Saputangan dari kamp Bangkinang

Osvian Putra
Chapter #5

Jepang Masuk

05. Jepang Masuk

 

Cerita Oma dan catatan Meneer de Huivel, Padang medio Maret 1942.

 

Menjelang siang, panas menyeruak setelah embun bergerak ke angkasa. Hawa pagi yang nyaman telah hampir berakhir. Debu-debu di pinggir jalan yang tadi terperangkap dingin malam, sekarang sudah terbang kembali di deru angin yang bergerak diterpa roda bendi. Aroma bau pesing di pemberhentian pedati pun telah kembali menyeruak di tengah udara yang lembab itu. Tidak di kampung Jao, tidak di Pasa Gadang, di Pasar Mudik serta Tanah Kongsi pun begitu. Padang mulai memasuki musim kemarau yang panas.

 

Bisik-bisik sudah sama-sama kedengaran. Kata-kata yang tadi tertahan-tahan kini telah sampai. Bahwa bala tentara Nipon ikut berperang dalam perang dunia. Bahwa Nipon ikut aliansi Jerman dibawah pimpinan Hitler. Nipon adalah bengsa paling maju di timur. Nipon adalah bangsa paling pemberani di timur. Tak hendak dia melihat lagi ada penguasaan dari barat kepada para saudaranya di Timur itu. Nipon kini maju menyeruak ke gelanggang. Tidak lagi melihat dari tepi.

 

Setidaknya kalimat-kalimat seperti itu yang sering terdengar di teling Sulan beberapa waktu belakangan. Baik ketika mengantar Koran, atau ketika berjalan pulang. Engku-engku, Mamak-mamak, Pemuda, siapa saja menceritakan hal yang sama. Di kedai, di lepau, di halaman masjid, di jalanan dan di mana saja. Sama dengan Pak Udin, tentu saja dia sering mencuri dengar is iota orang-orang yang diteuminya di jalanan, di kampung-kampung, di pemukiman-pemukiman di sepanjang rute dia berjualan kacang goreng.

 

Saat itu, seorang Engku yang belum lama pulang dari sekolah di Jepang ramai menjadi rujukan banyak orang. Apatah lagi istrinya juga adalah seorang perempuan Nipon dengan ciri khas matanya yang sipit itu. Entah bagaimana, bisa saja orang membedakan mata Nyonya Nipon itu dengan mata orang Cina lainnya yang banyak ditemui setiap hari di Pondok. Ya, Engku Majid sekarang banyak dimintai pendapat, carita dan masukan. Oleh Inyik Demang, oleh Engku Marah Sutan, oleh Puti Banua, oleh Buya Jamilin yang memimpin surau Pakan. Semua ingin tahu.

 

Hari itu, di kedai Bulek meja kursi yang tersedia nyaris penuh berisi semuanya. Maklumlah, banyak diantara pedagang, tauke serta penggalas, setelah pecah telur pagi itu kebanyakan belum sempat mengudap apapun. Dan kini mereka bergerombol menikmati rezekinya di kedai kopi paling ramai di Pasar Gadang itu. Hilir mudik anak kedai mengantarkan pesanan pembeli. Bubua Samba [1]serta Nasi Dagang adalah menu makanan berat yang paling dicari. Minumannya tentu Kopi, Teh manis, Teh talua serta yang paling unik adalah Sarunai Aceh. Orang kedai menamainya begitu. Sebenarnya Sarunai Aceh adalah minuman herbal warisan budaya Tiongkok yang isinya adalah racikan bunga Chrysantemum. Tapi sudah pasti patah-patah lidah orang membaca dan menyebutkannya. Maka, supaya mudah, disebut saja minumannya Sarunai Aceh. Sesuai dengan judul lagu gamad yang serupa ratapan yang syairnya sedang masyhur dinyanyikan dimana-mana. Maka, bagi anak rantau, suka juga lah mereka menikmati Serunai Aceh panas yang biasanya diberi sedikit perasan air jeruk nipis itu. Manis menyegarkan, dengan sisa aroma asam yang samar tinggal di anak lidah ketika minuman itu sudah masuk ke dalam tenggorokan. Lahiriahnya minum, tapi secara batin, panjang renung anak rantau ketika menikmati minuman itu. Teringat berbagai macam hal yang sudah dilalui sampai ke tahap yang sekarang di tanah perantauan. Penderitaan yang dirasakan oleh anak-anak rantau yang memang jamak dirasakan oleh semua orang itu lah yang dikemas menjadi syair. Dinyanyikan dengan nada pilu. Ibarat para kulit hitam mendengarkan blues. Ratapan yang dimusikalisasi. Makanya Sarunai Aceh cepat populer, sebab begitu mengena di hati. Sebab banyak pula sebenarnya anak-anak dagang di sekitar Pasar Gadang ini berasal dari negri-negri yang jauh dari Padang. Ada yang dari Nias, ada yang dari pulau Tello, ada yang dari Pariaman, tentu ada pula yang dari Bukittinggi atau lebih ke mudik di Payakumbuh.

 

Engku Majid pun begitu pula. Tahu dia dinanti-nanti. Bila ada masa, disitu pula dia membuka cerita. Kali ini di kedai Bulek di tengah Pasa Gadang yang ramai menjelang siang itu. Sulan tahu, makanya dia ikuti momen ini setelah selesai setor kepada Engku Baraim setelah selesai mengantar korang ke rumah-rumah pelanggan. Sulan yang tubuhnya belum sampai 120 centi itu berdiri diluar jendela. Kepalanya tampak separo, dari batas hidung sapai ke ubun-ubun saja. Sebab jendela kedai Bulek itu memang dibuat tidak terlalu rendah dekat dengan tanah.

 

“Jepang mengalami kemajuan pesat dalam 30 tahun terakhir.” Begitu Engku Majid membuka cerita. “Anak-anak Jepang semuanya bersekolah, mereka belajar sungguh-sungguh. Dari sana Jepang mulai memetik hasil. Kehidupan dibuat lebih teratur, semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berhasil. Alat dan sistim diciptakan untuk mempermudah kehidupan.” Engku-engku yang duduk di semeja dengan Engku Majid mulai berhenti mengunyah. Dengan takzim mereka menyimak apa yang disampaikan oleh Engku Majid. Engku Majid melanjutkan cerita: “Karenanya sekarang ini ekonomi Jepang benar-benar sudah maju. Sekolah-sekolah dibangun, Rumah sakit dibangun, jalur kereta api dibangun, semuanya ditujukan buat orang banyak. Hampir tidak membayar sama sekali.” “Ondeh……iya hebat kalau begitu yo!” timpal yang mendengar.

 

“Engku……” seorang lelaki paruh baya berwajah lugu bertanya dari meja kiri yang berjarak satu meja dari Engku Majid duduk. “Aaaaa….dimana itu Nipon tu Engku?” dia sudah menyimak dari tadi, tapi tampaknya dia bingung, Nipon dimana. Jangan-jangan dia tak tahu pula Nipon itu nama apa. Engku Majid menghela nafas sejenak, dia paham, memang begitu, tidak semua orang tahu. “Nipon tu di pinggir Samudra Pasifik, dekat dengan Tiongkok serta Rusia, tapi negrinya berupa pulau-pulau.” Begitu Engku Majid berusaha memberi penjelasan. “Ooooooo…..” gumam orang-orang. Engku Majid sebenarnya belum yakin orang yang bertanya dan orang yang bergumam itu telah paham apa yang dia maksud. “Orang Jepang itu, badannya pendek-pendek berisi, kulitnya kuning keputihan, matanya sipit dan rambutnya lurus, begitu kebanyakan.” Engku Majid berusaha lagi menggambarkan Nipon kepada khayalak.

 

Sungguhpun demikian, terus saja Engku Majid bercerita: “Jepang dengan kemajuannya itu, ingin membawa kita bangsa-bangsa se rantau Asia ini untuk ikut bersama mereka. Maju sebagai bangsa merdeka.” Pengunjung kedai Bulek saling pandang. Tidak satu dan dua orang yang tampak belum paham dengan maksud yang dia sampaikan. “Aaaaa baa[2] maksudnya itu Engku!?” orang-orang memandang kepada yang bertanya seolah memberi persetujuan atas pertanyaan parewa[3] itu. Engku Majid tetap sabar dan teguh untuk menyampaikan apa yang dia tahu dan pahami kepada orang kampunya ini. “Kan sekarang ini kita dikuasai Belanda, diatur Belanda. Maka Dai Nipon ingin agar kita bisa berkuasa di tanah air kita sendiri, kita yang mengatur negri kita.” Pengunjung kedai Bulek saling pandang. Sulan berdiri kesemutan. Seorang Indo berwajah ganteng duduk disudut antara paham dengan tidak.

 

Engku Majid menyeka kumisnya yang tidak seberapa itu setelah menyeruput teh pahit yang penyajiannya berupa serbuk teh yang disiram langsung dengan air panas tanpa di saring terlebih dahulu itu. Memang, semenjak pulang merantau ke negri Nipon untuk bersekolah, Engku Majid tidak terbiasa lagi minum minuman lain selain teh, itu pun pasti tanpa gula. Masalahnya beda pola penyajiannya di Padang dengan di Yokohama tempat dia dulu belajar. Ocha[4] disajikan setelah serbuknya disaring. Jadi tidak perlu menyerapah lagi setelah menenggak minuman berasa tawar agak kelat tersebut. Lagipun, di Jepang, Ocha gratis saja, ketika meenikmati sajian makanan di kebanyakan restoran di Jepang. 

 

Tanggung bercerita. Lagipun Engku Majid merasa berhutang pula menyampaikan khabar kepada orang-orang di kampungnya yang kebanyakan begitu lugu ini. “Lihatlah disini, apa-apa diatur dan ditentukan Belanda. Kalaupun dapat kerja, maka upahmu sudah pasti akan tidak sama dengan mereka. Masalahnya kita ini orang tidak sekolah. Lalu karenanya kita tidak akan pandai. Sengaja dibuat begitu, biar kita hanya bisa bekerja mengandalkan lengan, padahal kita punya otak untuk berpikir.” Mata Engku Majid bersinar-sinar setelah menyampaikan kalimat itu. “Jepang sebagai sesama bangsa Asia, telah memikirkan itu matang-matang. Karenanya mereka ingin kita ini sadar dan bangkit.” “Jika kita jadi bangsa yang merdeka, maka kita bisa memajukan negeri ini secara adil, secara merata. Orang-orang di kampung-kampung bisa sekolah, yang sakit bisa berobat, semua keperluan tersedia untuk keperluan khalayak. Tidak ada lagi perbedaan dan pembedaan.”

***

 

Bukankah ada tulisan “Verboden voor honden en inlanders[5],” di pintu masuk Zwembad di Blantoeng dan di pintu Societeits itu! saya yakin Tuan-tuan tidak paham maknanya! Tambah berapi-api Engku Majid berbicara. Kita ini bangsa yang disamakan dengan binatang. Sama dengan anjing keberadaan kita ini di mata bangsa Belanda itu! “Padang ko[6] nagari siapa, tanah siapa? Siapa yang punya rumah mewah disini? Siapa yang punya oto disini? Siapa yang punya handlekantoor[7] disini?” Seisi kedai diam. Pria Indo yang duduk disudut tidak bereaksi, Engku-engku yang lain menarik nafas kemudian meneguk minumnya masing. Sulan pusing, tidak begitu paham. Semua tepekur dan diam.

 

Pak Udin yang berjualan malam. Menjunjung kacang goreng berkeliling kota. Dimana tampak orang ramai, disitu dia berhenti. Dimana orang memanggil disitu dia akan singgah. Cuaca di musim kemarau yang terasa lebih kering, membuat hamparan kerikil di pinggir jalan terasa menggigit ke telapak kakinya. Sudah setengah abad usianya, bahkan memakai sandal pun Pak Udin belum pernah. Sudah setengah abad umurnya, bahkan dia masih harus mencari sesuap nasi dengan cara berjalan kaki berkilo-kilo sambil menjujung beban berat di kepala. Rabab tolong sampaikan[8]………. Pak Udin tidak sedih. Pak Udin tidak risih, Pak Udin juga tidak merasa malu, sebab dia merasa apa yang dirasainya adalah nasib yang harus diterimanya. Pak Udin tidak paham politik, Pak Udin tidak paham kolonisasi. Pak Udin hanya paham, kacang gorengnya 20 cent satu gantang!

 

Di malam yang terasa panas itu, Pak Udin masih setia menjajakan kacang gorengnya. “kacang goreeeeaaaang……….kacang goreaaaang!” Memotong dari Jati menuju Blantoeng, cahaya lampu minyaknya terasa terlalu kecil untuk jalan yang cukup panjang itu. Lampu rumah tidak semuanya menyala. Tidak seperti biasanya. Sementara tiang lampu berjauhan, membuat tidak ada penerangan jalan. Agak heran Pak Udin sebenarnya, tapi kepada siapa hendak bertanya. Di ujung lorong, ketika sudah bertemu dengan ruas jalan Blantoeng barulah dia lihat cahaya cukup terang. Jendela rumah di sepanjang Blantoeng yang biasanya belum semuanya tertutup se awal ini, sekarang beda. Setelah berjalan lewat di Blantoeng Kecil menuju Olo. Dia merasa ada yang berbeda dengan biasanya. Biasanya Pak Udin melihat satu-dua rumah yang ada orangnya duduk-duduk dan bercengkerama di beranda. Suasananya pun biasanya lebih gembira. Terutama di rumah-rumah yang halamannya luas, biasanya satu dua keluarga yang ada anak kecilnya, anak-anaknya itu masih berkeliaran di halaman. Apalagi di cuaca sepanas ini. Tapi tak nampak orang-orang itu duduk-duduk di luar rumah. Khususnya orang-orang Eropa itu.

 

Malam-malam berikutnya juga begitu. Sudah hampir dua minggu suasana sepi menghinggapi perumahan orang Eropa itu. Pak Udin tidak begitu hirau, dia hanya berpikir bagaimana kacangnya laku. Maka karena daerah yang dihuni orang Eropa dirasa tidak lagi strategis, maka Pak Udin memutar haluan. Dia lebih banyak berjualan ke kawasan Pondok, kampung Cina, Ranah sampai ke Alang Laweh. Disana suasananya berbeda. Relatif sama saja dengan biasanya.

 

Namun malam ini, ketika lewat di simpang Pondok. Di depan toko Fujiyama, orang-orang telah ramai berkumpul. Mungkin lebih dari seratus orang jumlahnya. Terlihat orang-orang dari berbagai penjuru datang berkerumun. Namun yang datang itu hanyalah kelompok orang-orang pribumi. Terlihat dari pakaian mereka, berbaju gunting Cina, sarung terselempang dan memakai celana panjang. Sebagian pakai kain samping. Satu dua terlihat pula Apek-apek Cina berdiri agak ke pinggir. Demikian pula dengan orang Keling yang kulitnya legam. Ikut pula dalam kerumunan tersebut. Kasak-kusuk, semua saling berbicara, saling berbisik, seperti kerumunan lebah. “Japang masuk, Japang masuk….!” Kira-kira itu sajalah kata yang dapat ditangkap dengan jelas oleh Pak Udin. Dia meletakkan nyiru kacang gorengnya di tangga toko Eropa yang menghadap ke barat dibawah cahaya yang cukup terang. Bukannya mencari informasi, dia berharap banyak orang yang membeli, Apalah, menurut Pak Udin, tidak ada yang lebih penting dibanding segantang beras untuk besok pagi.

 

Ternyata sore harinya ada orang besar dari tanah Jao berpidato di depan pasar kampung Jao setelah pasar itu usai. Dari penjelasan beberapa orang yang duduk bersampingan dengannya setelah membeli setekong kecil kacang gorengnya lelaki itu bercerita bahwa menurut orang besar itu Jepang akan masuk, datang ke Padang. Pak Udin yang begitu lugu tak begitu paham apa itu orang besar, apa itu orang Jepang. Sementara lelaki yang membeli kacangnya itu seolah membutuhkan orang lain untuk mendengar ceritanya. Rasanya begitu penting khabar itu untuk segera disampaikan. Menurut informasi dari orang besar yang berpidato tadi itu, saat ini orang-orang berkebangsaan Eropa sedang bersiap-siap untuk menerima kenyataan terburuk. Mereka dalam situasi takut menghadapi apa yang akan berlaku di kemudian hari. Sebab Jepang segera akan mengambil alih kekuasaan. Pak Udin menyimak dengan takzim. Dia mulai paham. Ada orang dari negri yang jauh mau datang ke Padang. Namanya Jepang, “Japang” kata Pak Udin. Setelah itu dia kembali menjajakan dagangannya “kacang goreeeeaaaang……….kacang goreaaaang!”

 

Yang aneh, adalah ketika Pak Udin lewat di depan Societeits malam itu. Gedung besar itu terlihat ramai dengan pengunjung. Barisan oto tampak terparkir di luar gedung. Tuan-tuan nampak datang sambil menggandeng Nyonya-nyonya mereka masing-masing. Jendela serta pintu depan gedung itu dibiarkan terbuka lebar-lebar. Suara musik menyeruak keluar membelah malam. Irama musiknya berbeda dengan gamad yang pernah dinikmati oleh Pak Udin beberapa waktu sebelumnya. Kali ini dia lihat dari kejauhan, dari luar pelataran gedung di pinggir jalan Societeits itu. Karena objek yang dilihat terang benderang oleh cahaya lampu listrik, bukan pertomax seperti di Ranah tempo hari. Terlihat orang-orang menari berpasangan. Tangan yang laki-laki melingkar ke pinggang wanitanya. Laki-laki berpakaian tuxedo hitam, sebagian memakai topi panama, akan tetapi ketika menari topi itu akan mereka buka dan baru akan dipakai lagi ketika mereka sudah kembali ke tempat duduk. Di lehernya terdapat bow tie[9] berwarna hitam. Yang wanita memakai gown[10] yang indah, macam-macam warnanya. Sesuai warna baju dengan sepatunya yang bertumit tinggi itu. Bila dia berjalanan beriringan berdua diatas lantai semen itu, maka akan terdengar hantakan sepatu-sepatu itu: “prok…prok…prok.” Rambutnya sebagian disanggul rapi ke belakang. Sebagian lagi kebanyakan yang rambutnya pendek. Dibiarkan rambut itu tergerai sampai ke bahu. Di tangannya terlihat teruntai tas kecil yang terlihat serasi dan mengkilap.

Lihat selengkapnya