07. Kamp Tahanan Baru
Pertengahan 1943, catatan Marijke, seorang tahanan wanita di gereja biara Kerk Straat.
Perkembangan situasi peperangan terus bergerak dan berubah. Setiap hari ada saja front peperangan yang dilakoni oleh balatentara Jepang. Mulai dari samudra Pasifik yang maha luas itu. Sampai ke pulau-pulau di negeri Filipina sampai ke selatannya di wilayah bekas Hindia Belanda bagian timur. Memang selama ini angkatan laut Jepang adalah merupakan andalan kekaisaran Jepang untuk memukul musuh. Sementara tentara angkatan daratnya akan mulai bergerak jika kapal-kapal perang mereka sudah berhasil masuk merangsek ke sebuah pulau atau daratan. Angkatan darat Jepang sendiri, terkenal dengan tentaranya yang tangguh. Terlatih, tahan banting dan sangat setia kepada Kaisarnya. Oleh sebab itu, disetiap pinggang prajuti Jepang. Pasti terselip sebuah pisau. Mereka tidak akan takut untuk melakukan Seppuku, membelah perutnya sendiri ketimbang ditangkap atau menyerah kepada musuh. Bagitu pasukan itu dilatih dan di doktrin oleh para pemimpin mereka. Setia sampai mati!
Namun, semenjak pertempuran yang maha hebat di pulau karang Midway di tengah samudra Pasifik yang sepi. Ketika dua kapal Jepang; Akagi dan Kaga tenggelam dengan menewaskan lebih dari dua ribu orang prajuritnya. Terlihat minggu-minggu berikutnya angkatan perang Jepang menjadi guncang. Kekalahan telak itu benar-benar menguras banyak korban, banyak kapal, pesawat serta peralatan perang mahal yang habis dan rusak karena pertempuran yang mungkin terdahsyat di muka bumi itu. Akibatnya. Karena begitu banyak memakan biaya untuk menyiapkan logistik serta peralatan perang tersebut, maka keuangan militer Jepang menjadi terganggu.
Dilain pihak, perkembangan di Padang sendiri. Setelah ditetapkannya Bukittinggi sebagai ibukota militer Jepang yang koordinasinya langsung dengan Singapura. Padang artinya berada dibawah Bukittinggi pula. Telah banyak petinggi-petinggi militer yang apada awal kedatangan berdiam di Padang, kini bergerak pula menuju Bukittinggi dan tinggal disana. Di Bukittinggi juga dibuat lubang perlindungan sebagaimana di Padang. Namun di Bukittinggi jauh lebih besar, lebih panjang, meliputi jalur lintang utama kota itu sampai ke batas ngarai yang menjadi batas alam di kota kecil nan sejuk itu. Di Bukittinggi model lubang pertahanannya seperti gua. Meliuk, melingkar hampir sepanjang 7 kilometer panjangnya dari pinggir kota, lalu dibuat pintu antara di dekat Jam gadang yang menjadi symbol kota dan berujung di tepi Ngarai Sianok. Sebuah lembah dengan ketinggian tebing mencapai 100 meter yang oleh orang Belanda pada masanya disebut Karbouwengat karena banyaknya masyarakat memelihara dan menggembala kerbau di dasar lembah itu.
Tentunya pembangunan lubang pertahanan di Bukittinggi lebih belakangan setelah di Padang selesai. Karena Padang dikuasai lebih awal, kemudian walaupun banyak lubang pertahanan di Padang, akan tetapi tidak ada yang sebesar, sedalam dan sepanjang yang dibuat di Bukittinggi. Jepang merasa perlu membuat pertahanan sedemikian rupa karena status Bukittinggi sebagai Siyakuso, sebagai ibukota pemerintahan Jepang. Selain dari lubang pertahanan, di Bukittinggi juga dibangun stasiun pemancar radio. Gunanya adalah untuk menyebarkan berita tentang kegemilangan balatentara Jepang di seluruh arena peperangan sekaligus untuk keperluan propaganda kepada masyarakat. Radio yang daya jangkaunya sampai ke semenanjung Malaya itu juga memutarkan lagu-lagu yang berisi puja-puji buat Kaisar serta lagu-lagu patriotik untuk meyakinkan penduduk bahwa Jepang pantas dianggap sebagai penguasa Asia. Bahkan, ketika itu, di sekolah-sekolah selain pelajaran umum, dan bahasa Jepang, murid-murid juga disuruh ikut menghafal dan menyanyikan lagu-lagu tersebut. Lagu Indonesia Raya, termasuk diantara yang diperbolehkan dan selalu diputar di radio Jepang. Tentu saja untuk menarik simpati masyarakat. Beda momen akan beda pula lagunya.
Misalnya karena di Bukittinggi atau Padang tidak ada pertempuran selama perang berlangsung. Sementara daerah ini terkenal sebagai daerah yang subur. Maka daerah ini diminta untuk mensupply bahan-bahan makanan terutama beras untuk keperluan bahan makanan balatentara Jepang. Mula-mula bisa, mula-mula aman, mula-mula terkendali. Akan tetapi lama-kelamaan tentu persediaan beras masyarakat akan habis juga. Rangkiang[1] masyarakat di kampung-kampung dataran tinggi yang menjadi pusat budaya Minang yang selama ini telah banyak menyumbang hasil padinya kini telah kosong. Semua disetor untuk keperluan Jepang. Akhirnya rakyat sendiri yang susah mendapatkan beras. Mereka yang punya sawah, mereka yang menanam, akan tetapi hasilnya untuk Jepang. Maka untuk menenangkan hati masyarakat, Jepang membuat lagu propaganda agar rakyat tidak surut semangatnya untuk terus menanam sebab bagaimanapun hasil padinya nanti akan bermanfaat untuk Jepang yang memimpin perang Asia Timur Raya. Pada saat yang sama para Alim Ulama, Engku-engku yang punya gelar dan kedudukan juga diminta untuk selalu turun ketengah-tengah rakyat untuk meyakinkan mereka bahwa kerja keras dan pengorbanan mereka untuk membantu Jepang tidak akan sia-sia.
Setelah itu, jika lagu untuk menggelorakan semangat para petani telah disiarkan maka hati petani akan menjadi tenang, kerana paham bahwa usaha mereka tidak sia-sia. Sekurang-kurangnya mereka dianggap telah ikut berjuang. Namun karena selalu berulang, tenaga rakyat terkuras untuk bertani, padinya disetor kepada Jepang, sementara orang kampung sendiri keusasahan untuk makan. Maka Jepang kembali menggunakan taktik baru, misalnya menciptakan lagu untuk giat menanam jagung. Sebab jagung adalah tanaman alternatif pengganti nasi. Artinya karena petani padi sudah jenuh, Jepang ingin menggerakkan pula masyarakat yang selama ini belum bertanam padi untuk bertanam jagung. Tanah dan ladang yang selama ini menganggur dianjurkan untuk ditanami dengan jagung. Bukan jagung saja, tapi tanaman jarak juga misalnya. Sebab buah jarak ini bisa diolah kelak untuk dijadikan minyak yang bisa berguna sebagai bahan bakar. Maka, selain disuruh menanam jarak, masyarakat juga disuruh mencari serta mengumpulkan buah serta daun jarak yang memang gampang sekali tumbuh secara liar di daerah khatulistiwa. Untuk hal seperti itu pun Jepang menciptakan lagu-lagu dengan tema khusus untuk kepentingan tersebut. Semua yang dikerjakan, diback-up oleh propaganda.
Termasuk pula dalam bentuk tertulis. Sebab ketika pertama kali masuk. Keesokan harinya Jepang sudah melarang Koran-koran terbit. Kebijakan baru diambil beberapa waktu setelahnya yaitu, hanya Koran yang berbahasa Jepang yang boleh terbit. Maka muncullah Sumatera Shinbun [2] saat itu untuk mengisi kekosongan berita melalui media tertulis berupa kora. Isi Sumetera Shinbun sebenarnya lebih kurang sama saja dengan radio Jepang. Propaganda. Memberitakan kehebatan balatentara Jepang. Memberitakan kemenangan Jepang yang selalu gilang gemilang. Memberitakan keunggulan Jepang. Memberitakan kebaikan serta kepemimpinan Jepang untuk Asia Raya.
Begitu juga ketika Jepang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk membantu mereka mengerjakan proyek-proyek yang berhubungan dengan kepentingan perang. Maka Jepang juga menciptakan dan memperdengarkan lagu-lagu untuk menggelorakan semangat masyarakat untuk ikut giat membantu mereka dengan cara menyumbangkan tenaga. Jadi setiap momen, sesuai dengan jenis keperluannya akan dikeluarkan pula tema lagu yang sesuai untuk keperluan propagandanya. Namun, sebenarnya masyarakat hidup dalam tekanan, tapi disisi lain harus tetap patuh kepada arahan Jepang.
Dalam kondisi seperti itu, mengingat situasi peperangan. Jepang memutuskan untuk memindahkan tahanan bangsa Belanda dari Gereja Biara di Kerk Straat. Para tahanan belum paham kemana mereka akan dibawa.
Subuh buta, raungan truk-truk tentara Jepang terdengar keras ditelinga para tahanan yang belum semuanya terbangun. Pasukan Jepang masuk merangsek, berbicara menghardik dengan kata-kata yang tidak dipahami oleh para tahanan. Mereka hanya akhirnya bisa paham setelah ditunjukkan oleh para serdadu itu untuk berkemas. Tentara Jepang yang datang jumlahnya mungkin ada seratusan. Mereka berbagi sebagian ke kamp laki-laki, sebagian lagi ke kamp perempuan dan anak-anak. Setiap sudut kamp sampai ke bagian belakang yang gelap, sampai ke tempat cuci serta kakus pun mereka jaga dengan ketat supaya tidak ada yang melarikan diri. Tahanan yang menghuni selasar biara bagian samping yang jumlahnya mungkin lebih dari seratus orang itu disuruh angkat kaki pagi itu juga. Namun, sebelumnya mereka disuruh mencari dan mengumpulkan anak-istrinya yang memang selama ini ditempatkan terpisah di gereja yang terdapat di seberang biara itu. Artinya para suami yang selama ini tidak tidur di dalam bangunan utama itu berikut anak istrinya disuruh pindah. Nah, proses mencari dan mengumpulkan anak istri di pagi hari itu lah yang membuat gaduh dan riuh. Karena tidak semua orang paham apa sebenarnya isi perintah Jepang tersebut.
Namun Jepang punya cara juga. Selain dari laki-laki yang tidur di selasar, mereka tahan di dalam. Nah, laki-laki yang tadinya sebagian masih tidur itu semuanya dibangunkan, kemudian diberi pengumuman oleh penterjemah. Sehingga mereka paham apa yang diperintahkan, baru lah saat itu mereka bergerak berjalan ke seberang mencari anak-istri mereka masing-masing. Sementara di sisi lain, di tempat tahanan wanita dan anak-anak, selama yang laki-laki yang disuruh bersiap belum keluar dari tempat mereka dan menemukan anak-istri mereka tidak diperbolehkan keluar dari bangunan tahanan mereka.
Maka, di awal pagi itu riuh. Para suami dan istri serta anak-anak yang selama ini terkungkung di bangunan masing-masing disuruh mencari keluarganya. Ketika akhirnya sudah saling bertemu lalu sibuklah semua tahanan itu menyiapkan barang-barang mereka yang sebenarnya tak seberapa itu. Koffer-koffer[3] disiapkan dengan tergesa-gesa. Bagi yang tidak punya, barang-barang dimasukkan ke tas yang ditenteng begitu saja. Ada juga yang hanya mampu membawa barang-barang dengan dibalut kain kemudian digulung. Baju, celana, kutang, alat-alat makan, alat-alat mandi, semua dimasukkan begitu saja dalam keadaan yang tergesa-gesa. Jepang-jepang yang menunggu di gerbang depan dan sebagian merangsek kedalam kamp tidak berhenti berteriak dan menghardik. Para tahanan antara bingung dengan takut. “Hayako[4]!....hayako!” teriak mereka menghardik menerjang subuh yang masih membuat bingung itu.
Lebih kacau lagi di kamp perempuan dan anak-anak. Susah bagi ibu-ibu yang punya anak-anak kecil, terutama yang masih bayi. Teriakan dan hardikan tentara Jepang sontak memecah kebisuan pagi yang masih subuh itu. Sontak bayi-bayi dan anak-anak terbangun dan menangis. Bukan mereka takut, tapi terganggu tidurnya. Ibu-ibu serta nona-nona, paham situasinya sedang tidak menguntungkan bagi mereka. Segera mereka berkemas karena gerak tubuh tentara-tentara tersebut menginginkan mereka begitu.
Terbirit-birit, terburu-buru, yang tidur pakai pakaian seadanya menjadi tontonan bagi tentara Jepang. Apalagi yang masih muda serta yang kelihatan montok. Ada pula yang sontak ditarik Jepang ke sebuah sudut yang gelap. Seperti untuk diinterogasi. Banyak orang melihat, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Karena tentara-tentara itu puluhan, mungkin pula ratusan jumlahnya. Satu, dua, tiga, mungkin lebih sepuluh orang yang dibawa ke sudut gelap di bagian belakang kamp tahanan itu. Yang tidak ikut diinterogasi hanya bisa melihat sambil menangis, ada pula yang menjerit, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Karena pada saat yang sama dia mereka sendiri juga disuruh berkemas oleh Jepang-jepang yang ramai itu. Memang serba sulit, jika memperhatikan apalagi berusaha membantu orang lain, diri sendiri juga dikejar perintah untuk segera bertindak cepat menyiapkan diri. Sambil menangis karena takut, shock, tidak siap menghadapi kejadian itu mereka mengumpulkan dan menyiapkan barang-barang mereka masing-masing. Kacau sekali suasananya.
Anak-anak meraung menangis ketakutan. Bayi-bayi merengek dalam pelukan, sebagian disusukan oleh Ibunya. Untung bagi yang punya bayi dan menyusui, tidak digaanggu oleh tentara itu. Akan tetapi proses ketika perempuan itu mengeluarkan payudaranya untuk disodorkan ke mulut bayinya itu menjadi tontonan bagi tentara Jepang yang mirip seperti serigala lapar itu. Akhirnya, air mata para ibu itu tumpah juga mengingat perlakuan yang dia terima serta apa yang dia lihat barusan. Suasana kacau. Lalu karena semalam udara panas, sebagian tidur hanya pakai beha, sebagian hanya memakai rok tipis. Tiba-tiba mereka dibangunkan dengan paksa. Benar-benar tidak mereka duga sama sekali. Apalagi Jepang itu datang dalam jumlah banyak dan langsung menghardik lalu marah-marah.
Itulah sebenarnya yang menjadi sasaran Jepang itu subuh buta begini. Yang tampak menarik dimata Jepang diajak kebelakang untuk katanya interogasi. Lalu, ketika interogasi sudah selesai, yang terlihat adalah bahwa rambut para perempuan itu kusut dan masai, air mata menggenang di sudut matanya, emosi yang tidak tertahan membuat warna kulitnya memerah. Pakaian yang tadinya sudah seadanya sekarang tambah kacau. Namun semuanya tertahan dalam diam. Karena kalau bicara atau melawan, tamparan serta tendangan Jepang sudah pasti tidak akan tertahankan. Apalagi mereka datang ramai-ramai, masing-masing dengan sangkur dan senjata terhunus. Para tentara yang katanya mengiterogasi muncul satu-satu dari kegelapan sambil membetulkan celananya.
Sudah hampir terang. Para tahanan tetap dipisah. Laki-laki sesama laki-laki. Perempuan dan anak-anak digabung menjadi satu. Semua disuruh berbaris untuk naik ke truk. Satu truk dijejali sampai 50 orang. Setiap truk yang dirasa sudah penuh, lalu dihitung oleh tentara-tentara tersebut. Disinilah kekacauan itu terjadi. Susah menghitung jumlah orang yang begitu banyak naik ke truk. Ruang untuk berdiri tidak cukup. Sementara para tahanan itu, tinggi tubuhnya tidak sama. Ada pula orang tua yang terpaksa duduk karena tidak kuat berdiri lagi. Begitu juga kelompok wanita dan anak-anak. Susah menghitung dengan tepat karena bayi yang digendong serta anak yang dipangku atau anak kecil yang digendong oleh bukan ibunya, tapi sesama tahanan, selalu membuat Jepang salah dan tidak tepat dalam menghitung.
Satu kali dihitung, 47. Dua kali dihitung, 44. Tiga kali dihitung, ternyata 49 orang! Jepang di truk itu mengamuk karena kesal. Kepala lelaki yang terlihat bingung berdiri di bagian depan truk di tempeleng oleh tentara yang berdiri di bagian atas body truk bagian depan. Lelaki kerempeng yang kelihatan tidak tahu apa-apa itu menjadi sasaran. Kesalahannya hanyalah karena ketika Jepang itu mengakhiri hitungannya dengan menunjuk setiap anggota tahanan di truknya, matanya kebetulan sedang menatap Jepang itu. Sontak Jepang itu emosi. Satu kali tampar, dua kali tampar, tamparan yang ketiga terlihat bercak darah di ujung bibir lelaki kurus itu. Proses menghitung itu ternyata sangat memakan waktu karena harus dilakukan berulang-ulang. Tentara Jepang itu selalu salah setiap selesai menghitung. Tidak sama hitungannya dengan hitungan terakhir. Setiap dia salah, pasti akan ada kambing hitam. Jika tadi lelaki kurus yang berdiri nelangsa di bagian depan, sekarang satu pemuda berkaca mata yang berdiri di bagian samping truk yang jadi sasaran. Dia sampai disuruh turun dari truk untuk mendapat ganjarannya.
Menggigil pemuda Belanda itu melompat dari truk yang tinggi lantainya sekitar 5 kaki itu. Tali sepatunya yang belum dipasang sempurna membuat ia hampir terjengkang karena saat melangkah, tali sepatu yang berasal dari kaki yang satunya terinjak oleh kakinya yang lain, sehingga membuat langkahnya tertahan oleh tali sepatu yang pendek itu. Terhuyung dia menjelang bisa berdiri tegak. Tapi, belum selesai dia menyempurnakan tubuhnya, tangan Jepang itu telah mendarat di pelipisnya. Beruntun, kaki tentara Jepang yang sepertinya terlatih itu juga sudah menerjang ulu hatinya. Terjerembab lelaki muda itu ke tanah. Kulitnya yang putih menambah pucat kulitnya dibawah cahaya matahari yang mulai bersinar di halaman kamp di Kerk Straat itu.
Tidak satu-dua kejadian seperti itu di pagi itu. Para tahanan yang masih belum sadar sepenuhnya karena dibangunkan tiba-tiba. Tanpa persiapan apa-apa, bahkan bisa dikatakan semuanya bahkan belum meminum seteguk airpun sedari bangun tadi. Sudah dipaksa menghadapi kejadian yang benar-benar tidak mereka duga ini.
Lebih dari dua jam akhirnya proses mengumpulkan serta menghitung jumlah tahanan itu. Di akahir proses, prajurit yang bertugas di setiap truk terlihat menulis sesuatu di kertas yang mereka ambil dari kantong celananya. Kertas-kertas itu sepertinya berisikan data-data jumlah orang yang ada di setiap truk yang menjadi tanggungjawab masing-masing prajurit. Sepertinya mereka juga bertanda tangan di kertas tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka kepada atasan mereka. Sebab jika ada yang berkurang dari jumlah tananan yang semestinya, sudah pasti Komandan pasukan itu akan murka. Memang, mengumpulkan lebih dari 200 orang secara tiba-tiba di subuh buta itu ternyata tidak gampang.