, membuat kepedihan itu semakin berkecamuk dalam diri Ibu Fifna. Kini, ia harus menjalani hidup seorang diri, tanpa kehadiran suami dan satu-satunya anak tercinta untuk selamanya.
Nathan meratapi nisan Hania dengan hati yang sangat rapuh. Wanita yang sangat ia cintai telah pergi untuk selama-lamanya. Harapan bisa hidup sebagai pasangan suami istri yang paling bahagia bersama Hania, harus mulai ia lupakan, karena sampai kapanpun, harapan itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Kepedihan dan kerapuhan pun, juga turut, bahkan sangat dirasakan oleh Abi dan Gwen. Sepuluh tahun mereka menjadi sahabat yang bahkan lebih karib daripada seorang saudara, dan harus rela dipisahkan oleh maut diwaktu yang begitu cepat. Tak ada lagi sosok penengah disaat Abi dan Gwen bertengkar, tak ada lagi sosok yang begitu sabar menghadapi manjanya Gwen dan keras kepalanya Abi, tak ada lagi sosok yang begitu lembut dan seakan selalu mengayomi Abi dan Gwen. Masih begitu banyak bab cerita baru yang ingin mereka tulis bersama, tapi ternyata waktu berkata lain.