SAPUTANGAN TANDA CINTA

KH_Marpa
Chapter #10

"Izin dari Bunda"

SMA Patriot, Kota We, Semester 6, 1988.

Kisah cinta mereka sudah tertulis selama 11 bulan. Isinya didominasi oleh kebersamaan mereka di sekolah yang kerap kali membuat teman-teman iri karena mereka berhasil membuktikan bahwa cinta bisa meningkatkan prestasi belajar.

Indri yang paling merasakannya. Sejak bersama Ryan, semangat belajarnya terpacu untuk menjadi yang terbaik-seperti Ryan. Dari ranking 11, dia berhasil mencapai ranking 6 di kelas 3 A3. Pencapaian yang istimewa ini membuat Ayahnya bangga bukan kepalang-terlebih lagi Ryan. Ironisnya, bagi Bunda itu hal yang biasa saja.

Meskipun prestasi belajar mereka meningkat, tetapi Ryan masih konsisten menjaga perasaan Bunda. Dia tetap tahu diri dan belum mau bermalam minggu bersama Indri selain via telepon. Pernah suatu ketika Indri sangat mengharapkan kedatangannya, tetapi Ryan menolak dengan berkata: aku tak mau membuat Bunda gelisah di rumahnya sendiri. Biarlah kita begini aja, yang penting cinta kita terus tumbuh dengan indahnya.

--000--

Pengumuman jadwal pelajaran tambahan untuk kelas 3, baru saja dipasang oleh staf tata usaha sekolah. Ini program baru untuk mempersiapkan siswa kelas 3 dalam menghadapi ujian Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Mapel difokuskan sesuai dengan jurusan masing-masing, durasi 1.5 per Mapel; setiap hari Senin-Rabu; dari jam 3.00-4.30 sore.

Sekonyong-konyong, ide brilian 'mendatangi' Indri yang tengah membaca pengumuman bersama Mila.

"Kesempatan untuk bermesraan dengan Cinta, nih." pikirnya senang.

"Kenapa senyam-senyum?" Mila menyenggol tangannya.

"Ada deh! cakep pasti"

"Apa yang cakep? Kukasih tau sama Ryan entar-"

"Emang ada yang lebih cakep dari Ryan? sembarangan kamu, La!"

Mereka tertawa dan tidak menyadari kalau Ryan sudah ada di belakang mereka.

"Jawab dong, La. Emang ada?"

Mereka menoleh ke belakang-masih tertawa.

"Enggak tau, tanya Indri deh-"

"Enggak ada dong! cintanya akuu."

Mila mencibir dengan lucunya sambil menarik tangan Indri.

"Ya, deh. Ayok pulang. Entar jadi film india pula."

Indri tertawa mengikuti Mila. "Entar, ya, Cin." bisiknya pelan.

Ryan mengedipkan mata sambil tersenyum-tanda mengerti-lalu dia membaca pengumuman itu.

"Hmm. Kalo Sayang pingin, aku berani minta izin sama Ayah," pikirnya meninggalkan tempat itu.

--000--

Senioritas tidak mengubah kegemaran warga kelas 3 A1. Jam kosong selama 30 menit menjelang pulang, mereka manfaatkan dengan ber-panco ria. Dedi sudah mengamankan kelas. Pintu dan 3 jendela swing-bagian belakang-sudah ditutup untuk meredam kehebohan warga kelas.

Ryan dan Wilson akan bertanding untuk pembuktian 'Benarkah pacaran bisa menambah tenaga?'.

Set yang melontarkan ide itu, setelah tadi terjadi perdebatan alot-di grup 'Bangku Belakang'- tentang perlu tidak-nya berpacaran. Ternyata banyak yang mendukung lalu Ryan didapuk sebagai perwakilan grup Couple (C) dan Wilson dari grup Still Alone (SA).

Sebelumnya, skor kemenangan adalah milik Wilson. Dia unggul 7-4 atas Ryan-sejak dari kelas 2-tapi bukan dalam rangka pembuktian apa pun, hanya sekadar latihan.

Peraturan pertandingan lokal ini ditentukan oleh Set, poin tambahan dari peraturan yang biasanya hanyalah: siapa yang beranjak dari kursinya, kalah!

"Ready?-" Set memberi aba-aba, "go!"

Wilson langsung menggebrak diiringi tepuk tangan supporter SA. Dengan sekuat tenaga, Ryan bertahan. Pergelangan tangannya masih bisa lurus walaupun lawan sudah membuat lengannya miring. Tiba-tiba, sorakan supporter C membuatnya bertenaga. Ryan balas menekan dengan sentakan dari napas perutnya. Wilson tampak kewalahan! Ryan menekan semakin kuat hingga urat tangannya menyembul. Tanpa ampun, dia berteriak melepaskan semua tenaganya hingga Wilson terangkat dari bangku dan kalah! Supporter C bertepuk tangan.

"Ternyata pacaran bisa menambah tenaga!" ujar Set sambil terkekeh-kekeh.

--000--

Sejak kelas 3-saat jam pulang sekolah-Ryan dan Indri selalu saling menunggu di bangku beton di depan kelasnya masing-masing. Dari situ, mereka berdampingan ke gerbang sekolah dan berpisah setelah Ryan menyapa Bunda yang menunggu di mobil. Beliau selalu membalas sapaan Ryan, tapi tanpa ekspresi.

"Aku pingin bareng kamu les tambahan minggu depan, Cin." Indri memandang mesra.

"Oya? senang banget aku! entar biar aku yang minta izin Ayah, kamu membujuk Bunda aja." Ryan berseri-seri.

Indri tertawa senang.

"Izin Ayah aja udah cukup kok-"

"Enggak, Bunda juga dong."

"Entar ditolak, Cin-"

"Kalo gitu, biar aku aja yang bujuk-"

Indri menepuk dengan manja.

"Berani?"

"Berani aja, Say. Sebenarnya aku enggak takut sama Bunda-cuma menghormati aja."

"Sabar, ya, Cin. Moga aja entar berubah."

"Kayaknya enggak, Sayangku!" batin Ryan sambil menatap Indri.

"Tapi kamu jangan berubah, ya?"

Indri berhenti melangkah. Hatinya jadi tersinggung.

"Jangan bilang begitu lagi, Cin-"

"Aduh! Sorry banget, Say!"

"Kalo enggak, besok kita kawin lari aja biar kamu-"

"Ngapain mereka itu?" Bunda memandang curiga dari mobil.

"Sayang, sorry, aku salah-" Ryan memegang lengan Indri sejenak. Dia menyesal berkata demikian, namun kaget akan kenekatan Indri.

"Aku hanya takut tadi, Say. Entah kenapa, tiba-tiba kepikiran."

"Kamu kira aku enggak takut juga? enggak mungkin aku ninggalin kamu, Cin." bisik Indri dengan sendu.

"Bisa mati aku, Ryan!"

"Tau, Sayangku. Maafin, ya?"

"Mmh. Janji tapi, ya!"

"Janji-selamanya, Indri sayang."

Ryan tersenyum lega menyaksikan Indri kembali bersinar sebelum mereka sampai ke mobil.

"Duluan, Cin," bisik Indri tersenyum.

"Selamat siang, Tante."

"Siang," sahut Bunda datar tanpa menoleh.

Lihat selengkapnya