Saputangan dari kamp Bangkinang

Osvian Putra
Chapter #3

Sebelum Jepang Masuk, Sepenggal Pagi.

03. Sebelum Jepang Masuk, Sepenggal Pagi.

 

Cerita Oma (2)

 

Sulan, adalah seorang bujang tanggung berusia belasan tahun. Belum bisa dikatakan bujang benar, suaranya masih seperti suara kanak-kanak kebanyakan. Meskipun di bawah hidungnya yang sedikit pesek itu remang bulu halus pertanda kumis akan tumbuh telah terlihat muncul tipis-tipis. Tapi bulu-bulu halus itu tak akan kentara terlihat jika dilihat dari jauh, sebab kulit Sulan yang memang agak gelap, apalagi karena sering terbakar cahaya matahari, sudah bisa dikatakan Sulan hitam. Dengan berkaki ayam setiap pagi dia akan berjalan menyusuri jalanan. Celana sedikit diatas lutut dengan baju model potong Cina yang terbuat dari kain belacu tebal dengan permukaan agak kasar sebagai pertanda bahannya adalah kain murah. Di kepala Sulan bertengger sebuah kopiah hitam yang pasangannya agak sedikit miring. Kopiah itu pun sudah agak lusuh dan menguning, tidak hitam pekat lagi warnanya. Sementara di bahunya terselempang kain sarung yang sudah agak lusuh. Sama lusuhnya dengan baju dan celananya itu. Baunya agak sedikit apek, mungkin karena jarang dicuci. Kerjanya adalah mengantar Koran setiap pagi.

 

Pelanggannya boleh dikata ada di seantero kota mulai dari Pasa Gadang, sepanjang tepi sungai di Muaro, Kampung Cina, seputaran lapangan St. Michiels, loas Baro, kampung Jao, kawasan Blantoeng, Benteng, Societeits hingga Alang Laweh.

 

Bermula ketika langit masih jingga, samar terang-terang tanah. Sulan sudah siap-siap di percetakan di dekat Pulau Aie. Menunggu jatah Koran yang menjadi bagiannya untuk diantar. Petugas di kantor itu, Engku Ibrahim, biasa dipanggil Sulan Engku Baraim, biasanya akan melebihkan 3-4 eksemplar untuk berjaga-jaga kalau-kalau nanti di jalan ada yang ingin membeli langsung dari Sulan. Maka, dengan semadyanya Sulan akan menerima tumpukan Koran yang sudah disiapkan oleh Engku Baraim yang jauh lebih tinggi darinya itu ke dalam dekapannya. Untuk anak seukuran Sulan, tumpukan 30-35 koran dalam dekapan terlihat kedodoran, dia terlihat kerepotan memeluk koran-koran itu karena selain karena beratnya, juga karena ukurannya walaupun sudah dilipat dua, Tetap saja kebesaran berbanding tubuhnya yang kurus itu. Memang pada waktu itu, pengantar koran seperti Sulan tidak boleh melipat Koran lebih dari 2x lipatan untuk memastikan bahwa yang dia sampaikan ke pemilik adalah Koran baru, bukan bekas dibaca orang lain. Walaupun sebenarnya di pagi buta itu, siapa pula yang akan membaca Koran. Selain hari masih gelap, yang punya lampu listrik juga hanyalah orang-orang tertentu saja. Tapi, begitu lah aturannya. Koran harus diantar sepagi mungkin. Sulan hanya patuh.

 

Dari Pulau Aie ke hilir menuju Muaro. Sepanjang jalan berdiri deretan kantor-kantor perusahaan dagang, handle maschapij, toko-toko besar, kantor perusahaan, pelayaran, kantor ekspedisi serta bank. Menjelang pagi benar-benar datang, terlihat para penjaga kantor bersiap dengan membuka pintu-pintu kantor. Menyapu bagian-bagian yang tampak kotor, mengelap debu-debu yang menempel dengan kain lap yang selalu tergantung di bahu. Kemudian membuka jendela-jendela yang berdaun lebar itu agar udara leluasa masuk kedalam ruangan agar suasana terasa segar. Tempat parkir sepeda di depan kantor dibersihkan dari sampah, lobang tempat mengunci roda depan sepeda itu dibersihkan dengan sapu lidi. Sulan mengantarkan korannya ke kantor-kantor, bank, serta toko-toko yang menjadi langganannya itu. Sulan kemudian akan berjalan lagi lurus menuju muara dimana akan berjumpa dengan pelabuhan kapal yang biasanya akan memuat barang-barang ke negri yang agak jauh. Katanya sampai ke Siberut, pulau Tello serta Air Bangis. Karenanya suasana di ujung Muaro itu terasa lebih sibuk. Bahkan sepagi itu sudah ada saja terlihat orang-orang sibuk membongkar muat barang-barang dari atas kapal untuk dibawa turun ke darat. Kuli-kuli terlihat telah mulai memanggul barang bahkan semenjak matahari belum sempurna muncul di pagi itu. Ramai sekali dan heboh suasananya. Ditambah pula dengan orang-orang yang sepertinya datang menunggu barang kiriman dengan kapal yang baru saja dan ayang akan masuk ke pelabuhan itu. Parewa tidak kurang pula banyaknya. Mereka petantang-petenteng di sekitar pelabuhan dengan wajah terlihat sangar, mata merah, mungkin karena sisa mabuk tadi malam, sementara rambut panjang tidak terurus. Terhadap orang seperti itu, Sulan selalu berhati-hati dan menghindar. Kalau dapat jangan sampai berurusan dengan orang itu. 

 

Terkadang demi menghindar, Sulan menyeberang ke sisi jalan yang berseberangan dengan pelabuhan itu. Disana dia akan melihat para nelayan membongkar ikan hasil tangkapan setelah menjaring di laut semalaman. Macam-macam pula jenis ikannya. Ada Sisik, ada Barau-barau, kadang-kadang tampak pula berbagai jenis ikan Kakap. Dari sana dia akan lanjut menuju tepi laut. Sementara di seberang akan terlihat bukit kecil yang bagi orang Belanda disebut dengan Apenberg[1]. Sulan sendiri kurang paham apa itu maksudnya. Yang jelas di bukit itu kerap terlihat banyak sekali monyet bergelantungan di pohon-pohon di lereng bukit itu. Kemudian setelah berbelok dan berjalan sejajar dengan pinggir pantai itu, di sebelah kanan Sulan akan melihat bangunan besar yang dijaga oleh Opas. Angker sekali bentuknya. Tidak ada jendela sama sekali. Akan tetapi pintu gerbangnya terlihat besar, kokoh dan berat. Penjaganya banyak, semuanya memegang senjata. Pedang tergantung sedangkan pistol terselip di pinggangnya. Ada menara intai di tiap sudut, ada kawat berduri di bagian atas pagar yang terbuat dari tembok tinggi itu. Kata orang itu adalah penjara.

 

Di ujung jalan Sulan akan mengantar dua koran ke sebuah kantor militer serta satu buah lagi ke gereja di Strand Weg[2], lalu kembali memutar berbelok ke arah Gurun untuk mengitari lapangan St Michiels. Sulan akan mengantar korannya ke kantor Landraad, ke hotel Oranje serta satu lagi ke sebuah firma dagang yang berdiri agak terpisah di arah barat lapangan itu. Lapangan yang terlihat anggun itu cukup sibuk pagi itu. Terlihat oto berlalu lalang cukup banyak. Maklumlah di sekeliling lapangan itu cukup banyak terdapat kantor-kantor berbagai macam urusan. Para ambtenaar[3] mulai sibuk untuk memulai harinya dengan pekerjaan masing-masing. Pantalon licin bersepadan dengan kemeja yang sudah disetrika rapi. Apatah lagi di pinggangnya melilit sabuk kulit yang kepalanya terbuat dari logam, kebanyakan kuningan. Gagah nampak para Ambrtenaar itu. Maklumlah, penampilan memang diperlukan untuk menambah keyakinan orang yang berurusan dengan para pegawai tersebut. Maka jika dirasa kurang yakin, bahkan banyak pula yang mengupahkan cuci-gosok pakaiannya kepada toko-toko yang banyak berderet di kampung Dobi. Dekat saja, dua blok dari lapangan San Michiels, apalagi bagi yang sudah tahu, bisa saja memotong jalan dari samping gereja.

 

Di sekitar lapangan itu, di pinggiran Kerk Straat terdapat pelanggan koran Sulan, lalu dua rumah di sisi barat lapangan St. Michiels. Di ujung Sulan akan berbelok ke kanan ke arah pasar Goan Hoat. Disana terdapat 3 kedai Cina yang jadi pelanggannya. Begitu juga di kampung Jao yang tidak jauh dari los baro, ada pula pelanggannya 2 orang Sutan, salah satunya pedagang yang punya toko Kumango di sekitar pasar itu.

 

Maka setelah selesai urusannya dari seputaran lapangan itu, Sulan lanjut ke pasar Goan Hoat yang dicapainya lewat jalan setapak di pinggir bandar kecil di belakang geraja. Dari sana berjalan lagi menuju kampung Jao. Mungkin perlu 10 menit saja berjalan kaki menuju kampung Jao melalui rute itu. Banyak juga orang yang berlalu lalang melalui jalan pintas itu. Termasuk para penggalas yang membeli barang dagangan dari pasar grosir di Pasar Gadang untuk dijual kembali secara eceran di kampung Jao. Selisih mengecer barang itu lumayan. Maka banyak orang yang berusaha seperti itu. Mereka itu lah yang berlalu lalang di pagi itu di jalan kecil yang menjadi jalan memotong itu. Apabila dari arah kampung Jao terlihat mereka berjalan dengan tangan kosong, maka sebaliknya biasanya jika hari sudah agak siang sedikit, terlihat mereka yang sudah selesai berbelanja di pasar Gadang memanggul atau menjujung sendiri barang dagangannya dengan kepala atau bahunya masing-masing kea rah kampung Jao.

 

Tiba di kampung Jao, selesailah etape satu. Sulan paham itu, tubuhnya butuh istirahat sebentar. Dia akan menarik nafas dulu sebelum melanjutkan perjalanannya ke arah Blantoeng Kecil. Biasanya dia akan berdiri menyandar ke tiang lampu yang terkadang belum dimatikan saat matahari sudah mulai terang itu. Dilihatnya orang-orang pribumi sibuk membongkar dagangannya. Barang-barang dagangan yang relatif berharga dan berat dibawa dengan pedati[4]. Jejeran pedati sudah mulai pada sepagi itu. Genta-genta saling beradu bunyi ketika pemilik pedati mengangkat singka [5]dari tengkuk kerbau. Kerbau-kerbau itu diberi kesempatan untuk makan dan beristirahat. Ya, memang begitu, untuk kebutuhan itu pun sudah ada pula orang-orang yang kerjanya menjual rumput untuk para kerbau penarik pedati itu. Mereka mencari rumput di ladang-ladang yang masih banyak terdapat di pinggir-pinggir kota, di tepi bandar serta di rawa-rawa berair yang subur. Melimpah rumput untuk dijadikan pakan kerbau itu. Dijual per karung kepada pemilik pedati setiap pagi di kapung Jao. Maka para penjual rumput serta pemilik pedati itu sejatinya sudah ada rasa saling membutuhkan atas usahanya masing-masing.

 

Pemilik pedati yang sudah sampai sudah bisa membiarkan kerbaunya makan dan beristirahat. Namun, boleh dikata hampir setiap waktu berdatangan lagi puluhan pedati.  Pedati-pedati itu akan memenuhi pelataran jalan sehingga ada yang akhirnya parkir ke bagian belakang area pasar karena tidak kebagian tempat. Karena pedati yang sudah selesai mengantar barang, biasanya tidak akan langsung pergi. Sekurangnya kerbau dan tuannya akan makan dan beristirahat dulu di situ. Baru jika dirasa sudah cukup mereka meninggalkan kampung Jao kembali ke tempat masing-masing. Akan tetapi banyak pula pedati itu akan baru berangkat kembali pulang ketika pasar usai menjelang petang. Pedati itu sepaket dengan pedagangnya. Pedati sebagai juru angkut, pedagang sebagai tukang jual. Bila dagangan habis baru kembali pulang. Itu pun pastinya jika sore sudah mulai datang ketika hari sudah mulai petang.

 

Maka ketika pedati mencari tempat untuk parkir yang di bagian depan pasar sudah penuh itu, terpaksa ke belakang. Dimana ketika menuju areal belakang biasanya roda pedati yang terbuat dari kayu keras dengan diameter yang lumayan besar itu akan tersekat diantara tanah yang di bagian belakang pasar itu lunak dan sedikit berair permukannya. Susah kerbau menghela pedatinya. Maka terkadang terpaksa si empunya minta tolong dengan memanggil sesama tukang pedati lainnya untuk membantunya mendorong badan pedati bagian belakang agar rodanya keluar dari sekat tanah lunak itu. Berderak roda pedati diantara teriakan aba-aba satu…dua…tiga orang yang berperan sebagai komando untuk mendorong pedati tersebut. Terkadang saking susahnya, karena terperosok, ada kalanya muatan harus di bongkar dulu agar tarikan kerbau menjadi ringan mengeluarkan roda dari perangkap tanah lunak yang becek ketika musim hujan itu. Itu lah sebagian pemandangan Sulan setiap pagi.

 

Pada pemilik atau kusir pedati biasanya akan memakai sarawa kepa[6] yang tebal, Sementara bajunya kemeja atau baju potong Cina sederhana. Warnanya kalau tidak putih ya hitam. Itu saja. Tapi ada pula yang warna bajunya agak kuning kecokelatan, bukan karena apa, tapi warna putihnya yang sudah mulai luntur akibat cara mencuci yang salah apatah lagi setiap hari dibawa kerja sambil diterpa cahaya matahari. Apalagi jika kain dasar pembuat baju itu hanyalah belacu dan merekan, sebentar sudah pudar. Di kepala juru pedati biasanya terpasang deta[7] atau kain sarung yang dililit dan diikatkan dengan ketat sehinga terlihat melekat erat dengan estetis di kepala si empunya. Kain sarung biasanya tidak lepas di selempangkan. Entah untuk keperluan sembahyang atau untuk menahan dingin ketika angin berembus atau hujan turun ketika di perjalanan. Tinggal membuka lipatan, lalu sarung di sampirkan ke seluruh tubuh.

 

Para pedagang di kampung Jao biasanya membawa dagangannya dengan cara menjujung dagangannya diatas kepala sampai ke pasar. Apalagi jika dagangannya hanyalah barang-barang murah saja. Maklumlah, kalau menyewa pedati pula, mana untung untuk dibawa pulang. Karena dagangan yang dijual harganya tidak seberapa mahal, jumlahnya pun tidak seberapa. Pagi itu dilihatnya karung-karung beras diturunkan dari pedati. Sepertinya pemiliknya langsung yang memikul karung itu. Mungkin kalau diupahkan lagi ke tukang angkat tentu akan memakan biaya pula. Alamat akan berkurang keuntungan karena ongkos angkat tersebut. Walaupun los beras agak ke dalam sedikit. Bukan di depan, di pinggir jalan, Terseok-seok nampak laki-laki separo umur itu memanggul karung berasnya bolak-balik dari pedati menuju petak jualannya.

 

Tampak para penjual sayur memilah-milah ulang dan membuang bagian terluar sayurnya yang terkulai patah karena terimpit di perjalanan. Lalidi[8] disusun sesama lalidi. Bayam disusun sesama bayam. Batang talas disusun memanjang, sama dengan ikatan pakis yang hijau pucuk itu. Tampak pula beberapa buah terung yang tidak seberapa besar, tidak banyak, sama dengan buah tomat separo mengkal yang jumlahnya cuma 5-6 buah di pajang di hamparan milik pedagang yang sama. Tidak banyak dagangannya namun cukup lengkap. Pedagang sayur dan hasil pertanian hampir semuanya perempuan. Perempuan separuh baya tepatnya. Di Padang, perempuan seperti itu biasanya dipanggil One. Ada pula yang dipanggil Etek, atau Amak bagi yang sudah lebih tua umurnya. Pakaiannya kebaya labuah, dengan lengan lebar tergantung separo lengan pertanda perempuan itu siap bekerja dan cekatan. Ibarat menyingsingkan lengan. Di bagian bawah, dia akan memakai kain panjang yang disebut kodek. Sementara, kelanya ditutup dengan selendang yang biasanya kedua ujungnya menjuntai ke bahagian belakang menutupi bagian rambut serta seluruh kepalanya. Bila di kampung Jao yang berjualan sayuran seperti itu semuanya orang pribumi, Beda dengan di Tanah Kongsi. Disitu sebagian penjual sayur adalah orang Nias, sementara yang berdagang hasil bumi, terutama dalam partai besar pasti biasanya orang Cina.

 

Biasa saja, begitu lah sehari-hari pasar kampung Jao dilihat Sulan. Maka, tidak mau membuang waktu lebih lama, dia mengangsur langkahnya menuju toko Kumango[9] dimana Sutan pemilik toko tersebut juga adalah pelanggannya. Tidak tampak pemilik toko itu ketika Sulan datang. Mungkin karena masih terlalu pagi. Yang ada hanyalah anak dagangnya. Sulan menitipkan Koran itu ke anak dagang Sutan yang sepertinya masih sebaya walaupun sedikit agak tua darinya. Setelah itu, Sulan bergegas pula menuju sebuah toko emas milik seorang sudagar lokal, mungkin orang dari Bukittinggi. Diantarnya koran ke toko yang ketika dia sampai itu para anak buah kedai itu masih berbenah membersihkan dan merapikan kedainya.

 

Selesai dua toko itu, Sulan langsung menyusuri jalan di kampung Jao itu sampai ke ujung dimana dia akan berbelok kiri sedikit lalu ke kanan menuju ke Van Bosse Straat. Jalan ini pendek saja, mungkin tidak sampai 400 meter panjangnya. Tapi sepanjang jalan sudah banyak berdiri rumah-rumah di bagian kiri dan kananya. Sebagian besar rumah tembok dengan dinding yang tinggi beratap genteng, sebagian lagi atapnya seng. Namun ada pula rumah yang hanya bagian bawahnya terbuat dari tembok. Di bagian atasnya masih terbuat dari papan. Namun, sama saja, sama-sama besar rumanya, sama-sama indah bentuknya, sama-sama besar jelendelanya dan sebagain punya teras yang ada kursi di bagian depannya. Disini ada satu rumah yang jadi pelanggan koran Sulan di Van Bosse, tapi semenjak hampir dua minggu lalu, Tek Kiah yang biasa bersih-bersih dan memasak disitu mengatakan bahwa Tuannya sedang bepergian. Sulan mendengarkan saja, tapi koran tetap dia antarkan. Bahkan beberapa hari yang lalu Tek Kiah sempat menanya Sulan, dimana itu Ostrali. Sulan bingung, tidak mengerti perkataan Tek Kiah itu. Katanya Tuannya mau ke tempat itu.

 

Setelah bertukar sapa dengan Tek Kiah, Sulan langsung melanjutkan langkah ke Blantoeng Kecil. Di ujung jalan yang tidak seberapa panjang itu Sulan belok kanan karena disitu terdapat tiga buah rumah berderet yang merupakan pelanggannya. Agak susah biasanya Sulan ketika sampai di tempat itu sebab halaman rumah tersebut luas, namun si empunya rumah sering tidak kelihatan. Pagar tanaman yang terdiri dari daun bunga sepatu yang selalu dipotong rapi. Satu-satu terlihat bunganya yang berwarna merah sedang mekar tersembul diantara daun rimbun berwarna hijau. Di bagian dalam tampak bunga kertas mekar berwarna ungu kemerahan. Alur bunga yang panjang diberi penyangga untuk membantunya merayap sesuai dengan pola yang disiapkan oleh si empunya rumah itu. Luas halaman itu, cantik pula tamannya.

 

Alih-alih, beberapa waktu dulu, dia malah pernah di kejar anjing di rumah kedua setelah dia berdiri cukup lama memanggil sambil berteraiak “Koran….koraaaan!” Rumah itu agak lain dari rumah pelanggan yang lain. Karena yang tinggal disana bukanlah Meneer Belanda berkulit putih. Akan tetapi seperti orang Cina, kulit putih, mata agak sipit, tubuhnya agak tinggi dibandung engku-engku yang kebanyakan di jumpai Sulan di pasar. Namun anehnya kalau bertemu dan berbicara, tidak ada cadel lidahnya, sebab Sulan paham bagaimana orang Cina berbicara. Maklum, Pulau Aie tempatnya mengambil koran setiap pagi berada di kawasan tempat orang-orang Cina banyak berdiam. Jadi Sulan paham karena melihat mereka sehari-hari. Berbeda pula dengan Engku mata sipit di Blantoeng Kecil itu. Sulan sudah mulai lelah, keringatnya sudah mulai mengkristal di dahinya. Kopiah model Istanbul yang dia pakai dia buka sebentar kemudian dipakaikan lagi untuk memberi kesempatan aliran udara masuk ke dalam rongga kopiah agar tidak pengap dan panas. Maka, menghindari matahari semakin terik, takut pelanggan lain akan marah karena korannya lambat diantar, akhirnya Sulan menyelipkan saja Koran untuk Tuan bermata sipit itu di jeruji pintu masuk rumahnya yang terbuat dari besi kokoh berjeruji itu. Berharap si empunya rumah atau babunya melihat kalau mereka keluar nanti. Sulan yakin ada orang dirumah, sebab dia lihat jendela kamar tidur sebelah kanan terbuka lebar.

Lihat selengkapnya