Saputangan dari kamp Bangkinang

Osvian Putra
Chapter #2

Mooi Padang

2. Mooi[1] Padang

 

Cerita Oma (1)

 

Waktu itu, dekade 1940-an baru berjalan beberapa tahun. Keadaan ekonomi dunia baru saja bangkit setelah zaman Malaise[2]. Padang, kota terbesar di pantai barat Sumatera terlihat hidup. Ekonominya cukup lumayan. Perdagangan cukup maju. Pelabuhannya ramai. Padang adalah pusat pemerintahan serta ekonomi. Jika sebelumnya Padang adalah bagian dari Residentie[3], maka semenjak tahun 1913 penamaan itu dihapuskan. Berganti dengan Gouvernement Sumatera’s Westkust[4]. Karena sebutannya Gouvernement, tentu saja pimpinannya disebut dengan Gubernur. Wilayah Sumatera Westkust terbilang luas, mulai dari Singkil dan Tapanuli di bagian utara hingga Bengkulu di bagian selatan. Di timur wilayahnya mencakup sampai ke hulu sungai Rokan, Kampar serta sepanjang aliran batang Kuantan dan  Singingi. Sedangkan kearah lainnya daerah di selingkar gunung Kerinci. Namun yang menarik, walaupun posisi Residen tidak ada lagi, gelar Asisten Residen tetap dipakaikan untuk Kepala Afdeeling[5]. Padang sendiri sebagai ibukota Gouvernement Sumatera Westkust juga berperan sebagai Afdeeling yang wilayahnya sampai ke pulau Mentawai serta pulau Tello. Maka untuk tingkatan ini lah Asisten Residen tersebut bertanggungJaob. Disisi lain, Padang juga adalah sebagai Gementee [6]atau Kotapraja.

 

Masyarakat yang berdiam di kota itu cukup beragam, Selain orang Padang asli, sebagian juga ada yang berasal dari Solok dan Selayo, sebutan untuk daerah dataran tinggi di bagian timur diantara jalur pegunungan Bukit Barisan. Kebanyakan mereka berdiam di sekitar Lubuk Minturun, Pauh, Kalawi, Indaruang hingga Banda Buek. Tentu ada pula penduduk yang berasal dari negri yang lebih jauh seperti Nias dan Jao. Atau negri seberang lautan seperti Cina dan India. Makanya di Padang ada pemukiman yang bernama kampung Nias, kampung Jao[7], kampung Keling (sebutan untuk pemukiman orang India) serta kampung Cina. Akan tetapi kampung-kampung asli orang Padang sebenarnya tidaklah jauh-jauh dari air: Terandam, Sawahan dan Rawang contohnya. Lalu ada lagi kampung-kampung tua seperti Olo, Ranah, Ganting, Alang Laweh dan Park Gadang. Menandakan di daerah ini dulu pada dasarnya hutan yang dibuka, lalu dijadikan ladang dan area perkebunan atau persahawan.

 

Padang yang posisinya di tengah, di bagian barat Sumatera. Adalah merupakan kota yang strategis untuk dijadikan persinggahan kapal-kapal yang berlayar di sepanjang pantai barat Sumatera. Termasuk kapal-kapal Belanda saat terjadinya perang Aceh yang belum begitu lama usai. Perang Aceh yang berkepanjangan, ulet dan memakan waktu lama. Membutuhkan support luar biasa dari Batavia. Baik berupa logistik, persenjataan maupun pasukan. Karena jarak dari Batavia menuju Banda Aceh cukup jauh, maka posisi Padang yang berada di tengah itu terasa pas untuk dijadikan persinggahan. Kapal-kapal mampir dan berlabuh untuk mengisi bahan bakar, air serta perlengkapan perjalanan.

 

Apalagi bagi tentara yang dipindahkan atau telah menyelesaikan masa tugasnya di Aceh. Mereka bisa menghabiskan beberapa waktu di Padang untuk beristirahat. Mumpung gaji berikut bonus yang relatif tidak terbelenjakan di Aceh yang berkecamuk, di Padang mereka bisa menghibur diri. Makanya di Padang cukup banyak terdapat tempat-tempat hiburan seperti rumah bola, rumah bilyar, termasuk rumah bordil untuk memenuhi hasrat biologis mereka yang mungkin lama terpendam ketika masa peperangan di Aceh yang terkenal brutal itu.

 

Padang sedang bergerak menuju kota modern. Setelah ditemukannya kandungan batubara dalam jumlah besar di Sawahlunto. Tambang batubara di hulu serta pelabuhan di hilir. Maka Belanda mulai merancang strategi pembangunan terintegrasi di wilayah yang pada masa itu disebut dengan Sumatera Westkust. Tambang batubara dikelola secara modern. Peralatan yang digunakan tidak lagi alat-alat tradisional tapi sudah mulai menggunakan alat yang lebih modern.

 

Dari Sawahlunto, dibangun jalur rel kereta api untuk membawa batubara tersebut melalui kota Solok, sepanjang tepian danau Singkarak, Padang Panjang serta lembah Anai. Bahkan dari Padang langsung terkoneksi ke pelabuhan yang juga baru dibangun; Emma Haven[8].

 

Padang, juga maju industrinya karena memiliki pabrik semen. Pertama kalinya Belanda membangun pabrik semen di negeri Hindia ini. Bahan baku utama untuk membuat semen adalah batu kapur dan silika yang kandungannya banyak terdapat di bukit Indarung, sekitar 21 kilometer dari pusat kota. Dari sana bahan baku tersebut dibawa dengan lori ke pabriknya. Disanalah bahan baku diaduk, dicampur dalam sebuah klinker raksasa, salah satu mesin paling besar yang terdapat di pulau Sumatera.  Pabrik semen tersebut memproduksi semen yang tidak hanya digunakan di Padang atau Sumatera saja. Akan tetapi dibawa juga ke pulau-pulau lain seperti Jao, bahkan diekspor pula oleh Belanda ke seberang lautan.

 

Untuk keperluan proses ekspor itulah makanya Belanda membangun pelabuhan yang lebih besar yang memungkinkan kapal-kapal pembawa semen merapat dan memuat semen dari Teluk alami yang dalam yang bagi masyarakat sekitar disebut dengan nama Teluk Bayur. Belanda sendiri, sebagai penghormatan bagi sang Ratu yang memerintah saat itu, memberi nama pelabuhan tersebut Emma Haven. Pelabuhan (Ratu) Emma.

 

Untuk menghubungkan pabrik semen dengan pelabuhan tersebut maka dibangunlah rel yang menjadi jalur bagi lori pengangkut semen untuk memudahkan pengangkutan dari pabrik menuju pelabuhan. Ratusan lori berlalu lalang tiap hari hilir mudik dari Indarung ke Teluk Bayur untuk membawa semen untuk diangkut lagi dengan kapal ke tempat yang jauh.

 

Sementara, pelabuhan lama, di Muaro, tetap saja ramai dengan kapal-kapal dagang dari berbagai wilayah terutama dari sekitar pantai barat Sumatera. Barang-barang dagangan mulai dari hasil kebun seperti kelapa, kopra, hasil pertanian seperti padi dan beras, termasuk kopi yang cukup menjadi primadona produksi dataran tinggi waktu itu, sebagiannya dibawa baik dengan kapal atau kereta api yang stasiunnya ada di Pulau Aie tersebut karena disanalah pusat perdangan komodoitas tersebut. Produk-produk daerah hinterland itu nanti akan bertemu dengan produk impor seperti gula dari Jao, atau bahan-bahan tekstil dari India. Deretan kantor-kantor dagang, bank serta toko-toko tampak ramai di sepanjang jalan mulai dari pelabuhan Muaro hingga Pulau Aie dimana disana terdapat stasiun kereta yang akan bersimpul di stasiun besar di Simpang Haru.

 

Pulau Aie, Pasa Gadang dan Pasa Mudiak adalah deretan pasar yang ramai dan maju. Berbagai macam barang dijual disitu terutama hasil bumi mulai dari gambir, kopi, teh, kelapa, gula, kemudian peralatan rumah tangga, peralatan pertanian, peralatan pertukangan pokoknya semua ada. Barisan toko-toko berderet sepanjang tepian Muaro kea rah pinggir laut. Mulai dari kantor firma "Internatio," "Borsumij." "Geo-Wehry," "Gunzel & Schumacher," "Jacobson van den Berg," “Firma Haacke,”  “Firma Van outen Steffen,” dan “Veth dan Tels.” Umumnya mereka bergerak dalam grosir barang-barang ekspor-impor dan juga di bidang penerbitan. Firma-firma besar dan kecil yang dimiliki oleh orang kulit putih, orang Cina atau pedagang kecil bumiputra membuat kota Padang cepat tumbuh.

 

Selain untuk mengangkut batubara. Kereta api juga digunakan sebagai sarana transportasi. Bahkan sebelum zaman Malaise, Belanda telah membangun jalur kereta api dari Padang sampai ke Limbanang, Payakumbuh melewati Lubuk Alung, Sicincin, Padang Panjang, Bukittinggi dan Payakumbuh tentunya. Selain dari jalur itu, terdapat dan telah beroperasi pula jalur dari Padang menuju Pariaman. Kereta uap itu berlalu lalang setiap hari dengan bahan bakar batu bara. Bunyi peluit serta suara gesekan roda dengan relnya begitu khas.

 

Pusat perdagangan ada di sepanjang pelabuhan Muaro hingga stasiun Pulau Aie. Lalu melebar ke utara ke arah Pasa Gadang, Pondok hingga Hiligoo. Sementara dari bibir pantai, membentang jalan Strand Weg sampai ke utara. Sementara itu bersisian dengan pelabuhan Muaro, dari ujung utara penjara membentang Nipah laan[9].yang nanti akan bertemu dengan simpang kampung Dobi serta Tapi Pasang. Sejajar dengan Nipah laan, terdapat kawasan Gurun. Jalan itu sendiri nantinya akan menyambung dengan Kerk Straat [10] yang melintasi hotel Oranje. Di pelataran depan hotel berdiri sebuah monument tertinggi di seantero pulau Sumatera yang bernama St. Michiel. Tugu yang terbuat dari besi yang memiliki tinggi hampir 15 meter tersebut dibangun untuk menghormati Gubernur Jenderal Belanda yang sukses mempimpin negri Hindia, Andreas Victor Miciels. Dan, tentu, sesuai dengan namanya, di jalan itu juga berdiri sebuah Gereja Katedral yang megah, yang baru didirikan satu dekade sebelumnya. Sedangkan di hadapannya juga terdapat sebuah gereja lainnya yang disebut dengan Biara St. Leo.

 

Di ujung Kerk Straat arah ke timur, maka akan terlihat bangunan bekas kantor dagang serta pergudangan yang ramai. Dimana hanya sepelemparan batu dari situ terdapat persimpangan yang cukup ramai memisahkan antara Jalan Hiligoo, kampung Dobi serta kampung Pondok yang banyak dihuni oleh keturunan Tionghoa. Terdapat pula dua lintasan kecil yang di ujungnya akan ketemu dengan tangsi tentara kerajaan, kandang kuda pasukan kavaleri. Di tengah-tenag ada lapangan yang bernama Plein van Rome [11]. Itu lah alun-alun kota Padang itu. Di seberang lapangan itu terdapat kantor Balai Kota atau Kantoor Gementee yang baru selesai dibangun sekitar 6-7 tahun lalu, dimana gedung tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu gedung paling modern di Sumatera Westkust.

 

Plein van Rome, tempat dimana aparat Belanda biasa mengadakan upacara, apel atau sejenisnya. Pernah terjadi suatu peristiwa tragis. Yaitu terbunuhnya satu orang yang tidak bersalah di tiang gantungan di lapangan itu. Pada suatu waktu, Padang diresahkan oleh seorang penjahat lokal kawakan yang terdeteksi bernama si Patai. Orang ini kerap melakukan pencurian, perampokan dan bahkan tidak segan-segan menganiaya korbannya jika dia terperogok melakukan aksinya. Sehingga tindakannya tersebut membuat seisi kota menjadi resah dan takut. Maka, Belanda melancarkan razia, hampir tiap hari, entah siang, entah malam, banyak kampung yang di obrak-abrik pasukan KNIL untuk mencari si Patai. Namun, hari berganti hari, minggu berganti minggu, berbulan-bulan lamanya si Patai belum kunjung tertangkap, sementara peristiwa kemalingan dan perampokan tidak berhenti. Maka gusar lah para pempimpin kota karenanya. Sampai akhirnya pasukan Marsose yang barusan pulang dari Aceh yang sejatinya dilatih untuk menghadapi ganasnya pejuang Aceh yang sering diistilahkan dengan Moorden[12] disuruh turun tangan mencari si Patai. 

 

Entah karena saking emosi atau malah untuk penutup malu. Tiba-tiba saja pasukan Marsose itu mampu menangkap si Patai. Dan tidak memakan waktu lama, si Patai dijatuhi hukuman mati. Di gantung di hadapan orang ramai di Plein van Rome. Berduyun-duyun orang hadir untuk melihat, penasaran dengan si Patai yang menghebohkan seantero kota Padang itu. Si Patai di gantung di tengah hari yang terik ketika matahari baru saja tergelincir ke arah barat. Mungkin pukul satu, mungkin pukul dua siang. Kepala si Patai mula-mula ditutup dengan kain, semacam karung berwrna putih. Dia dinaikkan ke tiang gantungan disaksikan para petinggi Belanda, Gementee, KNIL, PID serta Politie. Tapi, setelah prosesi berlangsung, setelah dipastikan mati, mayat si Patai diturunkan dan kain penutup kepalanya itu dibuka. Yang muncul adalah bisik-bisik. Ada yang ternyata mengenali si Patai. Dia bersaksi bahwa yang digantung tadi itu bukan si Patai perampok ulung yang kejam itu. Namanya memang si Patai. Tapai si Patai yang ini lemah, cenderung lembut bahkan gemulai. Orang menyebutnya bege![13]

 

Namun terlepas dari kisah si Patai, kawasan Plein van Rome adalah ibarat epicentrum kota. Seperti alun-alun. Banyak orang berlalu lalang di keempat sisi-nya untuk berbagai keperluan. Ibarat etalase, kawasan tersebut digunakan orang-orang untuk melihat dan dilihat.Warga Eropa yang kaya-kaya, lalu-lalang melintas dengan oto. Ada pula yang pakai motor pit serta bersepeda. Sementara orang pribumi, kalaupun ada, hampir dapat dipastikan semuanya berjalan kaki. Sebagiannya, kalangan marginal, bahkan tanpa alas kaki sama sekali.

 

Lihat selengkapnya