Saputangan dari kamp Bangkinang

Osvian Putra
Chapter #11

Saputangan Dari Kamp Bangkinang

11. Saputangan Dari Kamp Bangkinang

 

Mei 1944, lahirnya anak seorang tahanan perang.

 

Manuskrip dibuat dengan menggoreskan paku di bagian pantat kuali hitam yang ditemukan di dapur bekas kamp sungai Tapi. Benda itu ditemukan setelah pembebasan, atas petunjuk bekas tahanan itu kepada bala tentara Inggris yang datang untuk memulangkan para tahanan perang tersebut dari area sekitar jalur pembangunan rek kereta api Pekanbaru-Muaro Sijunjung.

 

***

 

Rimba di tanah Sumatera ini memang tidak kira-kira. Hutan lebat sepanjang mata memandang. Bahkan di posisi kami di lereng bukit seperti ini. Karena tempat ini mungkin terletak di garis khatulistiwa. Panasnya bukan kepalang. Jika sudah naik uap embun ketika matahari mungkin baru 1 jam bersinar di pagi hari. Setelah itu dipastikan panas akan menerpa sampai petang.

 

Dalam kondisi panas seperti itu kami dipekerjakan. Membuka jalur jalan kereta hingga ke mulut tambang. Namun jangan dikata emas yang kami cari, tapi batu hitam. Kami menyebutnya coal. Orang Melayu menyebutnya arang batu. Tapi orang sekarang menyebutnya batu bara. Batu bara, salah satu sumber energi yang paling populer kala itu. Gara-gara itulah kami menjadi celaka begini.

 

Awalnya beberapa hari yang lalu ketika kami sampai di Kamp di tepi sungai yang ada tambang emas itu. Kami pikir kami akan dipekerjakan disana. Akan tetapi ternyata itu hanyalah semacam fatamorgana saja. Ternyata tempat itu hanyalah tempat transit semata sebelum kami disuruh bekerja di tempat kami sekarang.

 

Ya, kami berada di tambang batubara di tepi sungai Tapi. Jauh lagi masuk ke pedalaman hutan mengambil jalur horizontal ke arah barat dari tempat kami kemarin. Ternyata kami disuruh istirahat beberapa hari itu hanyalah karena alat-alat untuk kami bekerja ternyata belum lengkap. Ingat kan, ketika kereta itu meninggalkan kami begitu saja pagi itu? Ternyata mereka menjemput peralatan kerja yang sudah selesai dipergunakan di suatu tempat, mungkin diujung jalur kereta yang kami lewati dan ujicobakan kemarin. Rasanya mungkin tiga, atau empat hari setelah itu, kereta itu kembali ke tempat dimana kami ditinggalkan. Hati kami antara takut, gembira sekaligus was-was waktu itu. Takut kami akan dibawa ke suatu tempat lagi kemudian disuruh bekerja. Gembira, karena merasa kami mungkin akan dibawa kembali pulang ke tempat asal di tahanan Bangkinang. Akan tetapi juga was-was, akan diapakan kami selanjutnya.

 

Ternyata, memang saja. Kereta itu, selain membawa peralatan seperti martil, sekop, cangkul, gergaji serta peralatan pertukangan lainnya. Alat-alat tersebut semuanya bekas. Seperti bekas dipakai di suatu tempat sebelumnya. Bahkan sudah karatan dan sebagian mungkin sudah tidak layak pakai. Ternyata di dalamnya ada orang-orang seperti kami. Orang-orang yang sudah mirip seperti zombie. Tinggal kulit pembalut tulang. Namun bedanya, kami berkulit putih, sementara mereka berkulit sawo matang. Kami benar-benar terkejut karena selama ini jika ada orang lokal yang dipekerjakan oleh Jepang. Biasanya pekerjaannya sedikit lebih baik dari kami. Juru masak, supir, pembantu, tukang tunjuk jalan atau penterjemah tentara Jepang. Akan tetapi, demi melihat mereka ini, cara pandang kami berubah. Ternyata Jepang menyiksa semua orang. Bukan berarti mereka hanya ingin balas dendam kepada orang kulit putih atau hanya karena benci kepada orang kulit putih. Ternyata orang-orang lokal sendiri juga banyak yang dipekerjakan seperrti kami. Bahkan, jika melihat kondisinya dapat dipastikan bahwa pekerjaan mereka jauh lebih berat disbanding kami.

 

Tapi, orang-orang ini, kalau dilihat dari perawakan serta wajahnya bukanlah seperti orang Sumatra kebanyakan. Kami baru tahu setelah berkumpul dengan mereka, bahwa mereka berasal dari Jawa. Agak susah berkomunikasi dengan mereka karena kebanyakan mereka tidak bisa berbahasa Melayu, sementara kami tidak bisa berbahasa Jawa.

 

Ratusan orang yang kondisinya sangat memprihatinkan itu, ternyata disuruh menggantikan tempat kami. Sementara hari itu juga kami disuruh berangkat lagi. Kami tentu saja terkejut sekaligus terperanjat karena merasa ini adalah perintah tiba-tiba. Tapi apa hendak dikata. Jepang adalah Tuan kami saat ini. Yang mebuat kami agak kesal sebenarnya adalah, bahwa selama tiga hari berada disitu kami tidak ada pekerjaan apa-apa, sementara petugas Jepang tidak terlalu ketat mengawasi kami. Karenanya sebagian dari kami, pergi lah berjalan ke arah perkampungan, bertemu kebun dan ladang penduduk. Disitu kami mencuri singkong. Baik buah maupun daunnya. Cukup banyak jumlahnya, karena sepertinya singkong itu benar-benar ditanam oleh pemilik kebun itu. Bukan itu saja, ada pula pisang yang kami tebang masih dari sekitar situ, pasti seseorang memilikinya di kampung terddekat. Apa yang tampak bisa dimakan kami ambil. Ada buah timun, ada tomat, ada sayur lainnya juga.

 

Nekat kami berjalan, sebelas orang yang berani mengambil resiko itu untuk mencari kemungkinan. Awalnya jika ketemu dengan penduduk lokal. Maksud kami ingin untuk meminta baik-baik. Namun, setelah lebih rasanya 1 jam berjalan, ketika kami bertemu ladang itu, sepertinya tidak ada orang disitu. Awalnya kami ragu. Takut juga. Tapi rasa lapar mengalahkan itu semua dan kami nekat mengambil apa yang kami tampak.

 

Bahkan……Sneilvit pemuda 21 tahun yang terkenal keras kepala diantara anggota rombongan kami. Nekat mencuri kerbau warga. Dalam perjalanan setelah mengambil hasil kebun itu. Kami melihat serombongan kerbau warga di kubangan yang terletak tidak jauh dari aliran sungai itu. Tampaknya warga sudah biasa mengembalakan kerbau dengan cara begitu, bahkan tanpa ada yang menunggui. Snelveit yang kasar itu nekat saja menarik tali kerbau itu. Awalnya kerbau itu meronta, melenguh lalu kawanan kerbau itu tampak berlarian kian kemari ketika tahu salah satu anggotanya kami tarik. Namun karena memang sudah nekat, hati kami pun pekat. Sudah lama sekali tubuh kami tidak merasakan lezatnya daging. Perlu diasupi protein. Sudah lebih dua tahun yang kami makan hanya sejumput nasi, atau bubur, atau ketela. Dimakan bersama sayur bayam, atau kangkung, atau toge, sekali-sekali ada makan ikan asin, tapi bagi kami itu rasanya seperti mengunyah kotoran kering saja.

 

Maka, mencuri kerbau sesungguhnya adalah logis menurut kami saat itu. Berkilo-kilo meter kami menarik tali kerbau itu. Bergantian kami memegang dan menarik talinya. Sebagian berjalan di belakang, sebagian lagi melihat situasi, apakah ada orang kampung yang melihat kami. Soalnya, di kawasan tersebut, memang sudah ada rumah penduduk satu-satu, namun orangnya yang tidak terlihat oelh kami. Karena semangat kami, lebih dari satu jam kami berjalan. Tampaklah pondok-pondok tempat peristirahatan kami dengan tanda ada rumah sedot pasir emas yang tinggi itu mengapung di atas air sungai Logas.

 

Tentara Jepang penjaga, sontak bereaksi setelah mendengar keributan ketika anggota tahanan lain melihat kami datang membawa macam-macam barang. Takjub mereka melihat kami menyeret kerbau tersebut. Tertawa mereka ramai-ramai. “Jozu ne!....jozu ne[1]!” Kami sebenarnya tidak tahu harus bagaimana. Harus berkompromi atau malah melawan kepada Jepang ini. Namun yang jelas, ketika kami sudah dekat. Kami disuruh menghela kerbau itu ke pinggir sungai. Lalu sekonyong-konyong pimpinan tentara pengawal kami tersebut melepaskan tiga kali tembakan. Jatuh terhuyung kerbau itu, menggelepar sebentar, lalu melenguh dengan keras, lalu diam. Setelah itu tentara itu melepaskan sangkur dari sarangnya, lalu menyuruh kami memotong-motong kerbau itu. Jadilah kami tukang jagal hari itu. Jadi lah kami makan daging. Jepang-jepang itu dapat bagian daging terbaik. Dua potong paha kiri-kanan bagian belakang mereka makan bersama-sama. Sementara kami yang jumlahnya 10 kali lipat mereka dapat daging sisa-sisa. Kami sedih. Tapi kami juga gembira kembali bisa makan daging.

 

Masalahnya sisa makanan yang kami ambil dari ladang penduduk kemarin masih cukup banyak. Adalah suatu kemewahan bagi kami sebenarnya jika kami punya stok bahan makanan sebanyak itu. Maka sayang sekali rasanya jika hari ini kami sudah disuruh berangkat lagi.

 

Akan tetapi mau tidak mau kami harus berangkat. Ternyata kami disuruh bekerja merapikan jalur kereta lori yang akan menuju ke sebuah tambang batubara yang terletak kira-kira 15 kilometer dari tempat kami sekarang. Setelah memastikan jalur rel tersebut bisa dilalui lori, tugas kami adalah menggali batubara itu sendiri untuk kemudian menaikkannya ke lori lalu dibawa ke jalur kereta api utama yang kami lewati kemarin.

 

Lihat selengkapnya