SAPUTANGAN TANDA CINTA

KH_Marpa
Chapter #8

"Great Seventeen Bersama Indri "

Saking senangnya, Indri mengecup pipi Ayah-Bunda memandang risau. Permintaannya agar diizinkan keluar jalan-jalan bersama Ryan sore ini, barusan dikabulkan Ayah dengan satu syarat: harus Ryan yang meminta izinnya, bukan Indri.

Sambil berseri-seri, Indri mengejar dering telepon. Dia yakin itu dari Ryan.

"Halo selamat sore-"

"Bener, 'kan?" Indri tersenyum gembira.

"Cin, kamu dateng sekarang, ya! Bawa dua helm, ada 'kan?"

Sedetik Ryan terdiam. Sahutan Indri membingungkannya.

"Bawa dua helm?-"

"Iya, kita jalan-jalan sore, mau, 'kan?"

"Of course, Say! tapi-"

"Udah! cepat aja ke sini, Cin. Hati-hati, ya!"

"Oke. Tunggu, ya! daaa!" Ryan memutuskan hubungan telepon, tertegun sejenak lalu pulang ke rumah.

"Apa Bunda sudah melunak karena pertemuan di sekolah tadi?" pikirnya sembari menambah kecepatan sepeda motor. Dia tak sabar lagi mau sampai di rumah untuk berganti 'kostum'.

Di kamarnya, Indri sedang bercermin. Setelan T-Shirt dan jeans warna navy blue membuat kulit putih bersihnya bersinar-kontras.

"Waw! akhirnya, Cin-" bisiknya senang tak terkira.

Sementara di kamarnya, Ryan lagi sibuk mencari plastik asoy yang biasa digunakannya untuk memakai celana pensil-kuncup 10 cm itu.

"Uh, jauh banget ke sini" pikirnya sambil meraih ke kolong ranjang.

Tak lama kemudian, dia tersenyum di depan cermin itu saat memandang setelan T-Shirt warna kuning gading-hadiah ulang tahun dari Indri-dan jeans pensil warna navy blue yang dipakainya.

"I am yours, forever and ever," batinnya bangga lalu keluar kamar dengan sumringah.

"Lo, keren amat, Yan? mau ke mana?" tanya Bapaknya yang sedang membaca koran di teras.

"Ke tempat kawan. Pergi dulu, ya, Pak."

"Lagi ulang tahun kok malah keluar rumah?" Bu Har datang menghampirinya, "bawa helm buat siapa, Yan?" sambung Beliau sambil tersenyum.

"Teman, Bu. Kami mau jalan-jalan-"

"Cowok apa cewek?"

"Aduh! emangnya kenapa kalo cewek, Bu? enggak boleh?"

"Ada cowok, ada cewek. Pergi dulu, ya, Bu."

"Hati-hati, jangan kemalaman pulangnya."

Ryan tertawa dan berlalu.

"Anakmu udah dewasa, Bu. Tenang aja." batinnya yakin. Dia menyetir lebih cepat dari yang biasanya, di antara angin sore yang bernyanyi untuk dirinya.

--000--

"Izin, Om. Boleh saya bawa Indri jalan-jalan sebentar?" tanya Ryan dengan suara mantap sambil berdiri di samping Indri yang dari tadi sibuk memuji penampilannya.

"Memang gentlemen anak ini! kalimatnya itu 'saya', bukan 'kami'!" pikir pak Fajar yang sedang bersantai di ruang tamu bersama Bunda.

"Mau jalan ke mana kalian?" Pak Fajar menatap Ryan lekat-lekat.

"Aduh. Mau ke mana, ya? Indri setuju enggak sih?"

"Ke mana pun aku mau, Cin! jawab aja."

"Mau makan di Bakso Langgeng. Boleh, Om?" Ryan tersenyum berharap.

"Apa enggak ada tempat yang lebih berkelas?" Bunda memandang Indri.

"Yang di jalan Pati?"

"Ya, Om. Kalau diizinkan."

"Mau berapa lama di sana, Ryan?"

"Satu jam-sampai di rumah, Om."

"Cepat banget, Cin? Kita 'kan udah libur-dua jam kek."

"Baik, pergilah. Hati-hati, ya, Ryan."

"Makasih, Om, Tante-Izin kami pergi dulu."

Bunda mengangguk setengah terpaksa.

"Ayo, Say!" bisik Ryan pelan mengajak Indri.

"Ryan-"

"Ya, Om?"

"Namanya Indri, bukan say, ya!"

"Ih, Ayah ini! kasihan Cintaku ini, Yah!"

Bunda tersenyum geli, apalagi teringat cerita Indri yang kemarin.

"Aduh! kedengaran rupanya." Wajah Ryan seketika merona.

"Maaf, Om. Itu panggilan khusus VVIP."

Sontak pak Fajar terbahak-bahak. Tak disangkanya Ryan berani menjawab seperti itu.

"Ya, sudah. Lain kali jangan sampai kedengaran-lah."

"Ngegemesin kamu, Cin!" pikir Indri ikutan tertawa.

"Siap, Om!" Ryan tersipu malu. Dia sendiri heran akan jawaban nekatnya tadi.

"Pergi dulu, Bun, Ayah!" ujar Indri mempersingkat waktu.

Setelah keduanya di luar, Pak Fajar memandang istrinya dengan wajah ceria.

Lihat selengkapnya