SAPUTANGAN TANDA CINTA

KH_Marpa
Chapter #3

"Sajak Dua dan Tiga"

Mila agak kaget melihat Indri memasuki kelas A1 saat jam istirahat pertama ini. Teman sebangkunya itu sudah mulai berani pergi sendirian ke sana walaupun belum tentu untuk menjumpai Ryan.

Sebenarnya tadi dia ingin bertanya, kenapa Indri begitu berseri-seri hari ini, tapi urung karena sedang berkonsentrasi menghadapi ujian.

"'Ngapain' dia ke sana?" pikirnya sambil menyusuri koridor kelas 2. Dia ingin mengembalikan buku ke perpustakaan.

Waktu melewati kelas A1, dia melirik sepintas. Dilihatnya Indri sedang asyik bercakap-cakap dengan Ayu.

"Oh, ketemu Ayu rupanya," Mila terus melangkah ke perpustakaan.

Ketika sampai di depan pintu perpustakaan, dia berpapasan dengan Ryan yang baru keluar.

"Hai Mil, kok sendirian?"

"Indri lagi di kelasmu sama Ayu," sahutnya datar.

"Oh-yuk!" Ryan memberi jalan kepadanya dan berlalu.

"Memang mau ketemu Ayu-atau?" Ryan mempercepat langkahnya menuju ke kelas dengan hati senang yang membuat wajahnya berseri-seri.

"Itu dia!" Ryan menghindar dari jalan yang biasa dilalui untuk menuju ke tempatnya, biar tak ketahuan sedang berharap.

"Dari mana aja?" Indri senang sembari mencuri pandang ke arah Ryan.

"Sudah lama? kok enggak bilang-bilang?" Ryan berpura-pura sibuk dengan buku yang baru dipinjamnya dari perpustakaan. Dia lebih sering meminjam buku tentang sastra, politik, dan sejarah ketimbamg sains dan teknologi karena menurutnya hal itu lebih merangsang inspirasi dan kreativitas.

"Yan, besok dateng, ya!" Ayu sudah di depannya, sedangkan Indri masih di sana.

"Indri bikin acara ultah di rumahnya-sebagian aja yang diundang dari kita."

"Benar nih? tapi aku enggak suka pesta!"

"Serius kamu, Yu. Dia aja tenang-tenang di sana." Ryan menutup buku bacaannya.

"Serius! Ndri, sini dong!"

Indri datang dengan tersenyum.

"Sayap-sayap patah? buku apaan ini, Ryan?" Dia melirik sekilas.

"Dia enggak percaya, In." Ayu tertawa lalu beranjak meninggalkan mereka berdua.

"Gimana ujiannya tadi?"

"Lancar. Entar bukumu kubalikin, ya! tadi ke sininya buru-buru."

"Enggak apa-apa," Ryan bangkit dan berkata dengan lirih, "ayo kutemani ke kelas."

"Ke kelasku? 'beneran'? tapi bukan mau menyuruhku pulang, 'kan?" Dia mengikuti dengan bimbang.

"Bentar, ya, Yu," ujar Ryan meminta izin.

Ayu tertawa pelan, "Lama juga boleh kok, asal inget pulang aja!"

Indri mendelik karena ledekannya.

Entah mengapa, ada yang membanggakan hatinya saat berjalan santai di samping Ryan. Sapaan dan ledekan teman-teman-cowok maupun cewek-di koridor ini, semua dijawab Ryan dengan lugas disertai guyonan.

"Kayaknya di antara mereka, ada yang naksir kamu, In,"bisiknya pelan.

"Yang naksir kamu juga ada. Kelihatan banget kok."

Mereka tertawa sambil berpandangan. Riuhnya suasana jam istirahat menjelang jam pulang ini-memang tradisi setiap Jumat-membuat langkah mereka sering terhenti.

"Kamu bisa datang besok, 'kan?" tanya Indri lirih waktu mereka masuk ke kelas.

"Sungkan juga kalo entar enggak ada teman sekelas di sana-"

"'Kan ada Ayu, Dedi, sama Sapto," balasnya sembari mengambil buku dari tas.

"Aku enggak bisa janji, In-kuusahakan." Ryan memandangnya

"Ini Sweet Seventeen-ku, Ryan. Kamu harus ada-"

"Undangannya ada di dalam-makasih banyak, bukunya." Dia berusaha tersenyum seraya menyerahkan buku.

"Kamu mengundangku sebagai apa?" kata Ryan berhati-hati. Dia ingin tahu statusnya karena memang mereka tidak pernah sekelas, bahkan baru saja berkenalan, tapi Indri mengharapkannya harus datang.

"Entar di sana mau ngapain-aku enggak tau, mau ngasih kado apa-juga enggak tau, In."

"Aduh! Ryan! masa kamu enggak merasa sih?"

Indri tersenyum memakluminya. Mana mungkin dia mengatakan hal yang sebenarnya di depan Ryan seperti ini. Lagipula, sikap Ryan masih abu-abu.

"Jawabannya ada di undangan-usahakan dateng, ya?!"

"Oke. Yok, In!" Ryan tersenyum memahami artinya lalu berjalan cepat menuju ke kelasnya.

"Buru-buru amat, Yan?" tegur Mila yang menepi di koridor kelas A2.

"Ada yang penting," sahut Ryan bersamaan dengan bunyi lonceng tanda masuk.

Sesampainya di kelas, Ayu langsung menyambutnya dengan pertanyaan.

"Kamu dateng, 'kan? Dedi sama Sapto barusan janji mau dateng"

"Kuusahakan, Yu."

"Harus dong. Entar kamu nyesel kalo enggak dateng, Yan. Pas-ti nyesel."

Ryan tertawa menuju ke bangkunya. Dengan berdebar-debar dibukanya buku catatan Bahasa Indonesia.

"Siapa yang kamu harapkan ada di ujung jalan itu?" Tulisan Indri terbentang di hadapannya.

Duar!!! seketika badannya jadi rada demam!

"Dia merespon? ada harapan berarti." Dalam hatinya Ryan senang bukan kepalang. Diambilnya bolpoin lalu mengalirlah inspirasi di benaknya.

"Engkau-lah yang kuharapkan,

tidak ada yang lain ... sebab anak panah yang menembus hati-ku,

bertuliskan nama-mu."

Dalam hati, Ryan membaca tulisannya sampai tiga kali. Perasaannya lega sekaligus bingung. Bagaimana caranya supaya Indri tahu jawaban ini? Bukankah norak kalau dia memberi buku ini lagi, padahal Indri tidak sedang membutuhkannya?

Dia beranjak untuk memberi jalan pada Set yang masuk kelas bersama Pak Jalal.

"Kau dari mana?"

"Baru siap rapat OSIS. Kita mau bikin pertandingan volley antar kelas."

Ryan tertawa pelan membayangkan tim kelas 2 A1 yang cuma ada 3 orang. Cowok lainnya sekadar pemain penggembira, yang servisnya bisa tiga kali gagal dari dua kali percobaan!

--000--

Tepat lonceng jam pulang berbunyi, Ryan baru teringat pada undangan Indri. Seisi kelas sedang berkemas untuk pulang setengah hari karena Jumat.

"Ke tempat Bude, yok!" Set mengajaknya saat bubaran.

"Aku langsung pulang, ada kerjaan."

Set tertawa, "Bude menanyakanmu lo? Dia kira kau enggak masuk."

"Bilang aja lagi sibuk-"

"Sibuk jatuh cinta, 'kan?" Set tertawa sambil meninggalkan Ryan.

"Sembarangan aja!" gerutu Ryan yang malu karena ketahuan.

Sekarang tinggal dia yang masih di kelas ini, berdiri sejajar dengan pintu kelas sembari mengambil buku catatan Bahasa Indonesia dari tas. Secarik kertas lipat tebal warna pastel terjatuh ke lantai. Ryan segera menjumputnya dengan tangan kanan sambil tangan kirinya memasukkan buku ke dalam tas.

"Harus dateng! Kalopun telat, masih ditunggu sampe jam 10, ya!"

Dia tertawa membacanya. Sekarang jelas, Indri menjadikannya special guest dan ini membuat Ryan jadi melayang!

Dengan sumringah Ryan meninggalkan kelasnya. Suasana di sekolah sudah sepi. Di parkiran tinggal 5 sepeda motor saja.

"Ryan!-"

Dia menoleh ke arah aula. Melati sedang berjalan ke arahnya. Temannya ini memilih jurusan A2-kelas tetangga.

"Kok belum pulang?" Ryan berhenti sambil menarik tas bahunya.

"Nunggu jemputan. Kamu yang nutup kelas, ya?" Melati tersenyum. Dia masih bersimpati pada teman kelas 1 nya ini. Baginya, Ryan tetaplah cowok misterius yang menarik hati.

"Pasti dijemput atau-"

"Pasti dong, kalo enggak, Mama udah nelepon sekolah."

Ryan berpikir sebentar.

"Kasihan juga dia sendirian di sini."

"Kita tunggu di aula aja, panas di sini, Ti." Ryan mengajaknya kembali ke tempat semula.

Melati tersenyum dengan senang, tak menyangka Ryan perhatian padanya.

"Enak di A1?" Dia melirik sekilas.

"Biasa aja-banyak yang pintar, persaingannya ketat."

Mereka duduk di tembok tangga depan aula. Angin siang berhembus cukup kencang mengusir hawa panas.

"Kemaren ranking berapa?"

"Enam, yang satu sampai lima, mantan ranking satu waktu kelas satu."

"Oh! tapi kamu pasti bisa naik lagi, Ryan." Melati menyemangatinya. Dia tahu persis kemampuan akademik mantan saingan-nya ini. Dua semester dia berusaha menaklukkan, tapi Ryan selalu unggul dan dia selalu terkunci di ranking 3. Sekarang, Melati ranking 1 di kelas A2.

"Kamu hebat di A2, ya, Ti! salut aku." Ryan memuji dengan senyuman.

"Sedang beruntung aja, Ryan," sahutnya tersipu.

"Tapi kamu enggak nyamperin aku juga sampe sekarang," pikirnya rada malu.

"Entar mau ambil FK pasti, ya?"

"Rencana sih iya, biar kayak Papa," jawab Melati senang, "seru banget kamu sama Indri waktu itu, lo?"

Ryan tertawa mengingatnya. Kejadian itu juga yang membuatnya jadi berharap begini. Kalau tidak? Dia mungkin belum merasakan getaran aneh yang merepotkannya selama seminggu ini.

"Nasib itu, Ti. Enggak diharapkan."

"Edi jadi uring-uringan karenanya-"

"Edi calon Ketua Osis?" Ryan mendelik lucu.

"Mm-dia 'kan sudah naksir Indri waktu kelas 1. Satu kelas-kayak kita dulu."

Lihat selengkapnya