Saputangan dari kamp Bangkinang

Osvian Putra
Chapter #6

Bersama Dai Nippon

06. Bersama Dai Nippon

 

Cerita Oma, catatan Meneer de Huivel dan Nuemann; Padang setelah Jepang masuk.

 

Keesokan harinya. Semua kantor-kantor pemerintahan yang dipegang oleh Belanda sudah diduduki oleh Jepang. Fasilitas pemerintahan juga begitu, diambil alih. Jaotan listrik, Jaotan air minum, Pemadam kebakaran, Rumah sakit, sekolah, oto-oto Ambulance, oto-oto Brandweer, oto-oto patrol Politie, sekarang berada dibawah penguasaan Jepang. Surat-surat, berkas-berkas di sortir. Yang dirasa penting disimpan, yang tidak berguna dibuang. Semua atribut yang berhubungan dengan Belanda juga begitu. Dibuang. Merek-merek kantor. Lambang-lambang pada gedung-gedung serta kantor-kantor yang tadinya bercirikan Kerajaan Belanda dicopot dan dibuang. Begitu juga dengan tulisan-tulisan pada kendaraan bekas Gubernemen Belanda, semua dihapus.

 

Tangsi tentara di Terandam dikosongkan, begitu juga dengan tangsi di Plein van Rome. Bekas-bekas tentara Belanda sekarang disuruh pindah ke penjara di tepi pantai dekat Muaro itu. Mereka dijejal masuk ke dalam penjara itu. Ruangan penjara yang sebelumnya cukup lega dipaksa menampung penghuni baru dari bekas-bekas tentara Belanda itu. Bekas-bekas polisi juga begitu. Tapi yang dimasukkan ke penjara itu khususnya adalah yang berkulit putih saja. Sedangkan yang berkulit hitam dan berwarna sebagian belum jelas nasibnya.

 

Kemudian, petinggi-petinggi Gubernemen serta Ambtenaar Belanda dipaksa mengosongkan rumahnya. Mereka disuruh pindah ke gereja di Kerk Straat. Riuh suasana di hari-hari pertama kedatangan Jepang itu. Di saat itu lah keadaan terasa terbalik. Orang-orang Eropa serasa dipermalukan. Disuruh tinggal berjejal ke dalam biara. Yang tadinya punya rumah besar, yang tadinya punya babu dan pembantu, yang tadinya punya supir, sekarang statusnya sama. Sama-sama rendah saja dimata Jepang itu. Bahkan dalam prosesnya banyak pula orang-orang kampung yang melihat. Sebagian ada yang iba, sebagian ada yang tidak percaya. Orang-orang kulit putih itu seperti dipermalukan. Namun sebagaian dari orang-orang kampung yang berani dan datang mengintip ke pemukiman orang Eropa itu, ada pula yang ketiban rezeki. Orang-orang pribumi yang kenal baik dengan Belanda-Belanda itu banyak pula yang mendapatkan hadiah berupa benda-benda yang tidak bisa mereka bawa ke gereja itu. Baju, sepatu, sandal, raket tennis, bola, alat-alat olahraga, alat-alat perkebunan, alat-alat pertukangan diberikan begitu saja secara percuma. Jepang melihat saja. Barang-barang kecil dibiarkan lepas oleh Jepang. Sementara barang-barang yang dinilai perlu untuk rumah tangga, seperti alat masak-memasak, alat komunikasi seperti radio dan barang-barang berharga seperti jam dinding, jam weker dilarang Jepang untuk dibawa.

 

Bertangisan anak istri orang-orang Belanda itu, tak menyangka perubahan begitu drastis. Sementara sang suami lunglai tidak bisa berbuat apa-apa. Bagi yang beruntung, masih bisa diantar dengan oto menuju gereja. Tapi bagi yang tidak, mereka terpaksa berjalan kaki sambil membawa barang-barang pribadi sebanyak yang bisa mereka bawa. Jalanan penuh dengan orang-orang yang dipindahkan dan akan dijadikan tahanan tersebut. Tentara Jepang dengan bayonet terhunus berjaga di setiap persimpangan dan sudut jalan. Kalau-kalau ada yang melarikan diri, ditembak pastinya tanpa ampun. Sekarang status mereka sudah berubah. Terserah kepada pemenang tentunya nasib mereka.

 

Penjara serta gereja tentu belum siap untuk menghadapi keadaan. Maka di hari pertama itu, mungkin setelah berunding sesama mereka. Selain menyiapkan tempat tidur. Sebagian bekerjasama untuk menyiapkan dapur, menyiapkan kakus, menyiapkan kamar mandi. Jepang tidak melarang, tapi melihat saja. Maka untuk itu, banyak pula sebenarnya orang pribumi terutama yang punya kepandaian bertukang mendapatkan proyek. Membuat tempat tidur, membuat sekat, membuat dapur dengan tungkunya, meja-meja, tempat penyimpanan bahan makanan dan seterusnya. Demikian pula yang bertugas membuat kamar mandi serta kakus. Namun, karena semuanya tergesa-gesa dan mungkin dengan peralatan yang seadanya. Hasil pekerjaannya tidak ada yang sempurna. Pedagang-pedagang Cina yang menjual bahan bangunan juga banyak mendapat pesanan mendadak untuk keperluan itu. Maklum, lebih dari seribu orang yang akan ditampung. Tentu banyak persiapan yang diperlukan. 

 

Perwira-perwira Jepang segera menempati rumah-rumah bekas Belanda tadi. Mereka menempatinya begitu saja. Seperti memang rumah itu diperuntukkan buat mereka. Para prajurit menempati bekas-bekas tangsi Belanda. Baik yang di Terandam, Plein van Rome maupun tangsi-tangsi lainnya di seperti di Strand Weg di pinggir pantai itu. Kalang kabut suasana sebenaranya. Keadaan tidak begitu teratur. Truk-truk tentara berlalu lalang membawa prajurit serta barang-barang ke lokasi sesuai keperluannya. Oto-oto sedan yang diperuntukkan buat Perwira melekat kepada tuannya masing-masing. Banyak pula sebenarnya bekas-bekas babu dan pembantu yang dulunya bekerja dirumah-rumah orang Belanda sekarang disuruh bekerja untuk Tuan baru mereka. Orang Jepang. Pekerjaannya sebenarnya sama saja. Masak memasak, membersihkan rumah dan halaman serta mencuci tentunya.

 

Sulan yang biasanya mengantar Koran kini menganggur. Tidak ada Koran yang dicetak. Lagi pun pelanggannya semuanya telah habis, hilang dari rumah-rumah mereka. Ketika siang usai, malam pun tiba. Pasukan Jepang kini berjaga-jaga. Pak Udin tidak berjualan. Dia tahu keadaan sedang kacau. Tidak mungkin dan bisa saja berbahaya buat dia. Maka, malam pun menjadi lebih sunyi dari yang biasanya.

 

Ada tiga hari keadaan berlangsung seperti itu. Namun, selanjutnya semua sudah terlihat lebih teratur. Yang jelas setelah itu keluar pengumuman. Mengibarkan bendera Belanda sama sekali tidak boleh dilakukan. Malah dianjurkan mengibarkan bendera merah putih jika tidak punya bendera matahari terbit. Bahasa Belanda tidak boleh lagi dipergunakan untuk segala macam keperluan. Diganti dengan bahasa Melayu dan bahasa Jepang tentunya. Koran dan segala penerbitan dilarang beroperasi sampai ada perintah. Radio tidak boleh lagi beroperasi kecuali dengan siaran yang diisi oleh pemerintah Jepang. Kantor-kantor disuruh kembali buka. Pegawai-pegawai pribumi kembali disuruh bekerja. Yang tadi bekerja di kantor Gementee disruh kembali ke kantornya. Yang tadinya bekerja di post en telegraaf kantoor disuruh kembali ke kantornya, yang tadinya bekerja di Jaotan listrik disuruh kembali ke Jaotannya semula. Begitu juga dengan bank, kembali disuruh buka. Pasar-pasar disuruh kembali berjalan sebagaimana mestinya. Mata uang sementara masih bisa pakai gulden Belanda sampai Jepang menerbitkan sendiri mata uangnya.

 

Rumah sakit serta sekolah belum dijamah Jepang. Dokter tinggallah dua orang saja. Sebab yang lainnya adalah orang Belanda. Sekarang yang tinggal di Leger des Heils Hospital kebanyakan hanyalah perawat saja. Mereka masih disuruh lanjut bekerja sebagaimana biasanya. Begitu juga dengan sekolah, sekarang menjadi jauh lebih sepi. Karena selama ini kebanyakan guru serta muridnya adalah orang Belanda. Akan tetapi sudah pasti. Tidak akan lama lagi pasti akan berubah juga.

 

Namun, untuk masyarakat banyak, ada satu hal yang membuat heboh. Yaitu semua kalangan masyarakat, siapa saja, laki-laki perempuan, tua-muda, dimana saja. Setiap pagi mereka disuruh melakukan Sikerei, yaitu gerakan membungkuk menundukkan badan serta kepala kearah timur sebagai pertanda hormat dan patuh kepada Kaisar Jepang. Itu lah hal mendasar yang sebenarnya berubah yang menyangkut rakyat banyak di hari-hari awal kedatangan Jepang itu.

 

Di hari berikutnya pasukan Jepang dengan peralatan perangnya itu sudah pula bergerak ke berbagai kota lainnya di bekas wilayah Sumatra Westkust itu. Jepang segera menduduki dan menguasai Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, Solok serta Sawahlunto. Hal serupa dengan yang terjadi di Padang otomatis juga berlaku di daerah-daerah yang baru diduduki tersebut. Semuanya lancar saja, nyaris tidak ada perlawanan sama sekali. Hanya yang membuat heboh adalah proses pemindahan serta penahanan orang Belanda serta orang kulit putih lainnya saja yang membuat kalang kabut suasana. Namun, skalanya tentu berbeda, sebab di kota-kota selain Padang, jumlah orang Belanda serta bangsa Eropa lainnya tidaklah sebanyak di Padang.

 

Setelah menguasai teritorial, maka Jepang mulai membangun pusat-pusat pertahanan. Apenberg di korek dibuat gua untuk berlindung dari serangan lawan. Di tempatkan pula meriam-meriam besar untuk menangkis serangan. Tidak satu dua gua seperti itu dibangun, banyak. Cuma saja tidak banyak yang tahu karena bukit itu tertutup oleh rimbunnya pepohonan, jadi tersamarkan keberadaannya. Di pinggir laut, di tepi pantai, didatangkan ber truk-truk semen dari Indarung untuk membuat kotak beton untuk mengintai musuh serta dijadikan luang pertahanan dari serangan lawan dari arah laut. Banyak juga, sepanjang Strand Weg arah ke Purus. Boleh dikata tiap-tiap 100 meter dibangun kota beton seperti itu. Untuk itu dikerahkan truk-truk peninggalan Belanda untuk memuat peralatan serta bahan-bahan untuk membuat lobang perlindungan tersebut. Sementara pasukan zeni Jepang dilangsir dengan truk-truk mereka sendiri. Bolak-balik kendaraan tersebut pagi sore setiap hari untuk memastikan pekerjaan tersebut cepat selesai. Termasuk untuk mengangkut semen dari Indarung yang jauh di perbukitan di timur kota itu. Dengan truk bermuatan penuh dibutuhkan waktu tidak kurang dari 2 jam untuk mencapai pantai Padang.

 

Pembuatan lubang pertahanan serta box pengintai itu berlanjut sampai ke muara sungai Bandar Bakali, arah ke pinggir laut. Demikian pula dekat lapang terbang Tabing. Di sudut-sudut landasan pacu Jepang membuat kota perlindungan tersebut. Di Gunung Pangilun yang lokasinya juga relatif tinggi dari perkampungan sekitar. Tentara Jepang juga membangun lobang pertahanan dengan cara menggali lobang gua seperti di Apenberg. Sementara, di timur, arah perbukitan yang sebenarnya jauh dari kota Padang. Akan tetapi dekat dengan pabrik Padang Portland Cement. Tepatnya di Ladang Padi,  Jepang juga membangun lubang-lubang pengintaian dengan model yang sama dengan yang terdapat di pinggir pantai, akan tetapi ukurannya lebih besar. Lebih dari lima buah kotak pertahanan seperti itu dibangun. Sepertinya untuk memastikan bahwa pabrik semen yang merupakan salah satu benda penting bagi Jepang tidak mudah dihancurkan dan dirampas oleh pihak musuh kelak. Tak begitu lama pekerjaan itu dilakukan oleh bala tentara Jepang itu. Mereka memang pasukan professional, bertenaga dan terlatih. Walaupun sebenarnya ada juga melibatkan masyarakat lokal yang mereka upah untuk membantu-bantu sebagai juru angkat dan angkut, tak sampai tiga minggu urusan pertahanan itu selesai dikerjakan Jepang. Karena memang mereka sama sekali baru disini. Jadi mereka harus memastikan semuanya aman untuk kepentingan mereka kelak. Tak sampai tiga minggu pula Jepang sudah membuat keputusan bahwa Bukittinggi adalah ibukota Sumatera. Pusat pemerintahan seluruh pulau besar ini ada di dataran tinggi Agam. Kota sejuk yang dilingkari tiga buah gunung itu menjadi pusat pemerintahan militer Jepang. Langsung dibawah koordinasi armada ke-25 balatentara laut Jepang di Singapura.

 

Akhir Maret, akhir musim Sakura di Jepang. Bila di negeri matahari terbit itu orang bergembira ria duduk bersama keluarga dan orang-orang terkasih di bawah pohon menikmati bunga yang indah itu, mereka menyebutnya hanami. Tidak demikian di daerah yang baru mereka kuasai ini. Di Padang, pada waktu yang sama orang-orang Belanda yang ditahan Jepang sudah mulai merasa tertekan. Tinggal bersama berdesak-desakan di tahanan. Laki-laki tinggal dengan dengan laki-laki, sementara anak-anak digabungkan dengan para wanita. Setiap keluarga harus bisa tinggal terpisah. Tidur berdesak-desakan. Tentu saja tanpa privasi. Tidak ada kamar mandi dan kakus pribadi. Tidak ada dapur milik sendiri, semuanya digunakan secara komunal. Begitu juga dengan makan. Di hari-hari pertama ketika persediaan masih ada. Makanan masih relatif mencukupi. Lalu ketika persediaan sudah habis, tentara Jepang membuat kontrak dengan pengusaha makanan Tionghoa untuk menyediakan makanan bagi tahanan perang tersebut. Maka makanan disajikan sesuai kontrak itu kepada para tahanan. Satu dua hari agak kacau. Karena pengusaha Tionghoa ini sebenarnya tidak berpengalaman menyediakan makanan untuk ribuan orang sekaligus. Apalagi dia tidak mempunyai cukup sumberdaya untuk mendistribusikan makanan tersebut. Akibatnya makanan terlambat datang. Makanan untuk makan siang baru sampai sore, sementara jatah makan malam baru sampai tengah malam. Makan pagi jangan diharap, tanggunglah sendiri-sendiri. Masalah lain adalah ketika peralatan makan tidak tersedia dengan cukup di gereja yang disulap menjadi rumah tahanan tersebut. Akhirnya orang-orang Eropa yang selama ini makan dengan cara yang mereka anggap beradab. Mulai marasakan bagaimana barbarnya kehidupan. Makan langsung dari mangkok, tanpa sendok, minum dari gelas yang tidak sesuai dengan peruntukannya, adalah hal yang biasa. Biasanya lain gelas untuk air putih, lain pula cangkir untuk minum teh serta kopi. Beda lagi gelas untuk minum Wishky, bela puda untuk minum anggur, beda lagi untuk minum sampanye. Sekarang sama saja, asal bisa minum. Bahkan suatu waktu datang pula momennya orang Belanda itu menenggak langsung minuman dari mulut ceret!

 

Orang Belanda yang biasa tertib, mengawali makan dengan sajian sup, diikuti makanan pembuka, lalu makanan utama, lalu pencuci mulut, dikuti dengan segelas teh atau kopi. Sekarang tidak bisa. Mereka harus memakan apa yang tersedia. Walapun dirasa tidak sesuai selera, walaupun jumlahnya tidak mencukupi untuk membuat mereka kenyang. Tidak bisa mengeluh. Maka sajian sayur lalidi atau bayam rebus yang lebih banyak airnya daripada isinya itu adalah menu rutin biasa. Kalau tidak, campuran potongan wortel dengan kentang sekali-sekali. Dengan sedikit bawang merah, bawang putih, penyedap dan ditumis dengan minyak kelapa. Cuma masalahnya kerap sayuran dan sup itu dibawa oleh kontraktor Tionghoa tersebut dengan ember seng ke rumah tahanan Belanda tersebut. Sebagian yang melihat hilang selera makannya. Namun yang tidak tahu makan saja karena memang lapar. Telur dihidangkan dalam bentuk direbus, kemudian dibelah dua, Setengah telur rebus untuk satu orang. Itu pun tidak tiap hari, karena ada kalanya berganti dengan ikan asin yang kualitasnya juga tidak bagus. Apek rasanya di lidah, mual orang Belanda memakannya karena tidak biasa. Roti? Ada, tapi cuma sekali seminggu. Gula? Ada, tapi cuma sekali seminggu. Daging? Jangan ditanya! Sampai akhirnya mereka harus menerima dan bisa pula makan dengan cara menyuap langsung dengan tangan sendiri ke mulut. Tindakan pribumi yang selama ini mereka anggap tidak beradab, sekarang mereka lakukan sendiri. Tidak cukup peralatan makan, sementara mereka lapar karena jatah siang baru sampai sore. Jika harus menunggu seseorang selesai makan dulu, kemudian peralatan makannya dipinjam dan dicuci dulu untuk dipakai kemudian, tentu akan memakan waktu. Bisa-bisa makanan habis disantap yang lain karena memang sama-sama lapar. Akhirnya mereka ikutan pula hidup dengan cara orang yang tidak beradab itu. Mereka sadar, Jepang tak hendak memanjakan mereka di tahanan. Jepang hanya mempertahankan mereka agar tetap hidup, tidak mati, itu saja tanggungJaob Jepang.

 

Bukan hanya masalah makan. Udara Padang yang panas terasa pengap di gedung biara yang terisi penuh tersebut. Gerahnya tentu bukan main. Biara yang lokasinya tidak jauh dari pantai itu banyak nyamuk, Maka, tiada lagi cerita tidur lelap sebagaimana masa-masa dulunya.

 

Lihat selengkapnya