Sejak menjadi nyonya Uhr, Indri pindah dari tempat kos ke rumah kontrakan 2 kamar-masih dekat kampus-demi menyelesaikan kuliahnya. Status menikah, tidak menyurutkan cita-citanya untuk menjadi Psikolog.
Setiap weekend, Uhr datang ke Blard-3 jam lamanya berkendaraan dari Jar-untuk bersama Indri dan keluarga besarnya. Sesekali Indri yang datang ke Jar naik kereta, sekalian berkunjung ke tempat kakak kembarnya-mbak Santi dan mbak Yanti.
Sebenarnya Uhr lebih senang jika Indri mau tinggal di rumah keluarganya, namun Indri bersikeras ingin mandiri, ditemani Rani-adik sepupunya dari pihak Ayah.
Ketika menikah dengan Uhr, Indri mengira akan dapat dengan mudah melupakan Ryan dari hidupnya, apalagi dia membayangkan Ryan sudah happy bersama pacar barunya.
Kenyataannya tidak. Bayangan Ryan mau datang dalam mimpinya-memandangnya tanpa ekspresi lalu pergi. Setiap dia mimpi bertemu Ryan, dalam hatinya timbul rasa bersalah karena melihat wajah sendu Ryan-terdiam memegang saputangan yang diberikannya dahulu.
Meskipun demikian, Indri tidak mau memikirkannya dan dia sudah memusnahkan semua surat, puisi, dan foto Ryan, kecuali cincin perak yang di jari manisnya itu. Cincin itu mengingatkannya sekaligus, pada almarhum Ayah dan Ryan-yang menangis-waktu di lapangan terbang Kota We!
--000--
"Pangkaslah rambutmu itu, Yan. Biar nampak gantengmu," seloroh Ann di tempat penyetrikaan sore itu.
"Biar ajalah kek gini, An!"
"Takut cewek dibuatnya kalo kek gitu. Mana tau orang kau anak teknik, bandit-nya dipikir orang." Ann tersenyum-menyindir.
"Sibuk kali lah kau ini!"
Ryan tertawa pelan demi menghargai 'kebaikan' Ann yang tanpa dimintanya, mau mencucikan 3 potong celana jinnya-entah sudah berapa lama ditelantarkannya-di tempat cuci jemur sana. Tadi dia kaget melihatnya waktu baru pulang ke kos.
"Kenapa kau cuci, Ann?" tanya Ryan tadi, antara senang dan suka.
"Yang tak boleh-nya? jadi habis ember kita ini dibuatnya. Kau pun, kalo tak yakin bisa kau cuci, janganlah pulak-nya kau rendam kek gini, Yan. Terganggu orang lain dibuatnya," sahut Ann sambil menjemur celana jin Ryan yang ke tiga.
Ryan terdiam-jadi malu.
"Makasih lah, An! janganlah sering-sering kek gitu. Tersinggung 'peranakan' awak jadinya!"
"Cemanalah, Yan. Sukak kali aku sama kau." Ann tertawa di bawah jemuran. Rambutnya yang melewati bahu terbang dimainkan angin siang hari.
Ryan menunggu sampai Ann selesai menjemur pakaian lalu mengikutinya ke tempat penyetrikaan.
"Kau pun takut juga sama aku?" tanya Ryan datar.
"Nggaklah, aku 'kan tau kau siapa." Ann berharap pembicaraan jadi panjang.
"Tau? yakin kali kau tau aku? cuma Indri yang tau siapa aku!" Ryan meninggalkan Ann, bergegas menuju ke kamarnya tanpa memandang Ann.
"Ah, pigi (pergi) pulak kau, Yan! cerita lah kita dulu. Kek mana nya?" Ann kecewa (lagi).
Ryan mengabaikan Ann, dia mengantuk sekali karena sejak dua hari yang lalu asyik bermain kartu remi di tempat kos teman kuliahnya.
Dia berubah drastis setelah ditinggal Indri. Kalau dahulu dia di kamarnya setiap malam minggu-membaca surat, menulis surat dan membayangkan Indri-sekarang dia petualang. Nomaden dari satu kamar kos ke kamar kos temannya untuk bermain judi! Awalnya hanya iseng untuk menghibur diri, namun keberuntungan sering berpihak padanya-sering menang-dan membuatnya jadi pecandu judi bernyali tinggi!
--000--
Selama satu tempat kos dengan Ryan-hampir 2 tahun-Ann belum pernah melihat isi kamar Ryan dan Kloe. Memang kakek Ryan membuat peraturan yang ketat menyangkut kesusilaan, tapi kalau sekadar berdiri di pintu saat berkunjung, masih diperbolehkan.
Ann pernah pacaran waktu di SMA, tapi hanya beberapa bulan saja. Mereka putus karena merasa banyak ketidakcocokan yang membuat keduanya jadi susah.
Sekarang, dia semakin tertarik pada Ryan-anak teknik mesin yang tak menunjukkan minat pada cewek! Menyapa teman se-kos-nya pun Ryan sangat jarang, apalagi mengobrol berduaan-tak pernah. Kalau kebetulan anak-anak kos di sini lagi berkumpul di teras depan-biasanya habis makan malam dari kantin-Ryan tak pernah mau bergabung. Paling hanya menyapa mereka lalu ngeloyor ke kamarnya. Biarpun begitu, mereka tak ada yang 'keberatan' karena Ryan adalah cucu pemilik kos-kosan ini.
Malam ini di kamarnya Ann teringat akan surat yang dibacanya secara curi-curi dahulu.
"Keknya dah putus orang itu dua, dah jarang pak Pos ke tempat kami ini. Dia pun makin semak (berantakan tak terurus) kutengok, melalak (keluar rumah) aja terus. Entah kuliah entah nggak dia itu. Kasihan aku sama dia lah." Ann terharu memikirkan Ryan.
"Panjang kali lah angan-anganmu, Na!" sergah Uli-teman sekamar, mahasiswi Fakultas Hukum-yang berbaring di ranjang.
Ann tertawa biarpun terkejut.
"Nggak, cuma mikirin si Ryan itu nya. Suntuk aku lihat dia itu."
"Kok jadi suntuk pulak kau?"
"Cok kau tengok-dah macam reman (preman) pajak (pasar) dia sekarang, 'kan?"
"Ah! biasanya anak teknik kek gitu, Na. Sok seniman, tapi kuliah di teknik. Masuk sastra kian (tadinya) harusnya-" Uli memonyongkan bibirnya-lucu.
"Bukan soal panjang rambut, Li. Kau lihatlah mukanya itu sekarang, dah macam lilin kena hembus angin-" Ann menepuk-nepuk meja belajarnya.
Uli terbahak lalu beranjak ke ujung ranjang Ann.
"Yang suka-nya kau sama dia?" Uli menahan senyum.
"Nggak suka, cuma cinta aja nya!" Ann bergaya centil.
Mereka terkekeh-kekeh di kamar itu, sampai lupa kalau jam buka kantin hampir sampai.
"Alamak! 10 menit lagi, An. Ayok lah!" seru Uli sambil mengambil termos air panas.
Mereka bergegas ke kantin depan menjelang jam 8 malam ini. Begitu masuk ke kantin, Uli menyikut Ann sambil tersenyum.
"Betul kau bilang, dah macam tukang parkir kutengok dia-"
"Asal aja kau ini, macam reman-nya tadi kubilang!"
Mereka tertawa cukup keras, membuat Ryan yang sedang makan jadi mendongak sambil mengunyah pelan-pelan.
"Boleh kami di sini, Yan?" Uli memberanikan diri. Ann sedang mengambil makanan.
"Boleh aja, tapi meja lain kan kosong itu, Li." Ryan memandang agak sinis.
"Aduh! sok kali lah yang 'sebiji' ini." Uli nyaris 'mati kamus'.
"Di mana Li?" Ann memandang dengan ragu sambil membawa makanannya.
"Sini aja, An. Biar selera kita makan-" sahut Uli tanpa beban.
Ryan tertawa mendengarnya.
"Cepatlah, An. Pas ketawak si Ryan ini-"
Ann bergegas lalu menepuk lengan Uli.
"Sana, cepat ambil punyamu."
"Ngapain pula orang dua ini ke sini." Ryan menunduk, selera makannya mendadak terganggu.
"Nompang ya, Yan." Ann merasa Ryan jadi terganggu.
"Numpang? sopan kali kau, An?" hati Ryan jadi melunak, "jahat kali aku. Orang ini kan anak kos kakek? aduh! sorry lah, ya."
"Pelan-pelan aja makannya, Yan. Kami masih lama kok di sini," ujar Ann dengan yakinnya.
Ryan tertawa sambil menatap Ann yang sedang tersenyum membalas tatapannya.
"Indri-" batinnya pelan. Selama di Mihr belum pernah dia menatap perempuan seperti yang barusan. Belum pernah dia berduaan seperti ini, kebanyakan dari orang itu menjauh seperti ketakutan.
"Kemana aja selama ini, jarang kutengok di rumah, Yan?" Indri menyendok makanannya.
"Tempat kawan."
"Tidur di sana?"
"Sekali-sekali."
"Berangkat kuliah dari sana berarti-"
"Lebih sering nitip absen."
Ann terdiam. Sendoknya menggantung di depan mulut.
"Kurangilah yang kek gitu, kalo kakek tau, pasti susah dia,"
Deg! Pikiran Ryan tersentak, 'pintu'nya terbuka sedikit.
"Kemana pulak si Uli tadi?" bisik Ann mulai grogi.
"Di sana dia makan-"
Ann menoleh ke belakang dan tertawa.
"Kok di situ kau?"
"Ditahan Mbak Neng ini, An!" Uli di meja pertama-dekat pintu-bersama Mbak Neng-Pengelola kantin.
"Sini aja lah. Cemana-nya?" ajak Ann yang makin grogi.
"Tengoklah, dibilang Mbak ini: di sini aja, lagi main cewek orang itu."