Saputangan dari kamp Bangkinang

Osvian Putra
Chapter #1

Haje

1.     Haje

 

Saya adalah seorang pencerita. Izinkan saya berkisah tentang seorang sahabat, Haje. Namanya terdengar aneh, Bahkan dalam bahasa asli di negeri tempat dia tinggalpun, nama itu terdengar cukup asing. Haje tinggal di Belanda. Negri dingin di arah utara Eropa. Nama lengkapnya Haje Wessels. Cara menyebut namanya seperti ejaan Indonesia lama; Haye.

 

Untuk ukuran orang dari negeri Belanda, Haje terhitung pendek. Bahkan tidak sampai 170 centi meter. Tubuhnya di usia senja ini terlihat agak kurus. Apalagi mungkin ketika waktu pertama kali bertemu dulu, celananya agak longgar, sehingga menimbulkan kesan kerempeng pada tubuhnya. Matanya teduh, rongga matanya cekung, dengan pipi yang sudah tidak berdaging, maka dia terlihat ceking. Haje adalah seorang pria tua lebih dari delapan puluh tahun. 

 

Cuma yang selalu terekam dalam pikiran saya adalah ketika ngobrol, bercerita hal-hal lucu. Ketika merokok, pipinya kempot sesaat setelah mengisap produk tembakau itu. Haje biasanya akan lama bercerita jika sambil minum bir. Dia suka bir buatan Belgia. Ya, dia tinggal di Leiden. Kota kecil yang memang tidak jauh dari perbatasan Belgia. Haje agak unik, walaupun negrinya adalah salah satu penghasil bir terbaik di dunia, dia tidak suka bir buatan Belanda. Bir Belanda selalu mempunyai kadar air yang tinggi. Sementara dia suka model bir yang lebih “kering” sebagaimana dia dapatkan dari pabrikan Belgia. Maka, untuk dua hal penting dalam hidupnya; bir dan rokok. Haje rela bersepeda melewati perbatasan. Karena di Belgia dia gampang mendapatkan jenis bir yang disukainya. Sementara untuk rokok, alasannya adalah harganya ternyata lebih murah di banding harga di negerinya sendiri. Walaupun namanya pergi ke luar negri, sebenarnya jaraknya sebenarnya dekat saja, cukup bersepeda dua puluh menit. Tidak perlu membawa paspor, karena dia adalah warga Eropa. Sesama anggota Uni Eropa memang begitu. Tidak ada pemeriksaan paspor diantara sesama warga negaranya di setiap perbatasan. . Menyehatkan, lagi katanya. Karena harus bersepeda untuk membelinya. Artinya bergerak dan mengeluarkan keringat untuk mendapatkan dua benda yang sejatinya merusak tubuh itu didapatkannya dengan cara yang sehat. Saya, hanya bisa tersenyum mendengar argumennya itu.

 

Meskipun sudah berumur, terlihat kurus dan ceking. Haje tidak lemah. Dengan usianya yang sudah lebih dari 80 tahun itu, dia masih energik. Masih bisa berjalan kaki dengan tangkas, jalannya pun tegap. Tidak seperti orang-orang berusia sama di kampungku yang kebanyakan sudah ringkih di usia segitu. Bahkan, Haje juga masih bisa bersepeda, sebagaimana layaknya orang Belanda yang memang menjadikan sepeda sebagai salah satu alat transportasi utama mereka. Berbicarapun begitu. Tidak terlihat tanda-tanda kepikunan dari pikirannya. Bicaranya lugas dengan bahasa yang mudah dimengerti. Bahkan, dia masih suka bercanda, berseloroh, bahkan dengan saya yang berbeda usia dan latar belakang dengannya. Selalu saja dia bisa menemukan titik dimana kami bisa sama-sama tersenyum atau tertawa atas suatu topik yang dibicarakannya.

 

Cara berpakaian Haje ya seperti orang tua kebanyakan. Memakai baju dengan warna kalem. Baik itu kemeja atau kaos. Tapi saya tidak pernah melihat dia mengenakan t-shirt. Model dan potongan celananya juga begitu, biasa saja. Sepadan dengan pakaian bagian atas. Celananyapun biasanya berwarna lembut, biru navy, abu-abu, atau cream kecokelat-cokelatan, ya begitulah.

 

Pertama bertemu dengan Haje sekitar 6-7 tahun lalu. Dia bersama anak laki-laki satu-satunya berkunjung ke Sumatera. Waktu itua dia singgah di kota saya selama 2 malam. Ketika itulah awal kami bertemu. Sebelumnya hanya kenal lewat surat elektronik. Namun, karena pertemuan pertama. Walaupun bukan pertama kalinya dia ke Indonesia. Namun pertama kali bertemu dengan saya. Haje terlihat formal. Kata-katanya lebih banyak langsung masuk ke inti percakapan. Selebihnya hanya basa-basi untuk menghidupkan suasana. Namun, pertemuan pertama itu saya rasa cukup memberikan kesan yang mendalam. Banyak hal yang saya rekam, begitupun Haje. Banyak pula yang dia catat dari perbincangan kami tersebut.

 

Ketika hubungan kami sudah semakin dekat, tiba pula giliran saya yang ke Belanda. Maka ketika saya berkunjung beberapa waktu setelahnya. Kami jauh menjadi lebih akrab. Karena sudah disatukan oleh sudut pandang yang sama. Maka, di penghujung musim panas yang udaranya sudah mulai sejuk itu, kami akhirnya bertemu. Haje begitu bersemangat menemuiku di hotel yang terletak di pinggir kanal yang memang banyak terdapat di Amsterdam itu. Tapi karena kanal di depan hotel itu terhitung kecil, maka orang Belanda menyebutnya dengan istilah gracht.

 

Sore di penghujung musim itu terasa agak lembab, hujan rintik bercampur angin yang tidak begitu kencang bergantian turun dari siang. Saya yang kelelahan dari perjalanan panjang. Terhampar penat di atas kasur lantai tiga hotel sederhana yang tidak mempunyai lift itu. AC sengaja tidak saya nyalakan, udara begitu nyaman saat itu. Seperti teringat masa kecil di kampung, nun di kaki gunung Singgalang itu. Kubiarkan semilir angin masuk lewat jendela yang lebar. Di kejauhan terlihat jembatan yang cukup sibuk lalu lintasnya. Cahayanya indah berpendar di waktu malam ketika lampu di darat berpadu dengan rembulan Amsterdam yang kala itu kebetulan purnama. Pesonanya itu saya nikmati di malam hari.

 

Ketika alarm di hape berbunyi pukul 16.45, saya sudah langsung bangun. Sigap Saya ke kamar mandi bersih-bersih, menukar baju dengan sweater yang agak tebal. Dan, benar saja. Ketika saya turun kira-kira 20 menit setelahnya. Haje sudah terlihat duduk menunggu di sebuah bangku kayu di pinggir sungai di seberang hotel itu. Mengenakan jaket serta topi flat cap yang berpinggiran kaku di bgian depannya, khas Irlandia. Karena cuaca memang agak berangin, diiringi hujan rintik-rintik yang hilang-hilang timbul sore itu.

 

Dengan semadyanya Haje menyambut, dia menyambut saya dengan hangat, tersenyum dan mengucapkan kata selamat datang begitu gembira. Berbasa-basi sebentar, lalu dia mengajak untuk berbicara lebih lanjut di café yang memang banyak terdapat di area itu. Amsterdam, kota tua yang seringkali lebih ramai pengunjungnya dibanding dengan penduduk aslinya sendiri. Lama juga kami berbicara di café itu. Mungkin ada 3 jam. Mengenai kisah-kisah lama dan pesan-pesan serta catatan orang tua, serta kakeknya. Kami berjanji untuk bertemu lagi beberapa hari kemudian. Udara Amsterdam yang ketika sore mulai redup itu terasa mulai dingin. Perut yang mulai terasa lapar. Tak cukup hanya diisi nachos yang menjadi teman minum itu sebagai pengganjal perut. Karena tadi sebelum siang, saya hanya sempat makan di pesawat dalam perjalanan dari Madrid mulai mengeluarkan tanda-tanda meminta untuk diisi sesuatu. Apalagi cuaca dingin. 

 

Haje paham. Saya takjub. Karena biasanya yang bisa punya perasaan seperti itu adalah orang Asia, tepatnya orang Melayu atau Minang tepatnya. Sebagaimana orang-orang kebanyakan di kampungku. Menawarkan makan kepada tamu yang sudah terlihat mengeluarkan tanda-tanda bahwa minum saja tidak cukup. Hehe, Haje arif dengan keadaan itu. Memang, kadang-kadang saya berpikir. Di tubuh dan berawakan Eropanya, terperangkap jiwa Asia di dada Haje itu.

 

Saya diajak ke sebuah restoran Asia, China tepatnya. Cukup berjalan kaki saja kami saat itu. Menyusuri pinggiran kanal, menyeberangi beberapa jembatan kecil. Lalu, di seberang hamparan lapangan gereja yang tidak begitu luas, mampir lah kami ke sebuah restoran. Ya, apalagi kalau bukan dengan menu masterpiecenya Peking Duck! Tidak butuh lama bagi kami untuk menentukan pilihan. Ketika seorang waiter wanita yang masih muda berwajah oriental itu datang ke meja kami dengan buku menu dan catatannya. Langsung saja mata kami sama-sama tertuju kepada menu utama mereka yang memang tercetak di halaman depan daftar menu itu. Kami pesan itu. Sambil menunggu, di ruangan makan yang hangat itu kami sama-sama membuka jaket dan sweater. Pengunjung lain juga begitu. Sebab suhu yang terasa mulai menusuk diluar, ternyata di dalam hangat.

 

Lihat selengkapnya