Demi menghibur Indri yang masih dalam suasana berkabung, Ryan rela menyesuaikan dirinya dengan keinginan Indri. Sekarang, dia mau memberikan apa yang diharapkan Indri daripadanya: bertelepon berjam-jam, chatting ratusan line dan video call berkali-kali dalam sehari. Entah kenapa, Ryan mengizinkan Indri 'menguasai'nya, selama hal itu membuat Indri senang dan terhibur.
Pada minggu ke dua masa berkabungnya, Indri sudah pulih dari kesedihannya. Dia tidak lagi bersedih-apalagi menangis-bila teringat pada Uhr. Pekerjaan di kantor dan kegiatan lain yang biasa dilakoninya saat Uhr masih hidup, sekarang dilakukannya lagi. Indri tidak merasa dirinya adalah seorang janda dengan dua anak gadisnya. Dia merasa sebagai kekasih Ryan, seperti dulu saat mereka di SMA.
Pemulihan psikologis Indri yang begitu cepat, membuat kedua kakak kembarnya dan Bunda begitu bersyukur-bahagia. Mereka tahu bahwa kehadiran Ryan-lah yang membuatnya jadi seperti itu. Bahkan, pada suatu hari, Bunda pernah meminta Indri untuk membawa Ryan ke Kota Pal mengunjunginya, namun dengan halus Ryan menolak. Indri sendiri tidak ingin memaksa, dia takut Ryan jadi berubah sikap terhadapnya.
Dalam kesendiriannya di Mihr, Ryan masih berusaha merawat dan menjaga kembang cintanya yang berkuntum itu. Meskipun sering berkomunikasi dengan Indri, Ryan konsisten mengikuti kata hati dan jiwanya bahwa Indri Astuti yang SMA-lah pemilik kembang cinta itu, bukan Indri Astuti yang pernah sebagai Nyonya Uhr! Indri tidak menyadarinya sama sekali. Dia yakin bahwa suatu saat nanti, Ryan pasti akan melamarnya sebagai istri dunia nyata-nya. Indri hanya perlu bersabar hingga Ryan kembali ke asmara dunia nyata.
--000--
"Halo, Cin. Lagi ngapain?"
"Kamu lagi ngapain, Say?"
Indri tertawa menjelang sore ini. Dia ingin menyampaikan kabar gembira pada Ryan.
"Lagi senang. Hari Rabu ini aku ke Mihr-satu malam, kembali Kamis siang."
"Waduh. Aku juga ada dinas, Say. Ke Blard, berangkat Kamis kembali Sabtu pagi."
"Wah, tapi kita masih bisa ketemuan di Rabu-nya, Cin."
"Iya sih, cuma satu hari. Enggak bisa bawa kamu jalan-jalan dong."
"Enggak apa-apa, lain kali aja, yang penting ketemuannya dulu, ya."
Ryan tertawa pelan, "Bener, Say. Boleh aku yang jemput ke bandara, 'kan?"
"Wajib kamu dong-kok boleh? Oke, ya, Cin. Sampai ketemu hari Rabu, Ryan Paul!"
"Oke, Indri Astuti. Infokan pesawatnya, ya!"
"Tentu, ditunggu aja. Daa."
"Daa, Say! take care." Ryan tercenung. Dia merasakan sesuatu yang indah, namun membuatnya khawatir.
--000--
Ryan memandang Indri yang berjalan dengan anggunnya ke pintu kedatangan Bandara Kota Mihr.
"Kamu selalu cantik, Say. Sayang aja, ya?" Ryan melambai dan tersenyum gembira.
Indri membalas dengan senyum indahnya yang dikagumi Ryan.
"Haloo. Kamu tambah wow, Cin!" ujar Indri berbinar-binar sambil menyalam Ryan dengan hangat.
Ryan menyambut sembari tertawa riang, "Kamu juga, Say. Yok, langsung ke hotel, 'kan?"
Indri mengangguk mesra. Dia ingin secepatnya berduaan dengan Ryan setelah selama ini mereka hanya saling berpandangan lewat ponsel.
"Kerjamu enggak terganggu, 'kan, Cin?"
"Enggak. Aku cuti hari ini untuk bersamamu, Say."
"Oh, Ryan. Aku kangen banget sama kamu, Cin!" Indri tersenyum sembari menggandeng tangan Ryan.
Lalu mereka meninggalkan Bandara Kota Mihr dengan hati berbunga-bunga. Selama di mobil, Indri terus menggenggam tangan kiri Ryan. Nalurinya mengatakan kalau Ryan memang ingin dimanjakan seperti itu. Dia masih ingat kegenitan Ryan yang menghangatkan perasaannya dahulu.
--000--
Berduaan dengan Indri di kamar hotel, membuat Ryan jadi ketakutan. Dadanya bergemuruh kencang saat memandang Indri-baru berganti pakaian-keluar dari kamar mandi.
"Kamu tampak seperti waktu SMA, Say."
"Kamu masih ingat waktu kita di hutan kecil itu, Cin?" Indri menatap Ryan yang duduk di sofa-tertegun memandangnya.
"Ya, Say-" Ryan bergetar.
"Aku udah terbang melayang waktu itu, tapi kamu bisa menahan diri, Ryan."
"Karena aku menjagamu untuk menjadi istriku kelak, Indri."
"Aku tahu itu, Cin. Kamu mau memberitahu apa yang belum kutahu, Ryan?"
"Tentang apa, In?"
Indri maju mendekati Ryan lalu duduk di pangkuannya-berhadapan muka.
"Oh, Indri-" Ryan mematung tak berdaya.
"Gimana kamu bisa bertahan sendiri, Cin? kalau hasrat mendatangimu, apakah kamu lari, Ryan?"
"Enggak. Aku memanggilmu, Indri-"
"Terus?" Napas Indri menghangatkan wajah Ryan.
"Kamu datang ... kamu datang sebagai istriku-"
"Lalu apa yang dilakukan istrimu itu?"
Ryan menatap dengan bimbang. Hasratnya tak tertahankan.
"Dia melayaniku sebagai suaminya."
"Kamu sendiri, Cin?"
"Aku mencumbunya sebagai istriku."
"Ini aku, Ryan. Nyata di depanmu." Indri membawa tangan Ryan ke lehernya, "cumbulah aku, suamiku"
Ryan terperangah. Di antara hasrat dan kesadarannya, dia melihat bayangan wajah Uhr. Ryan tersengal, darahnya menggelegak.
"Aku enggak bisa, Indri-"