SAPUTANGAN TANDA CINTA

KH_Marpa
Chapter #5

"Kuntum Berseri"

Hari-hari Ryan dan Indri menjadi penuh warna-warni setelah mereka jadi sepasang kekasih meskipun mereka tidak pernah bertemu di luar jam sekolah.

Warna-warni itu mereka lukis lewat surat, saling mengunjungi ke kelas masing-masing, dan berjalan berdampingan ke gerbang sekolah saat jam pulang.

Sampai menjelang ujian semester 4 ini, mereka masih bisa menjaga kerahasiaan hubungan cinta itu-sudah berjalan satu bulan-dengan tidak pernah berduaan secara menyolok, sehingga di mata teman-temannya-termasuk Melati-mereka terlihat seperti masih dalam tahap pendekatan saja!

Kunci keberhasilan mereka terletak pada Ryan. Indri sendiri mengakuinya. Kalau saja diminta, sebenarnya Indri bersedia membohongi Bunda agar mereka bisa berduaan selain di sekolah, tapi Ryan tidak melakukannya. Dia benar-benar menjaga cinta mereka agar tetap tumbuh dengan indahnya.

"Aku ingin menjaga dan merawatnya, agar tumbuh, berkuntum, dan mekar mewangi lalu mempersembahkannya kepadamu. Hanya kepadamu!"

Indri selalu membaca sajak Ryan itu sebelum tidur malam yang membuatnya jadi tenang dan damai.

"Kamu emang romantis, Cintaku," pikir Indri sambil menyimpan kartu berukuran mini itu pada tempat rahasianya.

"Dua minggu lagi kamu ultah, mau minta kado apa, Cin? pasti kamu enggak mau menjawabnya, 'kan?" Indri tersenyum mengingat kata-kata Ryan: jangan kamu jadi repot karena aku.

Selama bersama Ryan, banyak hal baru yang diketahuinya. Dia tidak menyangka pengetahuan Ryan sedemikian banyak tentang seni, politik, militer dan olahraga, bahkan Ryan menghafal banyak lirik love song tempoe doeloe, apalagi yang sedang hits.

"Ah, jadi kangen ketemu kamu, Cin!" bisik Indri sambil berbaring di ranjang.

"Kasihan cinta kita, ya, Cin! temen-temen pada malam mingguan, kencan, teleponan. Kita? back street, ya! tapi sabar aja, entar kalo udah kelas 3 kita agak nakal dikit, ya! setuju, 'kan?"

--000--

Ryan sedang serius belajar di kamarnya untuk menghadapi ulangan matematika besok. Sudah hampir 1 jam dia berlatih soal-soal di meja belajar ini.

Sekonyong-konyong rasa rindu mendatanginya dan wajah Indri terbayang-bayang.

"Kamu memanggilku, Say?" pikirnya tersenyum sambil melirik jam weker yang menunjukkan 8.45 PM.

Ryan kembali menulis dan menuntaskan soal terakhir di halaman itu. Rindu terasa lagi menyentak hatinya-tak tertahankan.

"Belum terlalu malam. Aku mau meneleponnya." bisiknya sambil mengambil jaket di balik pintu kamar.

"Aku mengaku Winto aja entar, biarlah berbohong daripada enggak bisa tidur," batinnya sembari ke ruang tamu.

"Lo, mau ke mana jam segini, Yan?" Dia berpapasan dengan ibunya.

"Bentar ke depan, Bu. 15 menit-ada perlu."

"Langsung pulang, ya."

"Jelas dong. Pergi dulu, Bu."

Dia meluncur ke telepon umum yang biasa digunakannya. Kurang dari 5 menit dia sudah sampai. Ketepatan tidak orang di sini dan Ryan menghubungi nomor telepon Indri.

"Halo, selamat malam."

"Ya, malam. Dengan siapa ini?" tanya Mbak Jum demgan sopan.

"Saya Winto, Bu. Ketua kelas Indri. Boleh bicara dengan Indri?"

"Oh, ditunggu sebentar, ya."

Mbak Jum tiba di depan kamar Indri dan mengetuk pintu.

"Non, ada telepon."

"Telepon? dari siapa, Mbak?" tanya Indri sambil bangkit dari ranjang.

"Katanya Winto, ketua kelas."

"Winto? Ah! tumben banget?" pikir Indri membuka pintu lalu bergegas ke ruang tamu.

"Ya, ada apa Win?"

"Malam, Say."

"Oh!" Indri terperangah, "kok bisa Cin?" bisiknya pelan.

"Aku kangen banget tadi, enggak tau kenapa. Akhirnya nekat, Say."

Indri tertawa pelan, "Aku senang banget lo, Cin. Kenapa enggak dari dulu kayak gini sih?"

"Karena masih tahan, Say-ini, ampun deh!" Ryan tertawa riang.

"Jadi, gimana nih Cin? apa-"

"Kiss me once, my dear."

"Mmuah. Enough?" Indri menghayatinya seperti nyata.

"Oh, Ryan-ku"

"Enough. Thanks, my dear."

"Are you sure, Cin?" Indri berbinar-binar sambil mengawasi sekitarnya.

Ryan tertawa, "Kamu juga ku-kiss, ya. Mmmmuah!"

"Kok panjang amat muah-nya?"

"Kan kangen berat, jadi semuanya di-kiss."

"Oh, Ryan! Aku jadi pingin ketemu, Cin."

"Besok ya, habis aku ulangan math."

"Oh, ulangan? udah belajar dong."

"Pas lagi belajar, kangennya dateng. Baru kali ini kejadian, Say."

"Semangat, ya, Cin."

"Sudah di-kiss pasti semangat dong."

Indri tertawa gemas.

"Udah dulu, ya, Say-"

"Kok buru-buru sih? aman kok, Cin."

"Janganlah, enggak enak aku sama Bunda. Udah, ya, Sayang."

"Iya, deh. Peluk aku dulu, Cin."

"Nih, kupeluk-mmmuuaaah!" Ryan pun jadi gemas.

"Double, ya, Cin?"

"Tentu dong-biar tahan sampe pagi."

Indri tertawa lagi, "Ya, udah, pulangnya hati-hati, ya, Cin."

"Ya, Sayang. Selamat malam-Daa."

"Daa, Cintaku." Indri tertegun sejenak.

"Kamu bisa merasakannya, Ryan?" pikirnya teringat waktu di kamar tadi berkata: kasihan cinta kita, ya, Cin.

Dengan sumringah Indri kembali ke kamarnya. Dia semakin sayang dan cinta pada Ryan yang barusan memberinya kejutan asmara.

"Winto?-kamu mulai nakal, Cin. 'Kan tadi kubilang, mulai nakal-nya kalo udah kelas 3." Indri tertawa pelan sambil memeluk bantal.

Sementara itu di kamarnya, Ryan sedang menulis di buku notes.

"Luar biasa rindu ini, sampe kamu harus mengecupku, baru tenang. Nilai ujianku besok, untukmu, ya, Say! Doain biar excellent 100, ya! Mmmuuahh."

--000--

Indri memandang ke parkiran motor waktu melewati aula sekolah. Hatinya senang melihat sepeda motor Ryan ada di sana.

"Jam 7 dia udah di sini? siap tempur banget, Cin?!" batinnya senang seraya melangkah cepat menuju ke kelas 2 A1.

Suasana masih terlalu sepi-seperti yang diharapkannya. Waktu bangun pagi tadi, dia feeling kalau Ryan bakal datang lebih awal karena teleponan mereka semalam.

Dua langkah lagi Indri hendak berbelok ke kelas Ryan, tapi di ujung koridor dilihatnya Ryan yang tersenyum melambai dan masuk ke kelasnya.

Indri tertawa pelan, "Awas, kamu Cin!"

Dia tidak jadi berbelok, langsung lurus ke kelasnya sambil celingukan. Pikirannya sedang merancang sesuatu.

Begitu masuk kelas A3, di depannya Ryan berdiri menunggu sambil membentangkan kedua tangan. Indri langsung berlari memeluknya.

"I miss you, Say!" bisik Ryan mesra sambil mengangkat Indri dalam pelukannya.

"So do I. Kamu membuatku bahagia, Cin!"

"Kamu tau yang kuingkan-"

"Aku enggak bisa tidur semalam-"

"Aku juga, kebayang-bayang genitmu itu, Cin."

Mereka tertawa cekikikan dalam bahagia masa remaja-nya.

"Udah ya, Say-nanti dilihat orang-"

"Tenang, Cin. Tadi gerbang sekolah udah kugembok-aman kok."

"Uh! Indri Astuti nih!" ujar Ryan sangat gemas sambil mengecup ubun-ubun Indri. Pelukannya semakin erat.

"Sungguh kamu sayang aku, Ryan?" Indri menatap dengan berjuta rasa.

Ryan tersenyum mengendurkan tangannya. Ditatapnya Indri lekat-lekat.

"Lebih dari yang kamu bayangkan, Sayangku."

Seketika Indri mengecup pipi kiri Ryan. Jawaban itu hampir membuatnya menangis! Terbayang wajah Bunda yang mewanti-wantinya supaya fokus belajar dulu, tapi baginya itu isyarat kalau Bunda kurang bersimpati pada Ryan. Padahal, Ryan bersungguh-sungguh menyayanginya-bahkan lebih.

"Aku ke kelas dulu, ya, Say." Ryan mengejutkan lamunannya.

"Kiss dulu baru boleh pergi-"

Lalu Ryan melakukannya dengan sepenuh hati. Lebih mesra, lebih hangat dari yang pertama dahulu. Indri menghayati dengan sepenuh hati dan jiwanya. Begitu mendalamnya, hingga saat ini dia merasa Ryan sudah berubah. Bukan lagi kekasihnya, tapi sebagai suami-nya!

Benih cinta itu telah tumbuh dengan subur di hati mereka. Batang dan daun mudanya sudah bersemi, sekalipun semak duri ada di sekelilingnya!

"Aku pergi dulu, Say." Ryan memberikan secarik kertas buku notesnya.

Indri tersenyum senang menerimanya.

"Selamat ujian, Cintaku. Sukses, ya!" katanya dengan perasaan sebagai wanita dewasa.

--000--

Hujan siang turun sesaat setelah lonceng pulang sekolah dibunyikan-deras dan ber-angin kencang. Beberapa siswa ada yang nekat menembusnya, menganggap hujan itu sebagai jalan untuk melepaskan kejenuhan belajar.

Di kelasnya, Indri memarahi hujan itu dalam hatinya karena berarti dia tidak bisa puas berjalan bersama Ryan ke gerbang sekolah. Bunda pasti sudah menunggunya di depan lobi sekolah dan dia harus segera ke sana agar Bunda tidak mencurigai-nya. Selama ini kalau pas hujan, dia secepatnya ke sana. Begitu kesepakatannya dengan Bunda dari dulu.

"Waduh, tak bisa berduaan deh," pikir Ryan yang sedang menyelip di antara kerumunan di koridor kelas 2 ini.

Dari jauh, Indri tersenyum senang melihat Ryan yang tengah berjuang.

"Ah, Cin! Kita terus-terusan pingin ketemu, ya!"

"Gimana ulangannya?" Indri tersenyum di antara kerumunan.

Ryan mengangkat jempol kanannya sambil tersenyum, "Yok!"

Dia berlagak cuek mendahului Indri untuk 'membuka' jalan bagi kekasihnya itu, membuat Indri terkesan dan merasa bangga.

"Gayamu, Cin! apa kamu tahan diem terus kayak gitu?" pikir Indri gemas.

Koridor kelas 1 sudah dilewati. Sekarang koridor kelas 3, tapi tunggu-ada Bu Lea di ujung sana.

"Parkiran motor di sebelah sana, Ryan," goda Beliau sambil melirik Indri yang berjalan di belakang Ryan.

"Iya, Bu. Mau ke perpus sebentar," sahut Ryan sedikit grogi.

"Indri ikut juga?"

Berlagak kaget, Ryan menoleh ke belakang.

"Mau ke mana, In?"

"Pulang. Kamu?" Indri mengambil sesuatu dari saku bajunya saat dia terhalang oleh siswi yang lewat.

"Ke perpus." Ryan langsung menoleh ke sebelah kirinya. Bu Lea sedang tersenyum curiga.

"Mari, Bu-yok, Ryan!" ujar Indri berjalan agak merapat ke Ryan. Tangannya memberi sesuatu yang langsung digenggam Ryan dengan cepat.

"Saya ke perpus dulu, ya, Bu." ujar Ryan permisi.

"Ya, lanjutlah." Beliau tersenyum, "kalian lupa aku ini Psikolog," pikirnya geli.

Ryan membiarkan Indri terus ke lobi, sedangkan dirinya harus ke perpustakaan, seperti jawabnya pada Bu Lea tadi.

Hujan semakin deras waktu Ryan membuka pintu perpustakaan. Dia langsung menuju ke rak buku humaniora, mengambil sembarang buku lalu ke meja baca. Dibukanya bagian halaman depan buku dan diletakkannya kertas dari genggaman tangan kanannya. Dengan cepat dibukanya lipatan kertas itu, lalu tersenyum dengan senangnya.

"Hari ini aku super bahagia, Cin. Kejutanmu tadi membuatku semakin sayang padamu." Forever yours, IA.

"Oh, Indri. Kalau aja boleh, aku mau kamu jadi istriku sekarang juga." batin Ryan tak mampu membendung gelora cinta yang melandanya.

--000--

Dedi-Ketua Kelas 2 A1-membawa segepok kertas hasil ulangan Matematika sambil berlari kecil melewati kantin pada jam istirahat pertama ini.

"Matematika!" serunya memberi sekilas info kepada teman sekelasnya di kantin.

Lihat selengkapnya