Kedatangan Ryan membuat Indri bahagia tak terkira! Walaupun ini bukan kedatangan yang pertama, namun karena inisiatifnya dari Ayah, jadinya sangat spesial.
Mereka sedang menikmati senja di teras yang asri, bercerita tentang keluarga masing-masing, termasuk kisah masa kecil. Indri semakin terkesan begitu mengetahui bahwa Ryan dididik dengan disiplin tinggi oleh kedua orangtuanya.
"Sudah lama, Ryan?" Suara Ayah mengejutkan mereka dari ruang tamu.
"Selamat sore, Om," Ryan menoleh pada Ayah yang berdiri di samping Indri, "sekitar lima belas menit, Om."
"Oh-jidatnya kok memar begitu?" tanya Ayah heran.
"Waduh, perhatian banget Ayah ini," batin Ryan kikuk.
"Biasa, Yah, anak cowok-" Indri melirik Ryan.
"Habis berantem?" Ayah penasaran. Beliau duduk persis di depan Ryan.
"Tadi di sekolah ada yang menggangguku, Yah!" Indri menyela cepat.
"Ada yang berani mengganggu putrinya pak Fajar?" Ayah mendelik.
"Duh, sangarnya!"
"Bercandanya keterlaluan, Yah," ujar Indri kesal.
"Jadi kamu sikat dia, Ryan?" tanya Ayah bersemangat.
Ryan tertawa pelan, jadi malu.
"Enggak, Om. Cuma saya piting aja."
Sontak Ayah tertawa, "Serius?"
"Untung enggak nyampe ke guru, Yah." Lalu Indri menceritakan kejadian yang dilihatnya di lapangan volley tadi pagi.
"Udah-lah, Say. Jadi malu aku," pikir Ryan memandang Indri.
"Kalo pacar kita pemberani, rasanya bangga banget lo?!" Ayah memandang ke arah jalan.
"Masa sih, Yah?" Indri menahan tawa.
"Kalo kamu enggak percaya, tanya aja sana sama Bunda," sambung Ayah pelan. Dipandangnya Ryan sambil berpikir.
"Bagus, Ryan. Kamu jaga putriku ini baik-baik, ya. Dia kesayangan-ku."
Indri tertawa manja, dengan gemas, dipukulnya bahu Ayah berkali-kali.
"Emang Ayah dulu begitu?"
"Jangan Ayah yang cerita, Ndri! Oya, pembagian rapor minggu ini, 'kan, Ryan?"
"Ya, Om. Hari Sabtu ini."
"Siapa yang ke sekolah? Bapak atau Ibu kamu?" Ayah memandang dengan ramah.
"Ibu, Om. Biasanya begitu."
"Maksud pertanyaannya-" Ryan agak bingung.
"Nanti kamu kenalkan Indri sama Ibu kamu, bisa?"
"Ih, Ayah. Masa harus gitu?
"Kalau kalian serius, ya harus begitu memang. Lebih cepat kenalan, lebih bagus."
"Bisa, Om." Ryan menyahut dengan hormat.
"Oke, Om tinggal dulu, ya! nanti ajak makan dulu sebelum pulang-"
"Maaf, Om! entar saya makan di rumah aja."
"Enggak apa-apa, Ryan. Jangan sungkan-sungkan."
"Tapi-Bunda?"
"Maaf, banget, Om," balas Ryan sedikit membungkuk, "lain kali aja-"
"Ya, sudah. Om bukan maksa, cuma menawarkan, Ryan," ujar Ayah seraya melangkah ke dalam rumah.
"Maaf, ya, Om." Ryan jadi salah tingkah. Dia khawatir Ayah jadi tersinggung.
"Kenapa menolak, Cin? Kamu takut sama Bunda? 'kan ada Ayah sama aku-"
"Susah aku menjelaskannya, In. Sorry, ya," sahut Ryan serius
Indri tidak tega mendesaknya lagi. Dalam hatinya timbul kerisauan yang semakin menjadi-jadi. Dia khawatir, sikap Bunda akan membuat Ryan pergi meninggalkannya, padahal dia sungguh yakin bahwa Ryan sangat mencintainya.
Tak lama kemudian, Ryan pamit untuk pulang. Hanya Ayah yang keluar dari kamar, sedangkan Bunda, tidak.
"Bunda lagi tidur. Hati-hati di jalan, Nak," ujar Ayah dengan ramah.
Lalu, Indri mengantar Ryan ke gerbang. Dia bertekad untuk menanyakan Bunda tentang alasannya tidak menyukai Ryan.
"Mana mungkin begini terus," batin Indri saat melambaikan tangan kepada Ryan.
--000--
Sebenarnya, Bunda sudah lama ingin berbincang dengan Indri soal hubungannya dengan Ryan. Bagaimanapun, Beliau ingin tahu seperti apa kisah yang tengah dijalani putri bungsunya itu agar bisa memberi advis demi kebaikan Indri. Memang selama ini, tak satu pun dari ketiga putrinya yang pernah bercerita tentang perasaan mereka terhadap cowok, tapi bukan berarti Beliau tidak bisa diajak berdiskusi soal hati. Kadang Bunda bingung memikirkannya, apa mereka sengaja merahasiakannya atau hati mereka yang belum mengalaminya.
Menjelang makan malam, Bunda naik ke kamar Indri. Rasa bersalah karena tidak mau menerima pamitan Ryan tadi, membuatnya gelisah. Kalau Indri tahu, bisa repot jadinya.
"Kamu jadi pendiam akhir-akhir ini. Ada apa sebenarnya?" Bunda mendekati Indri yang sedang membaca majalah remaja.
Indri menurunkan majalah sambil beringsut memberi tempat untuk Bunda di ranjang ini.
"Lagi kecewa sama Bunda aja-"
"Lo, Bunda bikin apa, Ndri?" tanya Bunda dengan lembut. Anak bungsunya ini memang to the point orangnya.
"Aku bukan anak kecil lagi, Bun. Aku tau yang kulakukan, aku bisa menjaga diri-harusnya Bunda mau ngerti dikit."
"Oh, menyangkut Ryan berarti."
"Aku sering pusing mikirin, salahnya Ryan itu apa di mata Bunda. Dia tau Bunda enggak senang sama dia lo? kasihan. Kalo udah ada Bunda, dia jadi menghindar, kayak takut-lagian, pandangan Bunda sama Ayah kok bisa beda sih? Ayah baik sama dia, malah suka bercanda. Bunda?"
Bunda tersenyum mengakui benarnya ucapan Indri. Kalau berterus terang, apa Indri bisa menerima sikapnya? Beliau masih trauma akan cara Indri memprotes tindakannya waktu itu.
"Ryan itu baik dan sayang sama aku. Tadi aja dia berantem di sekolah karena belain aku-"
"Berantem karena kamu? aduh, Ndri!"
"Padahal lawannya itu preman kelas 2 lo, Bun. Kesetanan tadi dia menghajar cowok itu, kalo enggak kutahan? bisa jadi kerupuk-"
"Ah, yang bener kamu!" Bunda tertawa pelan. Ada yang berubah pada putrinya ini.