10. Kanai Loge[1]
Februari 1945 harapan semu di tambang emas. Catatan Win de Heuvel
Dari Medan setelah 2 hari tidur di sebuah bekas penjara. Tenaga cukup terkumpul karena tidak ada pekerjaan. Akan tetapi suasana kota Medan yang panas sementara karena gedung tempat kami tinggal kotor membuat hawa udaranya busuk. Lalat beterbangan. Kami yang sebagian sudah dalam keadaan keletihan serta kurang sehat. Harus menghadapi kenyataan seperti itu. Wim, seorang kawan yang bertubuh gempal, sekarang sudah jauh terlihat kurus, batuk tidak berhenti. Kadang-kadang karena saking seringnya batuk dia terlihat juga muntah-muntah. Kawan-kawan yang berada di dekatnya sebenarnya merasa terganggu. Tapi apa boleh buat. Wim sudah jatuh sakit. Begitu juga dengan Hendrix. Semenjak perjalanan dari Kutacane. Dia mual serta mulas terus-terusan. Mungkin karena terlalu banyak minum air mentah yang belum tentu bersih serta memakan buah-buahan hutan. Sementara perutnya tidak siap menerima makanan mentah itu. Akhirnya sakit perut. Kaki kami sudah banyak yang hancur karena memakai sepatu yang sebagian sudah rusak berhari-hari lamanya untuk bekerja. Padahal sepatu yang kami pakai bukanlah model yang cocok untuk itu sehingga jari-jari kaki kami melepuh dan sakit semua. Telapakan kaki kami sudah terkelupas sama dengan telapak tangan yang tiap hari memegang cangkul sementara kami tidak biasa menggunakannya. Tapi siapa yang peduli. Diantara kami tidak ada yang fit kondisinya.
Masalah lainnya. Gedung bekas penjara ini dekat saja dengan perkampungan penduduk. Terdengar saja orang-orang berlalu lalang serta bercerita di balik dinding tempat kami berada. Bahkan dari halaman depan gedung yang sudah sangat tidak terawat ini, tiap hari orang-orang kampung mengintip dan melihat kami dari jauh. Mereka sungguh penasaran bercampur takjub melihat kami orang-orang kulit putih dalam keadaan compang-camping ditahan dan tinggal disini. Waktu kami menjemur pakaian di hamparan pagar, karena tidak memakai baju, terlihat tulang iga kami yang tampak sudah menonjol keluar karena berbulan-bulan kurang makan sementara tenaga kami diperas sedemikian rupa. Kumis, jenggot serta bulu-bulu yang tumbuh di bagian muka tidak terurus. Mengerikan bentuk kami. Mereka melihat kami seperti kasihan sekaligus lucu. Tuan yang dulu memerintah mereka sekarang nestapa. Serasa menjadi binatang tontonan saja kami rasa. Setiap datang satu-dua, atau serombongan orang-orang dari kampung mereka melihat kemudian berbisik-bisik sesama mereka sambil menutup mulut. Hancur perasaan kami.
Penjaga kami, tentara Jepang itu. Karena melihat kondisi kami sudah lemah begitu. Menjaga kami seolah tidak peduli. Tiap setengah atau satu jam, bergantian mereka berpatroli memastikan kami masih ada dan hidup. Jika dia melihat kami berbuat aneh maka hardikan akan langsung kami terima. Jika dia merasa ada diantara kami yang tidak disiplin, tidak mengikuti perintah mereka, tamparan melayang begitu saja. Pernah satu orang mungkin karena sakit perut, dia terlalu lama menggunakan kakus. Sementara yang mau buang air banyak, sehingga terjadi antrian yang cukup panjang. Mungkin ada 7-8 orang yang menunggu untuk buang hajat. Ketika yang lama di kakus itu keluar, langsung saja Jepang itu memukulinya tanpa henti. Tamparan, pukulan serta tendangan diikuti maki-makian dalam bahasa Jepang. Terguling-guling kawan kami itu di lantai melolong minta ampun. Apa mau dikata. Dia yang barusan ke kakus, kali ini kembali terkencing. Bukan karena ingin, tapi karena sakitnya deraan yang menimpa mereka. Sedih kami melihatnya. Tak tak bisa berbuat apa-apa.
Ketika hari keberangkatan tiba. Pagi, setelah selesai Sikerei serta Taisho. Kami digiring disuruh naik ke truk. Jumlah kami yang sudah berkurang 10, sekarang 192 orang. Dua orang yang sakit, Wim serta Hendrix akhirnya tidak jadi ikut. Kondisinya sudah begitu parah. Begitu juga dengan satu orang tua yang batuknya juga tidak berhenti-berhenti. Kelihatan sekali dia sakit. Tubuhnya menggigil, meringkuk di sudut tembok bagai kucing menjemput ajal. Jepang mungkin tidak mau mereka menjadi beban di perjalanan. Jadi yang bertiga itu ditinggalkan saja di penjara itu. Tidak tahu nasib mereka akan seperti apa kelak. Yang jelas mereka dalam keadaan sakit.
Drama menghitung jumlah anggota ketika sudah berada di dalam truk tetap saja terjadi. Entah mengapa, Jepang-jepang itu selalu tidak cermat menghitung kami. Selalu salah dan salah lagi sebelum akhirnya mereka marah dan memukul kami. Entah itu mereka sengaja atau bagaimana. Yang jelas kejadian itu seringkali berulang. Truk konvoi beriringan menuju luar kota. Kali ini selain dua buah truk, juga terdapat dua buah oto bus. Mungkin bekas angkutan di Medan zaman Belanda masih berkuasa dulu. Yang naik oto bus agak lumayan, ada kursi serta tidak kena panas matahari. Akan tetapi yang naik truk, dijejalkan begitu saja.
Tidak begitu lama, mungkin tidak sampai 1 jam. Kami sudah sampai. Rupanya kami di bawa menuju ke Belawan. Pelabuhan kapal yang terbesar di Sumatra waktu itu. Kami tidak tahu akan dibawa kemana. Yang jelas terlihat sudah ramai bala tentara Jepang disitu mengatu serta mengarahkan berbagai macam kendaraan. Sepertinya sibuk sekali mereka. Kami diantar oleh truk serta oto bus ke dermaga ujung dimana terlihat sebuah kapal sudah menunggu. Kapal berwarna hitam yang bagian dinding pada haluan depannya terdapat bekas nama asli kapal yang ditutupi cat dengan tidak sempurna. Tapi yang kami lihat, kapal ini sekarang mereka namai dengan nama Jepang. Hikarimaru. Demikian tertulis dan disampingnya terdapat bendera Jepang putih dengan bulat matahari berwarna merah di tengahnya.
Kapal itu terlihat berukuran sedang. Tidak besar. Mungkin dulu bekas kapal dagang atau kapal kargo kecil antar pelabuhan di pantai timur Sumatra ini. Akan tetapi setelah Jepang masuk, keberadaannya dibawah kuasa Jepang, sehingga nama kapal yang samar masih terlihat beberapa huruf aslinya masih bisa terbaca dari jarak dekat. Jarak 50 meter dari kapal kami diturunkan. Disuruh berkumpul dan berbaris. Sepertinya mereka akan membuat upacara serah terima kasi antara petugas yang menjemput kami dari penjara tadi dengan petugas yang ada di pelabuhan ini. Entah siapa pula yang nanti akan ikut bersama kapal ini untuk mengawal kami menuju tujuan.
Intinya, sewaktu upacara pelepasan tersebut. Salah satu Perwita dengan bahasa Inggris seadanya. Menyampaikan bahwa kami akan dibawa ke Centraal Sumatra. Masuk ke selat Malaka, kemudian menyusuri sungai menuju pedalaman. Sungai Siak namanya. Kami hanya saling tatap dengan ekor mata masing-masing mendengar Komandan itu berbicara berulang kali, “Siak River.” Jadi pahamlah kami mau kemana kami dibawa. Namun kami sendiri, tidak tahu Siak river itu ada dimana.
Sementara kami disuruh naik. Dari atas kapal, terlihat oleh kami perempuan-perempuan bergaya norak melambai-lambaikan tangan dan tersenyum kearah Komandan yang tadi berpidato. Ya, Komandan itu. Dia terlihat masih muda dan ganteng. Dia hanya tersenyum tipis melihat kelakuan perempuan-perempuan itu. Kami akhirnya mahfum, mengiringi perjalanan itu, para tentara Jepang ini akan ditemani oleh perempuan-perempuan penghibur. Terlihat di atas kapal, sepertinya kapten kapal ini orang Tionghoa. Mungkin saja dia orang lokal yang dipekerjakan oleh Jepang di kapal itu. Kelasi serta anak buah kapal lainnya kebanyakan Tioghoa juga, tapi ada juga yang berwajah seperti Melayu atau orang Jawa atau orang lainnya dari negri Hindia ini.
Kami disuruh mengisi palka dibagian bawah di bagian depan, sementara di bagian belakang sepertinya adalah ruangan mesin yang panas serta bersuara keras menggelegar. Terlihat petugas ruangan dengan pakaian seragam montirnya bergelimang oli. Mungkin untuk memastikan kondisi mesin dalam keadaan prima. Berjejalan lah kami yang jumlahnya hampir 200 orang di ruangan yang sepertinya dulu saat kapal ini beroperasi normal sebagai palka untuk memuat barang bawaan. Sisa-sisa bawaan berupa sobekan karung atau sisa-sisa beras serta tepung masih tampak berserakan diatas lantai yang hitam tapi beralasakan kayu itu. Disanalah kami disuruh duduk berjejalan. Sempit sekali. Sementara para anggota pasukan Jepang yang mengawal kami tentu di ruang atas yang ada kamar dan pemandangannya. Lengkap dengan wanita penghiburnya.
Mungkin ada satu jam lamanya sebelum peluit kapal dibunyikan sebagai pertanda perjalanan akan dimulai. Keadaan sudah begitu panas dan pengap di dalam palka tersebut. Tidak ada ventilasi sama sekali. Justru angin masuk dari arah ruang mesin yang juga panas dan berisik itu. Sebagian yang tidak tahan aroma minyak diesel yang berhembus bercampur udara pengap itu sudah mulai muntah-muntah. Prihatin.
Kemudian terasa kapal mulai bergerak. Lambat-lamat, kemudian agak cepat, kemudian stabil. Udara mulai masuk dari sela-sela ruangan mesin. Tidak sepanas tadi, tapi tetap pengap. Tidak ada makanan hari itu. Kami hanya pasrah duduk bertekuk lutut. Saling pandang dalam kebisuan. Kami lapar, kami sakit, kami letih. Apa hendak dikata. Beginilah nasib jadi orang kalah.
WC di bagian palka itu hanya 2 buah. Sebenarnya itu diperuntukkan bagi petugas ruang mesin. Kami yang ratusan orang, mau tidak mau jika harus buang air harus antri kesitu. Menderita sekali. Kapal terkadang berjalan tenang, kadang-kadang sedikit oleng. Kami yang pengap kepanasan sudah basah oleh keringat kami sendiri. Entah serasa berada dimana kami hari ini. Yang jelas, ketika sudah berjam-jam di perjalanan, tampaknya ketika hari sudah sore pasang mulai naik, ombak mulai besar. Kapal terasa terombang-ambing ke kiri dan kanan lebih keras. Udara pengap, asap pembuangan dari ruangan mesin yang mengalisr masuk ke palka, kemudian guncangan kapal beradu menjadi satu. Tidak satu-dua orang yang mabuk dan muntah-muntah. Bertambahlah derita kami dengan bau anyir muntah! Mata tidak bisa tertidur sama sekali dalam keadaan seperti itu.
Baru lah ketika malam, ketika terlihat tidak ada lagi cahaya masuk melalui sela-sela plafon palka itu. Menandakan hari sudah malam. Barulah laut agak tenang. Atau mungkin kami sudah masuk ke perairan sungai yang tentunya tidak berombak lagi. Entahlah. Lamat-lamat kami mendengar suara musik dari radio disertai dengan tawa cekikikan perempuan yang sedang bercengkerama dengan laki-laki. Siapa lagi kalau bukan prajurit serta perwira pasukan Jepang itu. Mereka menghabiskan malam dengan syahdu di kapal itu. Bersenang-senang dengan makanan yang cukup, berhibur dan tentu juga mengumbar syahwat sambil menikmati bintang dari kamar di bagian atas itu.
Malam sudah berganti. Kali ini kami lihat kembali di sela-sela plafon sudah tampak lagi cahaya masuk menerobos masuk. Sudah pagi rupanya. Kapal berjalan tenang. Sesekali meliuk-liuk akan tetapi tetap tenang. Menjelang siang, kembali terasa udara pengap seperti kemarin. Bertambah lagi dengan aroma bau anyir bekas muntahan kami. Ada yang masih muntah-muntah sampai siang ini. Mungkin bukan lagi karena hempasan gelombang akan tetapi karena tidak tahan bau anyir itu sendiri. Petugas kapal terlihat membuka pintu palka. Dia memakai kain yang terlihat seperti selendang atau syal yang dililitkan di sekeliling wajahnya. Tujuannya tak lain tak bukan, apalagi kalau bukan untuk menutup hidung, menghindari bau busuk yang pasti akan mereka cium seketika pintu itu terbuka.
Pintu palka yang dibuka mungkin oleh empat-lima orang anak buat kapal itu terdengar berderit, lalu ketika daun pintu besi yang berat itu terangkat keatas serta merta bau busuk dan anyir dari bawah tempat kami berada menyeruak ke udara. Karena itulah mereka pakai penutup hidung itu. Sejurus kemudian, mereka menyirami kami dengan air yang dialirkan melalui pipa. Cukup deras dan kencang airnya. Mungkin air sungai yang disedot pakai mesin pompa. Sehingga kami menjadi basah kuyup. Ibarat mandi, rasanya lebih enak dan segar. Kami yang sudah hampir lemas karena kelelahan, tidur dalam kedaaan duduk, mencium bau anyir sementara perut kosong tidak makan membuat mata kami menjadi nanar. Tubuh kami sudah berada pada titik terendah. Lalu ketika disirami air itu. Terasa bagai hujan yang turun disaat kemarau. Begitu menyegarkan. Kami membasuh muka dengan air yang merembes dari kepala kami. Bagi yang kebetulan kena siram di bagian muka, bisa sekalian kumur-kumur mencuci mulut. Tentu saja pula kami minum air tersebut. Mau tidak mau. Itulah asupan kami dalam dua hari ini.
Tampaknya saat itu bukan lagi siang, tapi sudah menjelang sore. Permukaan air terasa tenang. Kapalpun berjalan pelan. Kami tidak tahu kenapa. Yang jelas semakin lama kapal terasa semakin pelan saja berjalan. Hingga terasa hari sudah kembali gelap. Malam akhirnya tiba. Kami seperti dipaksa bermalam diatas kapal itu untuk menunggu pagi. Pakaian kami yang basah, membuat banyak yang terpaksa membuka bajunya untuk dikeringkan dengan cara memeras airnya dengan tangan. Bahkan tidak sedikit pula yang sampai membuka celananya untuk dikeringkan dengan cara yang sama. Memang, jika tetap masih memakai pakaian basah itu. Sudah barang tentu badan akan sakit, masuk angin kata orang lokal. Basah yang tadinya membuat kami sedikit gembira, ternyata di malam ini malah menjadi malapetaka. Tidak sedikit diantara kami yang malah jatuh sakit. Bolak-balik menuju kakus yang hanya ada dua. Sementara penerangan di dalam palka itu sangat terbatas. Dapat dimaklumi karena selama itu ruangan tersebut diperuntukkan untuk memuat barang. Bukan manusia seperti kami.
Maka, ketika malam jauh sudah larut. Bagi yang masih ke WC. Ketika keluar pasti muntah-muntah. Kotoran manusia berceceran tidak karu-karuan di lantai WC yang sudah becek berair itu. Air untuk menyiram tersedia, masalahnya tidak ada wadah yang memadai untuk menciduk air itu dalam jumlah yang cukup banyak sehingga bisa menyapu kotoran itu dengan tenaga air yang disiramkan tersebut. Tidak ada ember atau gayung. Yang ada hanyalah telapak tangan para anggota rombongan yang tidak sanggup menyiram buang hajatnya hingga tuntas itu. Bertambah lagi penderitaan kami. Pengap dari cahaya matahari sudah berkurang, tapi ruang mesin masih saja tetap panas. Udara panas itu bercampur dengan air bekas muntah lalu sekarang dengan sisa kotoran yang tidak tersiram di WC itu.
Ketika pagi datang, petugas membuka kembali pintu palka. Kemudian tidak lama kemudian para tentara Jepang berjaga di mulut paka itu. Takut kalau kami memanjat tangga dari bawah, lalu mencoba menghambur keluar. Laju kapal stabil lambat. Namun rasanya kami sudah hampir sampai di tujuan. Peluit kapal sudah beberapa kali kami dengar berbunyi. Dan tidak lama kemudian. Terdengar suara orang bercakap-cakap. Bahasa Jepang dengan bahasa Jepang. Kemudian terdengar pula percakapan dalam bahasa Melayu. Sepertinya saat itu sedang proses sandar di sebuah dermaga. Benar saja. Tidak lama, petugas Jepang yang berbahasa Inggris kemarin memegang mikrofoon lalu meminta kami keluar satu per satu melalui tangga palka. Naik ke atas geladak kapal. Lalu langsung turun menuju daratan melalui tangga sambung darurat yang terbuat dari dua lembar papan tebal.
Satu per satu kami keluar. Kondisi sudah sangat loyo. Tidak bertenaga sama sekali. Bahkan untuk sekedar naik tangga itu pun kami kesusahan. Maka ketika turun ke darat, tidak mampu lagi untuk berdiri tegak, tapi hanya duduk diatas dermaga semen di lapangan yang terasa cukup luas itu. Lama juga prosesnya. Lebih dari satu jam mungkin. Mata kami yang sudah sampai dibawah dan menunggu proses teman lain keluar sudah nanar menatap matahari. Badan kami menggigil.
Maka, sekali lagi kami disiram dengan air pipa yang dipompa dari sungai itu. Tidak begitu besar sungainya tampaknya. Airnya tenang namun agak hitam. Orang-orang Jepang yang menyirami kami ini tampaknya karena tidak ingin terkontaminasi bau busuk badan kami. Maka mereka menyirami kami dengan maksud agar kami lebih bersih dan tidak berbau.
Kapten, anak buah kapal, serta perempuan-perempuan nakal itu memandangi kami dengan takjub dari atas kapal. Begitu pula kuli-kuli pelabuhan yang sebagian besar orang lokal, sejenak menghentikan pekerjaan mereka melihat kami datang ratusan orang kemudian disiram dengan air sungai. Mungkin mereka bertanya-tanya, ada apa gerangan. Begitu juga dengan tentara-tentara Jepang yang bertugas di pelabuhan itu, mereka saling bercerita dan berbisi-bisik sesama mereka. Sebab bisa jadi mereka yang tidak ditugaskan mengurusi tidak tahu kami ini siapa dan mau dibawa kemana.
Di pelataran gudang tidak jauh dari dermaga ini. Tampak ada petugas-petugas orang lokal yang tampaknya disuruh oleh tentara Jepang itu untuk menyiapkan makanan. Kami disuruh berbaris. Ada yang dapat talas, ada yang dapat pisang, ada yang dapat ubi jalar, ada yang dapat singkong rebus. Mereka tampaknya merebus begitu saja tanaman yang mengandung karbohidrat itu dalam sebuah tong besar. Mungkin bekas drum minyak yang kemudian dibersihkan. Sebab dari sanalah mereka tampak mengeluarkan rebusan yang masih mengepulkan asap itu. Kami boleh mengambil lebih dari satu. Boleh pisang dengan ubi kayu. Atau talas dengan singkong. Senang juga lah hati kami perut jadi terisi dengan makanan hangat. Pun kami diberi minum. Mungkin teh yang dibubuhi gula merah, gula yang banyak dibuat oleh masyarakat di kampung-kampung. Bukan gula pabrik. Tapi enak sekali rasanya.
Ketika selesai makan. Kami disuruh berbaris. Tampaknya kami akan dibawa lagi entah ke suatu tempat entah kemana. Waktu itu mungkin sudah lewat pukul 11 siang. Matahari begitu menyengat. Lantai semen pelabuhan itu terasa menyalurkan hawa panas ke tubuh kami. Tiga, empat, lima, mungkin hampir 10 orang tumbang. Bermacam-macam. Tapi yang pasti semuanya kami ini sakit. Cuma ada yang masih bisa bertahan, ada yang tidak.
Maka akhirnya setelah berdiskusi sekian lama dengan Perwira yang ada di pelabuhan ini. Diputuskan sembilan orang yang sakit dan berjatuhan tadi ditinggal. Yang lainnya naik ke atas truk. Lagi-lagi truk daun jarak. Belum lagi berjalan, suaranya sudah menggelegar, bau asapnya busuk bukan kepalang. Kepada yang tinggal kami hanya bisa melambaikan tangan. Demikian pula mereka. Yang tidak mampu membalas lambaian tangan kami cukup memandang dengan ekor matanya. Kami mahfum. Yang tidak kami tahu, entah kemana mereka akan dibawa. Sementara kami pun juga belum tahu kemana kami akan dibawa.
Tampaknya truk yang ada di pelabuhan ini berbeda type nya dengan truk-truk yang pernah kami naiki sebelumnya. Entah buatan mana. Yang jelas rasanya truk ini lebih besar dan tinggi. Karena itu kami kesulitan untuk memanjat naik, bahkan dengan cara memanjat roda samping bagian belakang itu. Jepang, apalagi kalau bukan marah. Merasa kami lambat dan bertele-tele, ayunan tongkat rotan melekat di pantat dan punggung kami. Sakit bukan kepalang.
Drama berikutnya, pasti hubungannya dengan menghitung jumlah penumpang setiap truk. Tentara Jepang berteriak-teriak, entah apa yang dia maksudkan. Kami hanya melihat nanar. Cuaca terasa panas. Matahari terik tepat diatas kepala. Hitung menghitung. Salah lagi, hitung lagi. Deraan pukulan tak bisa kami hindari. Setengah jam kami habis dipukuli dan dikata-katai sebelum akhirnya truk itu berangkat meninggalkan pelabuhan. Truk mengarah ke barat, mengikuti arah matahari. Cuaca yang begitu terik agak terobati dengan angin yang menerpa kami. Namun, belum setengah jam, kami sudah bergelimpangan lagi di lantai truk itu. Truk berjalan kencang, namun keadaan jalan yang sebagian berlobang membuat kami tergoncang-goncang. Satu dua orang kembali mabuk.