Saputangan dari kamp Bangkinang

Osvian Putra
Chapter #4

Sebelum Jepang Masuk, Sepenggal Malam.

04. Sebelum Jepang Masuk, Sepenggal Malam.

 

Cerita Oma (3)

 

Matahari baru saja tergelincir di ufuk barat. Di Muaro dan di Strand Weg, sepanjang pantai, langit yang tadi jingga perlahan gelap. Meneer-meneer Belanda yang menghabiskan waktu memandangi laut di kala sore itu, duduk di pantai menghadap ke laut. Tampak pula Apenberg di sebelah kiri mulai gelap. Oto-oto yang tadi berjejer di sepanjang garis pantai satu per satu meningglkan arena. Begitu pula motor pit yang raungan suaranya khas itu. Tentu saja biasanya yang mengendarai motor pit itu adalah kalangan bagsa Eropa atau Indo yang berusia lebih muda. Mereka menjual lagak kepada lawan jelis dengan bergaya di sepanjang Strand Weg menjelang petang. Gadis-gadis Belanda juga begitu. Di sebuah kedai kecil dibawah phon rindang di ujung kawasan Gurun, mereka berkumpul dan berkerumun. Yang di jalan hendak dilihat. Yang di kedai ingin melihat. Begitu adat anak muda Eropa kala itu.  

 

Norton dengan suara yang khas meraung di sepanjang jalan. Seorang pemuda dengan tampang tak acuh tampak duduk diatasnya dengan gagah. Motor yang bernemapilan ramping berpadu dengan penungganggnya yang tinggi besar itu terlihat gagah. Jaket kulit si empunya melambai-lambai di belakang punggungnya karena tidak dikancingkan. Di depan Coffee shop di ujung jalan itu dia melambat, kemudian memainkan gas sambil sudut matanya melirik kepada para gadis yang duduk disitu. Kakinya yang dibalut lars kulit pendek itu lincah memainkan kopling sehingga raungan motornya terasa serasi dengan tarikan gasnya.

 

Hampir sama saja dengan kelakuan yang mengendarai oto cabrioltet[1]. Dengan pantalon serta jas yang terlihat lebih resmi, sebatang cerutu melakat diantara dua jari, Lengannya disampirkan diatas pintu oto yang tidak berbingkai jendela itu. Begitu pula, ujung lengan biasanya digulung lipat tiga ketas, kancing paling atas biasa pula terbuka satu memperlihatkan bidang dada yang berbulu. Kacamata Rayband melekat diatas hidung Meneer yang mancung itu. Rambutnya, tentu saja licin. Mungkin pakai Murray sehingga terlihat rapi dan mengkilat. Memang itu ilmunya. Yang menunggang motor dan oto menjual pesona, yang gadis tersenyum malu-malu. Begitu keriuhan itu hampir setiap petang sebagai pengantar hari menjelang Padang.

 

Sementara disisi lain kota, ketika langit sudah mulai teduh. Seorang lelaki separo baya, Udin, bersiap mengadu nasib. Ketika sore mulai datang dia akan mulai menggongseng kacang tanah berukuran pilihan itu di dalam pasir panas yang diaduk di dalam sebuah kuali besi besar. Dengan api yang tak pernah besar, dengan sabar Pak Udin menggongseng kacang tanah itu, mengaduknya dengan rata bersama pasir menggunakan sendok besi yang ukurannya cukup besar dengan tangkai bambu panjang. Sehingga dia tidak perlu berdiri terlalu dekat dengan tungku yang pasti bersuhu panas itu. Lebih dari satu jam dia dengan sabar mengaduk-aduk kacang tanah itu. Kemudian ketika dirasa sudah matang, dia akan mencoba barang satu dua kacang itu, apakah sudah cukup matang dan enak. Jika sudah, maka dia mulai mendinginkan api dengan cara menyingkirkan bara dari tungku itu. Dia akan membiarkan kuali panas itu berangin-angin sebentar sampai suhu pasir serta kacang tanah didalamnya mendingin secara alami. Maka, sambil menunggu proses itu, Pak Udin akan segera mandi kemudian sembahyang ashar terlebih dahulu.

 

Setelah itu Pak Udin menyiapkan nyiru besar yang terbuat dari anyaman bambu bertepi agak tinggi. Kacang tanah yang sudah berubah menjadi kacang goreng itu diisi sepenuh nyiru. Terhampar pula dua buah gantang[2] ukuran di atas butiran kacang goreng beraroma semerbak itu. Jika sudah begitu artinya Pak Udin siap berjualan.

 

Pak Udin punya singgulung[3] besar yang pipih tapi cukup lebar. Diletakkannya secara hati-hati diatas kepalanya sebelum nyiru yang penuh kacang itu diletakkan di bagian tas. Di bahunya dia menyandang sebuah kampia berisikan kertas-kertas bekas Koran untuk pembungkus kacang ketika ada yang membeli nanti. Caranya adalah menyesuaikan ukuran kertas pembungkus dengan pesanan pembeli. Jika yang dibeli orang adalah satu gantang kecil, maka cukup seperempat kertas koran dia lipat pipih membentuk segitiga dimana bagian bawahnya akan berbentuk kerucut. Nah, dibagian atas yang lebar itulah dimasukkan kacang sesuai ukurannya tersebut. Lalu ketika sudah penuh, sisa kertas dilipat ke bagian tengah sisi demi sisi sehingga bentuk segitiga akan nampak setelah bungkusan itu tertutup dengan lipatan dengan rapi. Akan tetapi jika yang dibeli orang satu gantang besar, maka tidak akan cukup 1 helai kertas ukuran seperempat Koran itu untuk membungkusnya. Maka Pak Udin akan menyiapkan dua helai kertas koran yang sudah dibagi empat, lalu keduanya disusun berhimpitan dimana di bagian tengahnya masing-masing akan saling berhimpitan untuk menciptakan ukuran yang lebih besar serta hasil bungkusan yang lebih besar pula. Tangan Pak Udin sudah lihai dengan cara bungkus membungkus itu. Lihai sekali dia menyiapkan pesanan pembeli bahkan sambil maota[4] pula dengan pembelinya. Maklumlah, Pak Udin sudah melakoni pekerjaan itu lebih dari 8 tahun lamanya. Sudah terbiasa sekali tangannya dengan pekerjaan-pekerjaan itu.

 

Dari kawasan Jati Pak Udin berjalan. Mulai dari sekolah Adabiah menuju selatan ke arah Terandam. Dia menyusuri jalan di pinggir banda[5] itu sambil berteriak “kacang goreeeeaaaang……….kacang goreaaaang!” matanyanya liar melirik ke kiri dan kanan, telinganya nyaring mendengar kalau-kalau ada yang memanggilnya di kejauhan. Sebab dia tahu bahwa tidak akan bisa bergerak leluasa dengan beban sebesar dan seberat itu di kepalanya. Yang pasti, semangat dan harapannya besar untuk berjualan. Sehingga kalau pulang dia bisa membeli beras untuk dibawa pulang.

 

Satu dua pembeli sudah ada yang memanggil Pak Udin. Dia berjalan terus, mengambil rute dari Jati ke Simpang Haru. Dari Simpang Haru menuju Terandam kemudian menyeberang menuju Ganting. Di Simpang Haru Pak Udin akan berjalan hingga ke stasiun kereta api. Stasiun itu amatlah besar, bahkan terbesar di Sumatra Westkust saat itu. Bangunannya modern, terbuat dari tembok beratap seng dengan plafon yang cukup tinggi, sehingga udara di dalamnya tidaklah pengap. Selain dari kantor penjualan karcis. Di stasiun itu terdapat pula Kantor SSS yang mengelola perkereta apian, yaitu Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust. Ada juga kantor perusahaan ekspedisi. Kantor perwakilan perusahaan dagang. Ada pula restoran, kedai minum serta kedai yang menjual berbagai macam keperluan perjalanan. Selain ruang tengah yang diperuntukkan untuk umum tersebut, terdapat pula peron untuk menunggu keberangkatan kereta sesuai dengan jadwal serta jurusan masing-masing. Sementara di bagian pinggir terlihat kantor pimpinan serta petugas kereta api tersebut untuk berbagai macam keperluan. Terlihat dari symbol yang dia pakai pada baju seragamnya. Mungkin ada kantor yang diperuntukkan bagi juru tulis, untuk para kasir dan pemegang buku keuangan, untuk petugas pelayanan kereta, untuk petugas teknis. Begitu juga untuk petugas keamanan. Jelas saja tandanya, karena terlihat petugasnya membawa tongkat kayu berwarna hitam sedikit lebih kecil dari lengan orang dewasa, berjalan hilir mudik memperhatikan keadaan. Petugas keamanan ini, berbeda sepertinya seragamnya dengan petugas kereta api lainnya. Selananya hitam, sepatunya hitam, namun bajunya kemeja putih. Petugas yang hilir mudik terlihat adalah orang pribumi. Namun jika diintip kedalam kantornya, sepertinya pimpinan unit itu tetaplah orang Eropa berkulit putih. Ada pula klinik di stasiun itu. Tandanya tentu saja ada salib merah dipermukaan cat berwarna putih. Pegawainya yang wanita memakai topi zuster seperti di rumah sakit. Berarti jika ada penumpang yang sakit atau mabuk di perjalanan, ketika sampai di stasiun ini bisa segera dibantu di klinik tersebut. Termasuk pula yang berjaga-jaga adalah pegawai de Brandweer[6]. Mereka siaga dengan alat pemadam sederhana di kantornya yang terletak paling dekat dengan rel di ujung arah timur stasiun itu. Stasiun Simpang Haru itu memang besar. Modern sekali bentuknya. Kereta yang datang dan pergi tertulis di papan pengumuman besar berwarna hitam dengan tulisan putih mencolok yang dapat dilihat oleh semua penumpang dari ruang utama stasiun beratap tinggi itu.

 

Pada sore hari cukup banyak penumpang yang baru pulang dari berbagai jurusan baik dari Nareh dan Pariaman. Begitu juga yang tadi pagi berangkat dari Payakumbuh menuju Padang. Tentu saja penumpang yang naik dari Bukittinggi, Padang Panjang, Kayu Tanam serta Sicincin ikut di dalamnya. Termasuk pula kereta yang dari Sawahlunto serta Solok yang bertemu dengan jalur dari Payakumbuh serta Bukittinggi di stasiun Padang Panjang. Namun, sore itu, tidak banyak Pak Udin berjual beli. Sudah tiga kereta datang. Ratusan penumpang berhamburan keluar dari kereta menuju berbagai macam tempat. Di pintu keluar stasiun dia menunggu dengan sabar sambil sekali-sekali dia berteriak “kacang goreeeeaaaang……….kacang goreaaaang!” yang ada malah dia dipelototi petugas stasiun berseragam dan bertopi putih. Pak Udin disuruh menjauh karena menurutnya mengganggu ketentraman di stasiun. Apa boleh buat, walaupun sudah berusaha, namun sepertinya keberuntungan tidak berpihak kepada Pak Udin sore itu di Simpang Haru. Dia berjalan terseok diantara debu yang diterbangkan angin ketika oto lewat di jalan lurus di depan stasiun itu. Beradu cekatan dengan para kusir bendi serta pengendara sepeda, Pak Udin menyisir area stasiun dimana di sepanjang pinggir jalan di sebelah rel itu terdapat puluhan rumah bercorak seragam. Semuanya adalah perumahan untuk pegawai SSS tersebut. Rumahnya tidaklah sebesar rumah-rumah di Blantoeng. Namun yang ini selain bentuknya sama, warnanya pun sama-sama putih. Walaupun pekarangannya tidaklah besar namun rapi sekali kelihatannya perumahan itu. Justru malah ketika lewat di depan perumahan itu Pak Udin baru dapat pembeli. Seorang Mevrouw[7] memanggilnya datang. Lalu ketika dia sudah mendekat melayani Mevrouw tersebut di teras rumanya, tetangganya juga ikut memanggil. Lumayan juga. Tadi diusir mungkin oleh suami Nyonya ini, tapi sekarang Pak Udin malah diundang oleh istrinya. Bedanya dengan keluarga Eropa ini, mereka membeli lebih banyak dibanding kebanyakan orang pribumi. Entah karena mungkin harga kacang goreng ini dirasa terlalu murah bagi mereka, atau mungkin mereka suka sekali dengan kacang goreng racikannya. Entah. Yang jelas Pak Udin begitu senang ketika anak-anak Mevrouw tadi ikut tersenyum menyapa Pak Udin sambil menyebut kacang dengan logat yang aneh dari mulut mereka. Anak-anak Mevrouw tadi terlihat masih kecil, mungkin paling besar baru sepuluh tahun usianya. Mengenakan celana monyet berwarna gelap, anak itu terlihat mengendarai sepeda dan berlarian bersama di halaman rumput yang tidak begitu luas itu. Sementara ibunya mengawasi dari teras rumah. Siap meladeni anak-anaknya jika haus dengan air sirup berwarna merah untuk mengatasi cuaca panas di sore hari yang gerah itu.

 

Selesai berjual beli dengan para Nyonya itu. Pak Udin melanjutkan perjalanan ke arah Terandam. Langkahnya masih tegap. Dia berjalan dengan bersemangat menyusuri jalanan yang cukup sibuk di sore itu. Jika tadi di kawasan Simpang Haru dia banyak melihat dan kacang gorengnya dibeli oleh orang Eropa. Saat ini dia memasuki pula perkampungan orang pribumi. Banyak juga Engku-engku yang rumahnya tinggi-tinggi itu memanggil Pak Udin untuk membeli kacang gorengnya. Mungkin untuk jadi teman minum teh sambil bercengkerama dengan keluarganya di beranda rumahnya di kala senja. Terlihat saja dari pinggir jalan rumah para Engku dan Puti itu. Halamannya luas, tapi kebanyakan tidak berpagar. Berbeda dengan rumah-rumah orang Eropa yang rumahnya juga besar dan berhalaman luas. Bedanya rumah orang Eropa biasanya terbuat dari tembok dengan atap genteng atau seng. Pintu dan jendela rumahnya biasanya dibuat besar dan lebar dimana pada siang hari, terutama pagi, sering dibuka lebar agar udara segar bisa masuk dengan leluasa. Rumah orang Eropa biasanya juga sudah punya plafond. Sementara rumah Engku-engku itu terbuat dari kayu, bertiang tinggi dan di depannya hampir selalu ada beranda tempat duduk si empunya. Jamak pula terlihat tergantung lampu hias yang cantik bentuknya dengan warna putih pualam di tengah beranda itu. Cuma bedanya, sebagian besar rumah-rumah tinggi itu tidak ada plafon, sehingga dari atap langsung terhubung dengan ruangan dibawahnya. Jika atapnya terbuat dari seng, maka akan terasa sekali pengapnya hawa di siang hari. Begitu pula jika hujan turun, Suara air hujan beradu dengan permukaan seng akan terdengar begitu berisik di dalam rumah. Halamannya sama-sama luas. Namun bedanya, rumah-rumah orang Eropa halamannya biasanya berpagar. Baik pagar dari besi atau terbuat dari tanaman hidup yang dipotong secara teratur. Sedangkan rumah-rumah orang asli biasanya halamannya dibiarkan terhampar begitu saja tanpa ada pagar pembatas. Sering pula di halaman yang luas itu, ditanami pohon buah-buahan seperti rambutan, jambu air ataupun mangga. Sehingga jika musim berbuah para pemiliknya tinggal panen saja langsung di depan rumahnya masing-masing. 

 

Ketika sampai di Ganting, matahari sudah tenggelam, walaupun langit belum sempurna gelap, namun sayup-sayup sudah mulai terdengan suara adzan. Maka, biasanya Pak Udin akan mampir dulu ke masjid yang ada disitu untuk sembahyang. Besar mesjidnya, terbuat dari tembok, megah. Apalagi hiasan pada dindingnya sangatlah cantik walaupun cukup asing bagi orang awam seperti Pak Udin. Namun yang pasti dia takjub dengan bangunan sebesar itu. Disitu Pal Udin berhenti sebentar menunaikan sembahyang magrib.

 

Konon, biasanya kekuatan do’a akan selalu mengikuti usaha. Selesai sembahyang, Pak Udin akan menyiapkan lampu minyak yang tadi masih tersimpan di dalam kampia[8]-nya. Lampu itu dikeluarkan untuk dinyalakan dengan api-api[9]. Ketika lampu sudah menyala, langit sudah gelap. Tentu saja Pak Udin akan menjadi pusat perhatian karena di tengah gelap ada terang. Maka tak jarang orang datang berkerumun dari tadinya ingin tahu sekarang berubah jadi ingin membeli dagangannya. Tekong demi tekong terjual di halaman masjid. Lebih dari separo daganagnnya habis ba’da magrib itu. Tentu beban Pak Udin tidak lagi berat. Dengan riang dia lanjutkan perjalanan menuju jalan raya ke arah Alang Laweh. Banyak rumah-rumah besar milik orang kaya di daerah itu yang menjadi target penjualannya. “kacang goreeeeaaaang……….kacang goreaaaang!” Pak Udin berjalan tegap menyisir malam. Agak penat sedikit, dia biasanya akan berhenti di rel kereta api. Karena disana biasanya banyak orang-orang berkumpul di bawah lampu jalan. Matanya waspada melihat ke kiri dan kanan. Satu per satu kacangnya dipesan orang.

 

Lama juga Pak Udin berhenti di pinggiran rel kereta itu. Selain karena terang, orang juga banyak berlalu lalang, sehingga peluang untuk berjual beli tentu saja muncul. Namun, dari ota orang-orang yang tadi datang silih berganti, Pak Udin menyimak bahwa malam itu ada orang melaksanakan pesta perkawinan di Ranah. Tidak jauh dari tempatnya berada saat itu. Maka, karena dirasa dia sudah cukup lama berada disitu dan pembeli sudah semakin jarang. Apatah lagi kacang gorengnya masih tersisa sepertiga kurang sedikit. Pak Udin tertarik untuk menuju kawasan Ranah itu selanjutnya. Nampan bambu itu diangkatnya hati-hati setelah memasang singgulung. Ditegakkannya tubuhnya hati-hati agar kacang tidak tumpah dari junjungannya. Ketika sudah bisa berdiri tegap, Pak Udin mulai mengaunkan kembali langkahnya: “kacang goreeeeaaaang……….kacang goreaaaang!” teriaknya mantap membelah malam.

 

Belum jauh berjalan dari rel itu, sudah ada saja yang memanggilnya untuk singgah. Satu, dua, tiga rumah dia singgahi di malam itu. Rupanya cahaya lampu minyak berasap hitam itu bagai pelita di tengah kegelapan. Selain dari suaranya yang khas meneriakkan dagangannya, maka cahaya lampu lampu kecil diatas kepalanya itu seperti membuat orang terpengaruh oleh cahayanya dan meminta Pak Udin mampir. Kacang gorengnya sudah berkurang banyak. Kampia-nya yang tadi banyak berisi kertas koran bekas sekarang sudah bertukar dengan uang rimis[10] serta cent yang berat. Lumayan jumlahnya pikirnya. Namun, dagang belumlah usai. Pak Udin kembali membelah malam sampai ke kawasan Ranah. Belok kanan dari Alang Laweh. Tidak begitu jauh sebenarnya. Tidak sampai satu kilometer dia berjalan. Sayup-sayup Pak Udin sudah mendengar keriuhan dari jauh. Bergegas dia menuju ke arah sumber datangnya suara itu.

 

Cahaya lampu jalan ada satu-satu, selebihnya cahaya dari rumah-rumah orang di sepanjang jalan yang cukup banyak rumah orang berada dengan rumah besar berhalaman luas itu membuat suasana tidak begitu gelap. Apatah lagi cukup banyak orang-orang yang berlalu lalang, baik dengan berjalan kaki, maupun pakai bendi. Lampu-lampu bendi yang berlalu lalang pun sebenarnya ikut menyemarakkan suasana. Cukup sibuk sebenarnya malam itu.

 

Terlihat pula rombongan ibu-ibu dengan pakaian yang meriah bercengkerama di sepanjang jalan. Pakaiannya merah dengan tikuluk[11] bermotif Koto Gadang yang padu padan dengan bajunya. Kainnya kebanyakan adalah kain tenun halus berwarna senada. Sepertinya mereka baru saja pulang dari perhelatan tersebut. Berjalan seiring menuju rumah masing-masing. Sementara berlawanan arah, terlihat Engku-engku bercelana batik, dengan baju Teluk Belanga berbahan halus. Sebagian memakai jas diluarnya. Di bahunya terhampar kain bugis yang menjuntai ke leher bagian kira-kanannya. Namun, mungkin karena panas, sebagian lagi tidak memakai jas, hanya memakai baju Teluk Belanga dengan Kain Bugis tergantung di tengkuknya. Yang sama, hampir semuanya memakai kopiah beludru ala Turki berwarna hitam. Sebagiannya memakai kopiah dengan cara agak miring sedikit. Itu pula caranya. Bagi yang punya gelar, bukan kopiah pakaiannya, namun deta kebesaran yang bertengger di kepalanya. Terlihat anggun para bangsawan itu berjalan, apalagi jika memakai tongkat, terlihat lebih berwibawa. Selain memakai kopiah berwarna hitam, hampir semua kain bugis yang halus dan sangat tipis itu juga berwarna gelap. Hitam pekat, cokelat pekat atau merah maron pekat. Itu pula mungkin yang menambah wibawa orang yang memakainya. Konon, kain bugis seperti itu, bisa empat kali lipat pantalon harganya. Kisaran £ 40 dijual di toko Keling.

Lihat selengkapnya