Suara Bunda yang memanggil namanya dari balik pintu kamar, membuat Indri tersentak di ranjangnya.
"Sebentar, Bun." Dia buru-buru menyimpan kartu Ryan ke dalam laci meja belajar lalu membuka pintu kamar.
"Sudah jam dua belas kok belum tidur?" tanya Bunda menggandengnya ke ranjang.
"Enggak ngantuk, masa dipaksa, Bun." Dia duduk bersandar ke dinding sambil memeluk bantal.
"Ada apa Bunda?" tanyanya manja.
Bunda tersenyum menepuk tangannya.
"Bunda cuma mau tau hubungan kamu dengan si Ryan tadi, Ndri."
Indri tertawa, "Teman sekolah, Bun. Cuma berteman."
"Kamu sudah lama kenal dia?"
"Baru dua minggu, Bun. Waktu kelas 1, kami beda kelas-sekarang dia A1, beda kelas lagi-kenapa, Bun?"
"Puisi yang tadi kamu baca, dia yang bikin?"
"Iya, bagus, 'kan, Bun?"
"Kayak puisi cinta lo, Ndri. Bunda jadi was-was mikirin kamu, 'kan masih sekolah-"
"Tenang aja, Bunda. Aku bisa menjaga diri kok-menurut Bunda dia baik, enggak?" Indri menatap sambil tersenyum.
"Kalo lihat tampang-nya sih, kayaknya anak baik, tapi kalo masih sekolah-maunya fokus belajar aja dulu. Contoh Mbakyu-mu yang dua itu. Waktu SMA, mereka fokusnya belajar aja dan terbukti masuk PTN bergengsi, 'kan? membanggakan kita semua!"
"Kami cuma berteman, Bun. Apa salah?"
"Bunda pernah seusiamu, Ndri-"
"Terus Bun-" Indri berbaring di pangkuan ibunya.
"Ryan itu ada hati sama kamu-"
"Jadi, enggak boleh?"
"Itu sih terserah yang punya hati, tapi yang menentukan itu kamu, Ndri."
"Dia aja menganggapku teman, Bun. Banyak lo yang naksir sama Ryan itu karena pinternya, baiknya, humorisnya, padahal menurutku dia itu sebenarnya pendiam-pemalu lagi, Bun."
Bunda tertawa geli, "Kenal dua minggu sudah tau sebanyak itu tentang dia? Kamu jujur dulu sama Bunda, ya-"
"Emang aku pernah bohongin Bunda? Aku tau dari temen-temen sekelasnya nya waktu kelas 1, lo, Bun."
"Jujur ya, Ndri-kamu naksir enggak sama dia?"
Indri terdiam beberapa saat. Pertanyaan Bunda sulit menjebak.
"Sekarang sih-ada dikit, Bun. Enggak tau besok-besok." Indri tertawa-tawa.
"Kamu ini-belajar dulu aja yang rajin, enggak usah mikirin cowok."
"Kalo suka 'kan enggak bisa dibuat-buat, Bun. Alami, lo?"
"Bunda tau-"
"Nah, Bunda pernah ngalamin sendiri, 'kan?"
"Pernah dong. Mau tau berapa kali?"
Sontak Indri terbahak-bahak.
"Bunda pasti cantik waktu muda, 'kan? Banyak yang naksir-kelihatan kok."
"Kalo soal itu, tanya Ayah aja-sudah, sekarang kamu tidurlah, udah larut."
"Oke, Bun! selamat tidur." Indri memeluk dan mengecup pipi Bunda.
"Maafin, ya, Bun-aku sudah terlanjur mengharapkan cintanya." batin Indri saat mengunci pintu kamar.
Kembali diambilnya kartu Hallmark itu lalu membacanya perlahan-lahan. Tak lama kemudian, lamunan menghanyutkannya.
"Aku suka pembawaanmu yang kalem, tapi berisi. Pinter, berhati-hati dan romantis. Gayamu bicara-cerdas, membuatku tak pernah bosan ngobrol sama kamu, apalagi kalo kamu senyum? semua terasa jadi baik-baik saja. Ryan, memang kamu bukan cowok yang terganteng di sekolah kita, tapi hanya di dekatmu aku merasa nyaman."
--000--
Hujan tidak menyurutkan semangat Ryan untuk datang lebih cepat ke sekolah. Perubahan jadwal berangkatnya ke sekolah akhir-akhir ini , telah membuat ibunya jadi bertanya-tanya.
"I like Monday!" pikirnya semangat sambil membuka mantel hujan. Dia tak tahan lagi untuk secepatnya memberikan buku catatan bindo pada Indri-seperti janjinya.
Dengan berlari, dia meninggalkan parkiran motor di antara guyuran hujan.
"Ushh!" Ryan melompat ke lantai koridor ruang BP. Baju seragamnya agak sedikit basah.
"Oh, itu 'kan Indri?" pikirnya senang saat melihat Indri yang berjalan sendirian di koridor kelas 3-seberang lapangan upacara-menghindari hujan.
Dia terus melangkah lurus melewati kelas-nya untuk menemui Indri. Dipercepatnya langkah agar bisa sejajar dengan Indri yang berjalan santai di seberang sana. Tiba-tiba 'sang Putri' memandang ke arahnya, Ryan melambai dua kali dan Indri langsung membalasnya berkali-kali.
"Sayang-ku!" batinnya senang mensyukuri kejutan pagi ini. Langkahnya nyaris seperti berlari melewati koridor kelas 1 yang masih sepi sekali.
"Baru tujuh lewat lima." Dia tersenyum begitu berhadapan dengan Indri yang selalu dipikirkannya ini.
"Pagi, Say!" sapanya sambil tertawa, membuat Indri melompat kaget tertawa-tawa di koridor kelas 1.1.
"Pagi juga, Cin!" Indri tak mau kalah. Dia merekah semerbak mengikuti langkah Ryan berbalik arah ke koridor kelas 2.
Keduanya begitu senang, berseri-seri dan berbinar-binar, sampai tak tahu lagi mau bicara apa, hanya berjalan santai diiringi suara hujan.
"Aku suka panggilanmu tadi, Ryan. So sweet!"
"Panggil Cin lagi, In."
Tak terduga, mereka saling memandang lalu tertawa di koridor 2 A3 ini.
"Aku tau yang kamu pikirkan," ujar Indri tersenyum mengajak Ryan ke dalam kelas.
"Aku juga tahu yang-"
"Apa? coba bilang?" tanya Indri menantang manja.
Ryan tersenyum di samping meja Indri. Perasaan gemas menguasainya.
"Kamu bilang-"
"Teruskan, Ryan...pelan-pelan aja." Indri menggodanya.
"Peluk aku dong, Ryan-" sambungnya tertawa mesra.
Indri tertawa mendengar kegenitan Ryan.
"Bukan, yang bener-kamu suka kupanggil say tadi." Ralat Ryan cepat.
Indri sontak terdiam, tak menyangka.
"Kok tau?" tanyanya penasaran.
"Gemini itu firasatnya tajam, In-"
"Kamu Gemini?"
"Sudah lama Gemini." Ryan tersenyum menatapnya.
Indri tertawa memukul tangan Ryan, "Ayahku juga Gemini, tapi enggak genit kayak kamu tadi-"
"Entar coba tanya Ayah waktu seumuran kita begini-pasti genit."
Mereka tertawa bersama di kelas yang masih kosong ini. Senang tak terkira.
"Ini bukunya." Ryan memberikan catatan bindo-nya.
"Makasih-"
"Boleh pinjam buku-mu, In?"
"Buku apa?" Indri heran, belum mengerti.
"Terserah, yang penting ada cerita kamu di situ," sahut Ryan pelan.
Dipandangnya Ryan dengan ragu. Dia punya buku seperti itu, tapi isinya rahasia. Malu kalau diketahui orang lain. Bunda saja tak diizinkan Indri untuk membacanya, apalagi Ryan?! Lagian, mereka bukan pacaran, masih berteman.
Sepintas Indri terkenang pada kecupan mesra Ryan di jemari tangannya malam itu. Pikirannya berubah seketika.
"Ini, tapi isinya dikit aja-" ujarnya lirih sembari memberikan buku catatan Bahasa Inggrisnya.
"Enggak apa-apa, yang penting tentang kamu, In. Makasih, ya. Aku ke kelas dulu." Ryan tersenyum dan beranjak.
"Ryan-"
"Ya. Ada apa?" Ryan berhenti di dekat pintu kelas.
"Itu rahasia, ya," ujar Indri ragu-ragu.
"Tenang aja, Say! sama, yang di bukuku itu rahasia juga," sahut Ryan melambaikan tangan dan berlalu.
Indri tersenyum manis. Hatinya bercampur aduk.
"Jangan bikin aku tersiksa, Ryan. Kita udah saling tau, 'kan?" batinnya seperti memohon.
--000--
Mapel olahraga semua kelas di SMA Patriot, mulai difokuskan untuk menghadapi pertandingan volley ball antar kelas-khusus putra, bulan Mei depan. Bagi kelas 1 dan kelas 2, ini kompetisi sekolah yang pertama kali akan diikuti.
Kelas Ryan sedang latihan pagi ini-dibimbing pak Gatot. Hebohnya minta ampun! Lebih banyak tertawanya daripada seriusnya karena mereka saling ejek saat ada temannya yang salah. Maklum-lah, para cowok di kelas ini lebih suka olahraga renang, main halma, dan tanding panco. Volley ball tak masuk hitungan!
Panco adalah olahraga ter-favorit. Saking populernya, yang cewek pun 'dipaksa' untuk saling tanding di kelas A1 ini! Entah sudah berapa banyak kaki kursi dan meja yang patah jadi korban keganasan tenaga mereka.
Pak Gatot meniup peluit panjang tanda berakhirnya mapel hari ini. Dia merasa terhibur oleh pertunjukan komedi olahraga A1 ini.
"Kalian terlalu sering mikir, jadi malas menggerakkan tubuh, ya?!" sindirnya pada Dedi-ketua kelas.
"Ini 'kan baru latihan pertama, Pak. Kemampuan asli kami belum keluar," sahut Dedi disambut dukungan warga kelas riuh rendah.
"Emang sengaja kami simpan untuk Hari H, Pak! biar saingan terkecoh," timpal Ryan dengan dingin. Serentak lagi warga kelas mendukung. Mereka selalu kompak, apalagi kalau menyangkut martabat kelas A1-nya!
--000--
Kali ini, rasanya Ryan ingin langsung terbang menemui Indri! Apa yang tertulis di buku catatan Bahasa Inggris ini, sungguh menyentuh hati sampai ke lubuk-nya.
"Nyesel aku enggak langsung membacanya tadi."
Dicarinya kembali tulisan pertama Indri tentang perasaan yang dicurahkan nya di buku catatan ini.