SAPUTANGAN TANDA CINTA

KH_Marpa
Chapter #17

"Melati di Bis Malam"

Kerumunan mahasiswa/i terlihat berdesak-desakan di depan papan pengumuman KKN 1992 yang terpajang di Biro Rektor Universitas J. Tingkah mereka laksana sedang membaca pengumuman kelulusan, padahal itu hanyalah informasi tentang penetapan lokasi bagi peserta KKN.

Ryan tidak perlu berlama-lama mencari namanya di papan pengumuman itu karena tadi Zul-teman se-angkatannya-sudah memberinya petunjuk: papan ke tiga, kolom ke lima, kertas ke tujuh. Ketepatan lokasi mereka di kecamatan yang sama-beda desa.

"Oke, 4 cowok, 3 cewek-hmm, Paula anak FK," Ryan membaca kertas ke tujuh-Kabupaten Tap, Kecamatan Sip, Desa Turi-sambil merokok.

"Senior, Coy!" Dia tertawa pelan begitu membaca tahun angkatan teman-teman se-poskonya itu. (Terlambat setahun mengikuti KKN, bukan hal yang aneh bagi mahasiswa fakultas teknik).

Dari semua nama di daftar lokasinya itu, hanya nama Paula yang membuatnya penasaran.

"Sukak aku sama namanya ini, anak Kedokteran pulak lagi. Pastilah dia jadi rebutan nanti!" Ryan coba membayangkan tampang teman-teman cowoknya berdasarkan nama-nama itu.

"Bakal seru ini," lanjutnya seraya bergegas meninggalkan tempat itu. Dia mau istirahat dulu di rumah karena nanti jam 7 malam dia akan pulang ke Kota We naik bis PATAS AC.

--000--

"Jadi, kira-kira kapan kamu tamat, Yan?"tanya Bu Har yang sedang menghitung perkiraan biaya sekolah ketiga anaknya.

"Susah menjawabnya, Bu. Kuliah di tempatku itu agak sulit diprediksi. Enggak kayak SMA, belajar yang rajin, bisa pas ujian, hasilnya pasti lulus." Ryan mulai terpikir akan biaya sekolah mereka bertiga-lumayan besar.

"Soalnya tahun depan Bapak pensiun, terus dua tahunnya lagi Ibu."

"Aku usahakan cepat, ya, Bu. Terus kemungkinan besar aku bisa nyari duit sendiri, mengajar di bimbingan study, Bu-"

"Jangan sampai mengganggu kuliahmu, Yan. Menamatkan kuliah yang harus diprioritaskan," ujar Bapak dengan tegas.

"Ya, Pak. Aku usahakan."

Topik pembicaraan di meja makan pagi ini tampaknya begitu penting, sampai Ibu langsung membahasnya begitu Ryan tiba di rumah.

"Aku istirahat dulu, ya, Bu. Ngantuk banget," ujar Ryan yang sedang menahan diri untuk tidak merokok. Dia memang tidak pernah merokok di rumah demi menghormati kedua orang tua yang masih membiayai kebutuhannya.

Sesampainya di kamar, Ryan langsung tergeletak di ranjang. Tubuhnya jadi begitu letih setelah mendengar pertanyaan Ibu tadi.

"Kapan tamat? Duh, Bu. Bisa tamat aja entar udah syukur banget," batinnya risau, mengingat betapa idealisnya dia dalam mengikuti setiap ujian di kampus.

Tak satu pun nilai ujiannya yang 'tercemar' oleh uang sogokan. Biarpun masih ada 2 mata kuliah yang belum lulus karena harus menyogok, dia tetap tak terpengaruh mengikuti arus di kampusnya, akan dicobanya sekali lagi untuk ujian secara bersih dan jujur atau kedua mata kuliah itu dibiarkannya tetap nilai D sampai dia tamat!

--000--

Melati nyaris berteriak memanggil Ryan yang berjalan sendirian di koridor pertokoan utama Kota We. Dia sedang bersama ibunya di toko mas itu.

"Ryan Paul," panggilnya lengkap saat berhasil menyusul sambil berlari kecil.

Ryan berhenti dan menoleh dengan cepat.

"Hei, Melati! apa kabar? kapan datang dari Mihr?" Ryan tertawa senang.

"Baik, Yan! Aku udah 3 hari di sini. Duh, kamu kok jadi seniman begini sih?" Melati tersenyum. Hatinya senang bertemu kembali dengan teman 'pencuri hatinya' waktu di SMA.

"Biasalah, lagi pingin. Kamu makin cantik, Ti." Ryan tertawa menyembunyikan pujian jujur-nya.

"Emang kalo makin cantik kenapa? oya, masih sama Indri, 'kan? gimana kabarnya dia?"

"Sejak dia married aku enggak tahu lagi kabarnya, Ti. Dia di Blard." Wajah Ryan berubah seketika.

"Oh! married sama siapa?" Melati kaget bercampur senang, "masih ada harapan kalo gitu."

"Katanya sama insinyur. Biarlah, asalkan dia happy," suara Ryan melemah, "eh, pacarmu siapa sekarang, Ti?"

Melati sontak tertawa. Dia geli melihat kegugupan Ryan menanyakannya.

"Pacar yang mana dulu, Yan? yang di Mihr atau yang di We?" Melati mendelik lucu.

"Ampun, Ti! enggak usah disebutin lah-" tolak Ryan malu.

"Melati-"

"Ya, Ma-sebentar," Melati menoleh pada Mama-nya, "yuk, kenalan sama Mama-ku, Yan."

Dengan ragu Ryan mengikuti Melati. Dalam pikirannya terbayang wajah Bunda-nya Indri.

"Ma, ini teman SMA ku dulu," suara Melati ceria banget.

"Ryan Paul, Tante." Ryan menyalam dengan hormat.

"Oh, ya? kuliah di mana sekarang, Nak?" Mama tersenyum ramah.

"Di J-"

"Sama-sama di J, Ma! Ryan di teknik mesin."

"Oh, baguslah. Kalian pernah ketemuan di Mihr?"

"Enggak, Tante. Melati-nya sibuk belajar terus." Ryan mengerling Melati.

Mama dan Melati tertawa.

"Anak ini sopan, tapi rambutnya kok kayak gitu sih?" Mama menilai Ryan.

"Udah dulu, ya, Nak. Kami ada urusan lagi."

"Baik, Tante. Makasih-"

"Main ke rumah lah, Yan. Masih ingat rumahku yang dulu, 'kan?" Melati tersenyum manis, "dateng dong, Yan. Indri 'kan udah enggak ada."

"Mmh, ya, masih ingat." Ryan menjawab sekenanya sembari menemani Melati ke mobil.

"Kapan mau pulang ke Mihr, Yan?"

Lihat selengkapnya