Kota We, Jumat, 15 April 1988, pukul 5.30 pagi.
Dering telepon mengejutkan Indri yang tengah membaca sajak-hadiah ultah Sweet Seventeen dari Ryan-di kamarnya. Meskipun sedang libur minggu tenang, tapi dia sudah bangun sejak jam 5 tadi.
"Kamu, Cin?" batinnya sambil keluar dari kamar.
Dering kembali terdengar waktu Indri sedang menuruni tangga.
"Biar aku aja, Mbak," ujarnya menghentikan langkah Mbak Jum.
"Kamu, 'kan?" pikirnya sambil mengangkat gagang telepon.
"Ya, Cin," ujarnya duluan dengan yakin.
"Oh, Sayangku-"
Indri tertawa pelan membayangkan terkejutnya Ryan di sana.
"Happy Birthday! semoga panjang umur, sehat, sukses-bahagia dan tetap sayang aku, ya."
"Amin, iya, tetap dong-makasih, Cin."
"Peluk cium sayang-mmmuaaah!"
"Mmmuuaah juga!" Indri tertawa senang, "entar dateng, ya, Cin."
"Boleh sekarang? enggak tahan aku, Say! lagian, fotomu ini udah lecek kucium terus-"
Indri tertawa gemas sambil memandang Ayah dan Bunda yang sedang menuju ke meja makan.
"Boleh dong. Kutunggu, Cin."
"Ayah sama Bunda udah bangun, 'kan?"
"Udah, ini mereka lagi memelototin aku."
"Oke, daaa, Sayangku."
"Hati-hati, ya. Daaa." Indri meletakkan gagang telepon sembari tersenyum pada Ayah dan Bunda.
"Ryan, ya?"
"Ya, Ayah, dia mau dateng ke sini-"
"Wow! berarti dia orang pertama yang mendahului Ayah mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu, Ndri," Ayah mencium pipi Putri Bungsunya, "selamat ulang tahun yang ke 18, Kesayangan Ayah."
"Makasih, Ayah-"
"Sehat-sehat, panjang umur, pinter, sukses, bahagia dan tambah cantik, ya, Putri sayang Bunda."
"Makasih, Bunda sayang." Indri memeluk Bunda dengan erat.
"Entar kita makan malam di luar, ya," Bunda tersenyum.
"Ya, Bun, tapi-" Indri ragu sejenak.
"Aku pinginnya bersama Ryan, Bun-"
"Boleh aja, tapi enggak sampai malam, 'kan?"
Indri tertawa geli karena izin Bunda ini. Pasti tadi Ayah sudah mewanti-wanti Bunda.
"Enggak dong, Bun."
Suara bel terdengar merdu mengagetkan mereka. Indri segera menuju ke gerbang rumah sambil tersenyum gembira.
"Pagi, Sayangku." Ryan agak kaget melihat penampilan Indri.
"Pagi. Yuk, masuk, Cin-" Indri pun tampak kaget melihat penampilan Ryan yang sudah keren jam segini.
"Mmh. Kamu makin ganteng, Cintaku."
"Asli, kamu bener-bener cantik, Say. Pasti belum mandi dari kemaren pagi, 'kan?" bisik Ryan gemas.
Indri mencubit pipi Ryan sambil tertawa.
"Tapi kamu suka, 'kan?"
"Pasti dong. Enggak mandi setaun aja aku tetap pingin, Say-"
"Pingin apa?"
"Pingin-ah, udahlah. Entar jadi beneran pingin," Ryan tersenyum disambut tawa ceria Indri.
"Lihat, Bun, mereka itu cocok sekali sebenarnya. Sejak ada Ryan, perubahan Indri positif, 'kan?" ujar Ayah
"Ayah sudah benar-benar setuju rupanya sekarang, ya?" Bunda memandang ke arah teras sambil melirik Ayah yang sedang terdiam.
"Kamu cantik banget pake daster ini, Istriku," Ryan meraih jemari tangan Indri sambil melangkah ke teras, "tercantik sejagat raya!"
"Ah, masa?" Indri tahu Ryan berkata sejujurnya.
"Pujian seorang suami selalu jujur, Say. Beda dengan pujian pacar." Ryan melepaskan genggamannya di depan pintu teras membuat Indri menoleh padanya.
"Jangan dilepas, Cin. Kamu itu milik-ku!" batin Indri sembari menggenggam jemari Ryan dengan yakinnya.
"Dilihat Bunda entar-"
"Biar aja. Apa salah, suami istri bergandengan tangan?" bisik Indri mesra membuat Ryan tersenyum bangga.
"Serius banget Ayah itu, Say."
"Pasti sedang membicarakan kita, Cin. Rileks aja."
Mereka terus menuju ke meja makan tanpa berbicara lagi.
"Persetujuan Ayah tidak cukup untuk membuat mereka bahagia, Bun. Feeling Ayah, nantinya mereka akan berpisah juga-"
"Bagus dong. Bener nih, Yah?"
"Kenapa pisah, Yah?"
Pak Fajar tercenung memandang Indri dan Ryan yang sedang menghampiri mereka.
"Mesra sekali, Indri?" pikir Ayah pasrah.
"Ryan itu anak baik, Ayah yakin dia rela berkorban demi kebahagiaan Indri. Sayang sekali, Bun!"
Bunda terdiam seribu bahasa. Selama ini, penilaian Ayah hampir selalu benar. Kalau Ryan berkorban, bagaimana jadinya Indri? Beliau sangat tahu kalau Indri sangat mencintai Ryan dan tak mungkin mau berpisah dengannya!