Saputangan dari kamp Bangkinang

Osvian Putra
Chapter #9

Nestapa di Rimba Sumatera

09. Nestapa di Rimba Sumatera

 

1942 dan tahun-tahun yang mengerikan catatan anonim berbahasa Belanda.

 

Jepang datang. Derap sepatu lars tentara kekaisaran yang mengkalim diri sebagai pemimpin Asia itu terdengar arogran. Subuh buta mereka datang. Merangsek masuk tanpa penghormatan atas karya infrastruktur bangsa kami yang maha canggih bahkan di negri seberang lautan. Susah payah kami membangun pelabuhan modern itu menjadi pelabuhan paling besar di pantai barat Sumatra. Padang kami jadikan sebagai jangkar antara Batavia dan lautan Hindia. Pelayaran antar benua kami sekarang terbantu dengan adanya Emmhaven. Kapal-kapal dari Batavia bisa mengisi air bersih, mengisi bahan bakar serta bisa melakukan perbaikan minor jika ada kerusakan yang perlu diatasi untuk menuju perjalanan jarak jauh berikutnya menuju Eropa via Samudra Hindia serta terusan Suez.

 

Untuk hasil Batubara dari Ombilin. Selain kuantitasnya sangat banyak, kalorinya juga tinggi. Berkualitas dijadikan bahan bakar. Kami sediakan fasilitas untuk memuat produk tersebut dengan belt conveyor serta jembatan triangle yang langsung terhubung ke palka kapal supaya mudah dan cepat proses muatnya. Jaringan rel kereta api pun sudah dibangun sampai ke pelabuhan itu, termasuk dua buah gudang besar untuk menyimpan batubara yang datang setiap hari diantar oleh kereta pengangkut dari Sawahlunto. Ketika kapal masuk dan merapat, maka dengan sistematis tinggal memindahkan cadangan batubara itu dari gudangnya ke kapal melewati triangle bridge disalurkan dengan conveyor. Di Asia. Kami yang paling modern melakukan proses ini.

 

Jepang tidak punya rasa empati dan penghargaan sama sekali atas apa yang sudah kami bangun. Semua mereka pergunakan seenaknya seolah-olah semua itu adalah milik nenek moyang mereka sendiri. Apa yang kami bangun menjadi seolah tidak bernilai. Tidak banyak pemerintah kolonial di manapun di dunia ini yang mau membangun negri koloninya seperti Belanda di negri Hindia ini. Kami membangun semuanya. Jalan, jembatan, pelabuhan, begitu juga dengan sarana transportasinya. Kereta api, mobil serta bus angkutan, kapal-kapal KPM kami berlayar antar benua dari negri Hindia, begitu juga kapal terbang-kapal terbang KLM kami, terbang dari Amsterdam menuju Batavia dan sebaliknya. Kota-kota dialiri listrik, jaroingan telepon, ada rumah-rumah sakit, ada sekolah-sekolah bahkan universitas pun kami dirikan. Semua terbang begitu saja bagai debu yang terinjak oleh derap langkah sepatu lars tentara mereka ketika.

 

Pagi buta Jepang datang, sore harinya mereka sudah berkonvoi keliling kota seolah mereka adalah pemenang. Kami memang terdiam. Kaku. Antara takut dengan bingung. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Yang kami tahu sesuatu pasti akan terjadi. Apakah itu akan sangat buruk atau tidak. Tergantung Jepang yang merasa sudah menang itu. Kami berdiam di tempat masing-masing. Tidak berani keluar. Tidak mau juga menampakkan diri. Yang kami tahu, sekarang pasukan Jepang sudah berjaga di setiap sudut. Di setiap persimpangan jalan. Di gedung-gedung utama, di setiap pelabuhan, di setiap terminal oto. Bahkan di lapangan terbang. Seperti tidak mau kehilangan kami untuk meloloskan diri.  Memang, sebelumnya terbersit rencana untuk lari saja ke Australia. Tapi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Waktu persiapan tidak cukup. Kapal untuk membawa kami belum didapat. Bahkan, ketika kapal berhasil didapatkan, apabila tetap disusruh datang menjemput kami ke Emmahaven, pun telah terlambat karena Jepang datang lebih cepat. Akhirnya, kami pasrah dengan apa yang akan terjadi.

 

Yang jelas, beberapa hari menjelang Jepang datang. Kami mencoba bersiap. Barang-barang rumah yang nanti mungkin saja akan menarik perhatian Jepang. kami jual murah, kebanyakan  kepada orang-orang Tionghoa. Berebut mereka membeli gramophone dengan harga murah. Berebut orang Cina itu membeli meja bilyard. Berebut tauke-tauke membeli motorpit serta oto kesayangan kami. Alat-alat rumah tangga kami berikan percuma kepada babu. Kompor minyak tanah. Oven serta, alat-alat memasak serta alat-alat makan yang kami pakai selama ini, sebagiannya sudah berpindah tangan kepada para bedinde[1] kami. Mereka bingung kenapa kami tiba-tiba menjadi begitu baik hati. Sedih sebenarnya mengingat hal itu. Para babu dan pembantu lugu yang tidak paham situasi, bahkan ketika perang mengancam pun mereka tidak paham. Mereka sudah cukup gembira menenteng pulang barang-barang pemberian kami.

 

Begitu pula. Uang tabungan sudah kami ambil dari Spaarbank, dari Java bank serta bank-bank lain yang ada di kota. Para bankir kewalahan. Mereka terlihat seperti tidak siap. Bahkan hampir setiap hari pegawai bank itu terpaksa kerja overtime mempersiapkan buku-buku, catatan penarikan dan menyiapkan uangnya. Kebingungan. Namun Snouverdijk, kepala Bank Java sudah kami beritahu sebelumnya. Bahkan dia pula yang menyarankan agar dana-dana dicairkan saja sebab tidak tahu nanti kalau Jepang sudah berkuasa akan bagaimana. Maka para pegawai itu pun diberi bonus ekstra. Seperti menghabiskan sisa uang yang ada di bank-bank itu agar jangan dimanfaatkan Jepang kelak. Karena mungkin uang-uang itu bahkan tidak akan bisa diambil lagi kalau sudah dibawah kekuasaan Jepang. Maka, boleh dikata satu minggu sebelum suara langkah sepatu lars yang arogran itu berderap di Plein van Rome. Kas bank-bank yang ada di Padang sudah hampir kosong semuanya.  

 

Hari-hari menjelang Jepang itu datang. Suasana kaku dan tegang. Karno, pemuda tampan yang menjadi pemimpin pergerakan rakat Hindia telah pula datang di Padang. Dia yang semestinya kami bawa ke Australia untuk ditahan. Dijadikan sebagai tawanan. Juga terpaksa batal karena kasus yang sama dengan kami. Rencana dibuat terlalu terlambat, tidak cukup waktu. Sehingga kapal yang direncakan untuk membawa kami dan akan menyinggahi pemuda itu di pengasingannya di Bengkulu sebelum berangkat menuju Australia itu tidak akan bisa menjangkau kami sebelum Jepang datang. Karno lalu dibebaskan dan dia bertolak meninggalkan Bengkulu menuju Padang dengan pedati dan separo jalannya nyaris berjalan kaki. Tapi, apapun, sekarang Karno sudah ada disini. Apakah nanti dia akan menjadi faktor yang akan menguntungkan bagi kami atau malah menguntungkan buat Jepang kami tidak bisa menerkanya. Semua serba kalut dan kusut. Waktu terus mendesak, sementara apa yang akan dilakukan jika Jepang benar-benar datang belum bisa dirumuskan bahkan oleh Tuan Asisten Residen sekalipun. Kami takut!

 

Karno yang dipanggil Bung Karno oleh masyarakat setempat. Sudah bertemu dengan tokoh-tokoh setempat. Dengan Engku-engku Bangsawan di Ranah serta Alang Laweh. Dengan Engku-engku Imam dari masjid Ganting. Dengan tauke-tauke dan Ketua Himpunan warga Tionghoa. Dengan Engku Majid yang beristrikan wanita Jepang. Dengan Engku-engku wartawan. Begitu juga dengan perempuan-perempuan terpelajar Minang, Bundo Kanduang. Karno juga berjalan sampai ke Fort de Kock menemui orang-orang yang patut diajak berunding. Syekh Ibrahim Moesa, Kemudian seorang father dari Canduang dan mungkin banyak lagi. Sepertinya Karno ini memang magnet bagi orang tempatan. Dia berani tampil di depan. Bicara lantang. Mungkin karena dia muda, tampan dan berpendidikan. Maka, sepertinya orang-orang di kota ini telah mempercayakan pendapatnya melalui mulut Karno. Kata PID[2] dia ditampung menginap di rumah seorang Minahasa, Warouw, di Belantung Kecil.  

 

Karno bercerita dan membual dimana-mana. Di kedai, di palanta tempat orang-orang berkumpul di waktu petang, di pasar, dimana saja. Bahkan dua hari sebelum Jepang datang, dia mengumpulkan orang-orang di kampung Jao. Terlihat orang kepercayaannya seorang Jongen[3] dari Ende serta Warouw sibuk memberitahu dan mengumpulkan orang dari sudut-sudut kota. Mereka mengorganisir agar banyak orang yang ikut mendengar apa kata Karno. Bahwa mereka (orang-orang Padang) tidak usah menghambat kedatangan Jepang. Bahwa mereka (orang-orang Padang) tidak usah menghalang-halangi Jepang. Jepang datang sebagai saudara tua untuk membebaskan mereka dari kolonial Belanda. Tidak usah menentang Jepang karena balatentara Jepang temperamen dan kejam. Tidak usah melawan Jepang karena balatentara Jepang punya senjata dan peralatan perang yang sangat lengkap dan modern. Tak akan mungkin mereka menang melawan hanya dengan parang. Bahkan, ketika Jepang sudah datang. Karno diundang bertemu Perwira militer Jepang. Entah apa yang mereka bicarakan. Tahunya pulang-pulang Karno berkomitmen untuk membantu saudara tua itu. Dia berjanji menyediakan 200 orang wanita penghibur buat memuaskan syahwat para tentara itu! Karno membantu Jepang dengan cara yang benar-benar tidak kami sangka.

 

Sementara, kami, di hari-hari terakhir itu lebih suka mendamaikan pikiran. Kami berdansa di Burger Societeits di Belantung, di Societeits di Plein van Rome serta Societeits di tepi pantai Oras Geneoegen yang lebih banyak anak-anak muda, Sinyo-sinyo serta Nona-nona, demikian juga di de Club di Pondok. Kami menikmati malam-malam yang panas itu dengan menenggak whisky. Kalau dapat semua stock whisky, wine bahkan bir habis dari gudang-gudang importer minuman di seluruh kota. Kami ingin berpesta-pora. Kami ingin menikmati malam-malam penuh kehangatan di kota ini. Sama juga dengan informasi yang kami dapat dari teman di Fort de Kock, Belvedere[4] penuh setiap malam. Ruang dansa di hotel de Kock juga begitu. Dari Fort van der Cappellen kami juga dapat informasinya bahwa soieteit mereka juga ramai setiap malam satu minggu terakhir ini. Kami ingin menikmati Padang, Fort de Kock serta kota-kota cantik di Mooi Sumatra Westkust ini. Mungkin untuk yang terakhir kalinya. Mungkin ini tidak akan terulang lagi saat Jepang masuk nanti.

 

Dijk si Playboy yang tinggal di belakang Rex Cinema, tampak selalu pulang lewat tengah malam. Seminggu lalu dia tampak menggandeng janda Hasselbank yang meninggal hampir setahun lalu ke Grand hotel. Issabel yang masih muda dan montok itu tampak terhuyung-huyung keluar dari Oras Genoegen. Mungkin mabuk karena terlalu banyak minum. Atau mungkin juga sengaja dibuat mabuk oleh Dijk yang memang nakal itu. Sepatunya ketinggalan sebelah, tahunya keesokan harinya ketika tukang bersih-bersih di Strand Weg menyapu trotoar di depan Societeits di pinggir pantai itu.   

 

Dua malam berikutnya Dijk beraksi lagi dengan mengajak pemegang buku besar Padangsche Spaarbank, wanita cantik keturunan Belgia, Ellaine ke dalam pelukannya. Tidak bisa disangkal. Karena para akuntan serta pemegang buku di seluruh bank lagi pusing saat itu karena penarikan dana besar-besaran oleh orang-orang kulit putih. Aksi yang sebenarnya juga sudah atas pengetahuan dan anjuran petinggi Kepala Bank Java, Snouverdijk itu membuat semua anak buah yang bekerja di bank kewalahan. Mereka bekerja dalam keadaan stress. Itu pula yang dipergunakan Dijk sebagai kesempatan. Dengan dalih untuk menenangkan pikiran sejenak dari tuntutan beban pekerjaan Ellaine dia tundukkan. Suatu pagi kira-kira tiga hari yang lalu tampak mereka bergandengan tangan keluar dari Centraal hotel.

 

Mathiaas, lelaki gendut yang memelihara jenggot pemilik firma MGM di pinggir pelabuhan Muara itu juga begitu. Ia terlihat keluar setiap malam dengan Chevrolet besarnya yang bersuara bising diantar supirnya yang Melayu itu. Sepatu pantofelnya yang hitam sudah agak kusam. Dia malas, atau bahkan lupa menyemirnya agar berkilat. Sebab hari-hari terakhir itu yang penting buat dia adalah, siapa lagi yang bisa dirayu untuk menikmati malam. Dia yakin, tebalnya isi dompet akan mengalahkan rasa kurang percaya melihat Bally-nya yang sudah kusam itu. Tiap malam dia menggandeng perempuan ke rumahnya yang besar dengan pemandangan indah di atas bukit nun jauh lewat dari Emma Haven itu.

 

Ah, entah siapa saja. Malam-malam terakhir itu sudah seperti pasar malam saja. Siang keadaan senyap. Sementara malam hari, bagi yang punya hasrat, seolah waktu esok tidak akan ada lagi. Gulden demi gulden bertebaran di meja kasir societeits. Tegukan demi tegukan minuman mengantar malam menunggu giliran untuk turun berdansa. Irama waltz pemusik menggelorakan para penikmat malam itu. Bibir bertemu bibir, tangan saling berangkulan di pinggang. Kemudian malam berakhir di atas ranjang. Entah ranjang siapa. Keesokan harinya baru sadar. Kami ingin menikmati negri Hindia ini dengan sepenuh hati. Begitu kira-kira.

 

Para pelayan di Socieiteits serta Rumah Bola. Para petugas yang membantu menguruskan parkir. Para petugas penyambut tamu. Para supir dan siapa saja yang melayani orang-orang kulit putih pada malam-malam terakhir itu ikut bergembira. Tentu saja yang paling banyak adalah para penghibur itu. Para hostest yang berasal dari wanita-wanita pribumi serta Tionghoa itu juga ikut kecipratan. Tiba-tiba saja Orang-orang Belanda yang biasanya sangat berhitung itu menjadi baik hati. Bila uang tips selama ini pasti koin 20 cents, malam-malam terakhir itu uang kertas £ 1, £ 5, bahkan £ 10 berpindah tangan dengan mudahnya dari dompet Tuan-tuan itu kepada siapa saja yang dia suka. Kusir bendi yang ditumpangi Belanda mabuk saja bisa dapat £ 10 untuk sekali antar kerumahnya! Biarlah hari itu yang menjadi hari raya bagi para pembantu itu. Semoga mereka mengingat kebaikan kita.

 

***

 

Dua minggu setelah Jepang datang. Padang sama sekali sudah berbeda. Tidak ada lagi bunyi terompet Marsose di Plein van Rome memanggil prajurit tangsi untuk berbaris di pagi hari. Tidak ada lagi mobil-mobil yang mengantarkan Tuan-tuan ke kantor Gementee. Koran sudah tidak lagi terbit. Begitu juga dengan radio NIROM, tidak mengudara lagi dengan beritanya. Jepang telah mendirikan pemancar radionya sendiri di Fort de Kock. Semua berita dipusatkan dari pemancar itu. Begitu pula, gedung Raad van Justitie di St. Michiels Plein pun sudah sepi. Bahkan tugu itu sendiri sudah pun lenyap tinggal sisa-sisa fondasi. Tambang besi yang ditarik oleh tank angkatan perang dengan kasar menjatuhkan tugu yang menjadi kebanggan kami sebagai menara paling tinggi di Sumatra. Tidak terlihat lagi orang-orang Belanda menikmati senja di Apenberg. Setiap pagi yang terlihat adalah barisan orang-orang melakukan Sikerei. Teriakan-teriakan dalam bahasa Jepang memimpin Taisho. Bendera yang berkibarpun sudah berganti dengan Matahari Terbit.

 

Keluarga-keluarga Belanda telah kucar-kacir. Tercerai berai. Ada yang ditahan di penjara Strand Weg dekat Muara. Ada yang ditahan di Gereja biara di Kerk Straat. Ada yang dibawa ke Fort de Kock, ada yang dibawa ke Muaro Sijinjung. Kemana saja Jepang mau.

 

Lihat selengkapnya