Hidup memang seringkali tak terduga.
Sebelum mengenal Indri, Ryan tak pernah membayangkan kalau masa SMAnya akan dihiasi dengan cinta. Dia belum tertarik memperhatikan teman-teman cewek di sekolahnya. Sekalipun mereka disebut cantik dan sejenisnya, tapi di mata Ryan mereka biasa saja-tak berpengaruh pada pikirannya. Maka jika ada cewek yang secara terang-terangan menunjukkan perhatian kepadanya-seperti Melati-dia menghindar secara halus dengan mendiamkannya.
Sebelum bertemu Ryan, Indri sering didekati oleh teman-teman cowok di sekolahnya. Ada saja yang berusaha menarik perhatiannya, lewat cerita, canda dan gaya, namun rasanya biasa saja bagi dia, tak sampai membuat Indri jadi menginginkannya. Kalau saja Bunda tidak protektif, tak terbayangkan repotnya Indri menerima kunjungan mereka di malam minggu. Satu-satunya yang diizinkan masuk untuk menemuinya hanyalah Edi, yang datang dengan mobil ayahnya. Selainnya terpaksa pulang setelah Mbak Jum berkata: Non Indri lagi pergi sama Bunda-nya.
Ketika hidup membuat Ryan dan Indri berkenalan, mereka kira itu sekadar perkenalan yang selesai sebatas kenal saja. Namun ternyata lebih dari itu. Mereka jadi saling jatuh cinta. Hebatnya, bukan cinta biasa, tetapi cinta pertama yang menumbuhkan hasrat untuk menjadi sepasang suami istri agar mereka dapat selalu bersama menghadapi segala tantangan-dengan kasih sayang nan mesra-demi mewujudkan cita-cita mereka.
--000--
Mapel tambahan di sore hari menjadi perekat bagi Ryan dan Indri untuk semakin dekat. Bersama menyusuri jalanan Kota We sambil bercengkerama mesra di atas sepeda motor, membuat mereka bahagia tak terkira! Banyak teman yang menggodanya saat melihat mereka berduaan di tempat parkir ketika datang dan pulang sekolah setiap hari Senin-Rabu sore.
Sikap Ryan yang memegang teguh janjinya kepada pak Fajar dan Bunda untuk langsung mengantar Indri ke rumah sepulang sekolah sore, sempat membuat Bunda terkesan. Namun demikian, Bunda belum bisa berubah.
Tak terasa, tiga minggu sudah dilewati, tinggal minggu ini kesempatan bagi mereka untuk menulis kisah indah berikutnya. Selama ini cuaca begitu bersahabat dengan mereka. Kalaupun hujan, terjadinya bukan saat mereka akan pergi atau pulang sekolah sehingga Bunda belum perlu turun tangan sebagaimana yang disepakati sebelumnya.
"Ini minggu terakhir, Say," ujar Ryan seperti tidak rela kembali ke kondisi semula. Sebentar lagi mereka akan berpisah di gerbang sekolah.
Indri tersenyum, berusaha menghiburnya.
"Ya, Cin. Entar aku minta izin sama Bunda-mau refreshing dulu."
"Kira-kira diizinin enggak, ya?"
Indri memandang dengan haru. Kekasihnya ini memang tipe orang yang taat aturan dan berkomitmen, biarpun ketaatan itu membuatnya tidak nyaman.
"Kemungkinan, enggak, Cin, tapi aku bisa minta bantuan Ayah. Tenang aja, ya."
Ryan tersenyum risau membayangkan intervensi Ayah yang sudah tentu akan membuat Bunda tidak nyaman.
"Bujuk se-manja mungkin, ya, Say, biar enggak perlu nyampe ke Ayah. Aku segan kalo izinnya datang dari Ayah."
"Oke, Cin. Sampai nanti ya."
Ryan mengangguk pelan. Disapanya Bunda seperti biasa dan Bunda menjawabnya seperti yang biasa pula-tetap dingin.
"Gimana belajarnya, Ndri? Ini minggu terakhir pelajaran tambahan, 'kan?" tanya Bunda sambil memindahkan persneling mobil.
"Mumet, Bun. Banyak banget tugas latihannya."
"Semangat dong. Kamu perlu refreshing dulu kayaknya ini-"
Indri menoleh Bunda.
"Pas banget!" pikirnya senang.
"Iya, Bun. Diforsir terus sih, teman-temanku juga udah pada ngeluh-stres lho Bun-"
"Iya, iya ... Bunda ngerti kok. Mau refreshing ke mana kita? nginap di hotel?"
"Enggak usah, Bun! Entar malah-"
"Terus apa dong?"
"Aku pinginnya sama Ryan aja-"
"Aduh! mau refreshing apa sama dia?"
"Maksud kamu?"
"Entar kami mau jalan-jalan dulu habis pulang les tambahan. Boleh, Bun?"
"Jalan ke mana? entar kamu malah jadi capek lagi."
"Enggak kok, Bun. Keliling aja, terus makan-makan sebentar-"
"Ke Bakso Langgeng?"
"Iya, bentar aja kok Bun. Boleh, ya?"
Bunda melengos pelan-serba salah.
"Ya udah, tapi sebentar saja, ya."
Indri tersenyum senang memandang Bunda.
"Iya, Bun! makasih banget, Bunda sayang, " ujarnya sambil menyentuh tangan Bunda.
"Berhasil, Cin. Kita beruntung lagi," batinnya pelan. Kalau saja Ryan punya telepon rumah, dia mau langsung saja mengabarkannya begitu nanti sampai di rumah.
"Aku tunggu di rumah, ya, Cin. Kalo bisa kamu datangnya lebih cepat, ya! biar waktu kita banyak." Indri melirik Bunda sambil terus berterima kasih dalam hatinya.
--000--
Ryan bergegas menemui Indri yang menunggunya di depan kelas. Senyuman manis nan mesra menyambutnya di antara desir angin sore ini.
"Yuk!" Indri langsung mengajaknya ke tempat parkir.
Ryan tertawa pelan sambil berjalan di sampingnya. Baru kali ini dilihatnya Indri mengajaknya se-semangat itu.
"Eh, buru-buru amat. Mau ke mana, Ndri?" tanya Ayu sambil menahan tangan Indri.
"Ada deh!" Indri tertawa gembira, "mau ikut?"