Posko KKN Universitas J di Desa Turi-Kecamatan Sip, Kabupaten Tap-Juli 1992.
Ketujuh peserta KKN itu sedang meringkuk di ruang tamu rumah Kepala Desa sambil menahan hawa dingin yang luar biasa 'menyakitkan'. Sekarang baru jam 9.20 malam, namun hawa dingin terus merajalela, menyeruak lewat celah dinding dan lantai papan rumah panggung ini.
"Aduuuh, mati-lah kita, Bang. Dingin kali iniii," ujar Meli dengan tubuh gemetar di bawah selimut. Di sampingnya, Paula juga menggigil sambil berpegangan tangan dengan Ina. Semua perlengkapan pribadi yang dipakai, ternyata tidak sanggup menghangatkan tubuh mereka.
"Tenang dulu, Dek. Kau gosok-gosok aja dulu telapak tanganmu, ya. Pake minyak kayu putih-jangan balsam! makin dingin kau rasa nanti," ujar Ryan mendekati ketiga teman ceweknya.
"Or, tolong kau nyalakan api, dah tak betul lagi ini!" Ryan gemetar sembari menghembus-hembuskan napas.
"Yok, Der!" Or menarik Der menuju ke dapur. Lantai papan ikut gemetar karena langkah mereka.
"Bantu dulu aku, Wan-" Ryan mengambil minyak kayu putih dari kantong jaketnya, "bikin kek gini," sambungnya memberi contoh.
Dengan cepat, Ryan melepaskan kaus kaki Meli.
"Dingiiin, Bang!"
"Tahanlah, bentarnya ini," Ryan menggosokkan minyak kayu putih pada kedua telapak kaki Meli lalu memasang kaus kakinya.
"Sudahnya?" Ryan tampak cemas.
"Masik (masih) dingin, Bang-" Meli merengek.
"Ah, kupeluk aja lah kau, ya!"
Paula dan Ina tertawa keras (sambil melawan dingin) melihat Ryan yang bersiap 'menerkam' Meli.
"Janganlah! marah nanti pacar-ku, Bang!" Meli masih bisa cemberut.
"Kalo gitu, kau aja yang peluk! sumber kehangatan Abang ini, Dek!" Ryan beranjak sambil tertawa.
"Makin dingin kurasa, Bang!" teriak Meli manja.
"Aku pun, Bang!" teriak Ina yang menggigil hebat.
Suasana ruang tamu-diterangi dengan dua lampu teplok-jadi sibuk seperti di pasar.
Sekonyong-konyong pintu kamar terbuka.
"Kedinginan kalian?" Pak Kades (Kepala Desa) mendekati mereka sambil tersenyum.
"Kayak Es, Pak!" sahut Meli.
"Tak apa-apa, biasanya hari pertama seperti ini-"
"Ya, Pak. Bisanya kami atasi. Tidur aja lagi, Pak." ujar Iwan-Ketua Kelompok.
"Oh, baiklah. Kalau ada perlu, kasih tau aja nanti, ya." Pak Kades kembali ke kamarnya.
"Aduuhh!" Ryan kembali mendekati Meli. Digosokkannya minyak pada telapak tangan Meli lalu memasukkan kedua tangan Meli ke kantong jaket, "jangan kau keluarkan tanganmu, ya!" lalu dia menggosok pipi dan telinga Meli, "sorry, jangan bilang sama pacarmu, ya, Dek!"
Meli tertawa pelan. Efeknya mulai terasa.
"Makasih Bang Ryan!"
Ryan beranjak mendekati Ina. Dilakukannya hal yang sama seperti pada Meli.
"Dah enak kau rasa, Dek?"
"Udah, Bang. Makasih!"
"Paula ini kok tenang-tenang aja?" Ryan memandang untuk memastikan keadaan Paula.
"Aman, Dek?" tanya Ryan dengan wajah capek.
"Aman, Bang, tapi kok makin dingin pulak ini?" Paula meringkuk bergidik.
Ryan segera beraksi, "Dah kau bikin tadi minyak kayu putih sama Paula ini?"
"Udah, Bang. Ina juga," sahut Iwan yang mau ke dapur.
"Apinya dah nyala, Bang!" Der berdiri tenang-tak menggigil lagi.
"Bentar, Der!" Ryan melepaskan sepasang kaus kakinya lalu memakaikannya pada kaki Paula.
"Hmm, lumayan sekarang," Paula sedikit lega.
"Sorry, ya, Dek." Ryan melakukan seperti pada Meli dan Ina. Jarak wajah mereka begitu dekat dan Ryan bergetar saat Paula berterima kasih sembari tersenyum manis padanya.
"Sorry, ya. Merapat aja kelen bertiga, pelukan kalo perlu!" Ryan menggeser tubuh Meli. Dia lega ketiganya tidak mengerang lagi.
"Kalo mau gabung, datang aja ke dapur, ya, Trio Turi!"
"Oke, Bang!" sahut Meli cepat sambil tertawa bersama Paula dan Meli.
"Lucu aku lihat Abang itu, macam anaknya kita dibuat!" ujar Ina.
"Awas, Na. Dah ada pacarnya itu." Meli berbisik mengingatkan.
Ryan tertawa mendengarnya lalu bergegas ke dapur sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya.
"Baru aman bidadari kita itu!" ujar Ryan langsung berdiang sambil melilitkan sarung di lehernya. Dinyalakannya rokok dengan kayu bakar yang membara menghangatkan wajah.
"Ngeri kali dinginnya, kalah pulak kulkas," Or tertawa pelan menghembus asap rokok.
"Tak sangka kek gini dinginnya, ya. Dua lapis jaket pun tembus," timpal Der seraya menambah kayu bakar.
"Tapi nanti beradaptasi-nya kita," ujar Iwan menenangkan.
Lalu, keempat cowok itu bercerita-tentang kampus dan rencana kegiatan KKN-sambil berdiang di bawah para-para.
Tiba-tiba Trio Turi datang. "Bang, kami mau ke bawah, kawani-lah," pinta Ina yang membungkuk di antara Paula dan Meli.
"Oh, ayok-lah, Dek." Ryan segera bangkit sambil mengeluarkan senter mini dari saku jaket.
"Hmm, dari kalian berempat, cuma Bang Ryan ini aja yang sibuk kutengok! Kelen ngapain aja?" Paula menyindir dalam hati sekaligus simpati pada Ryan.
Kemudian Ryan menemani Trio Turi yang mau buang air kecil ke kebun kopi-di halaman samping rumah. Dia berdiri membelakangi mereka-beberapa langkah-sambil mengawasi keadaan yang gelap itu.
Trio Turi masih sempat cekikikan dalam kegelapan yang dingin menusuk tulang.
"Baik kali memang Abang ini lah!" ujar Meli waktu mereka naik ke rumah.
"Rambutnya aja yang panjang, hatinya selembut salju-" timpal Ina.
"Sudah! banyak kali ceritamu," kata Ryan membuat mereka tertawa sambil menuju ke dapur.
"Kalo ada yang punya kopi, teh, gula-"
"Ada-bentar, ya, Der." Paula berbalik arah ke ruang depan.
"Tunggu La, aku pun punya." Meli menyusul bersama Ina.
Tak lama kemudian mereka bercengkerama di dapur sambil makan camilan dan minum kopi, teh. Lokasi KKN yang benar-benar desa ini, terasa agak aneh bagi mereka. Tak ada listrik, tak ada sumur, tak ada mck (mandi cuci kakus), tak ada angkutan umum dan dinginnya minta ampun pula.
"Siapa yang duluan bangun, dia yang membangunkan kita semua, ya."
"Siap, Ketua!" sahut Ryan tersenyum pada Iwan.
"Sudah jam 11 lewat, jadi sekarang kita tidurlah, berpelukan aja kalo kedinginan, tapi jangan lewat tas pembatas, ya!" Mereka tertawa sambil bangkit hendak ke ruang depan.
"Mau ke mana itu?" Paula melirik Ryan yang memisahkan diri dari mereka semua yang sedang kembali ke ruang depan.
"Atur posisi yang nyaman, biar kupasang selimut cinta ini," Ryan datang membawa 'segulung' tikar pandan. Semuanya tertawa.
"Oh, ngambil tikar rupanya." Paula semakin gelisah karena Ryan.
Lalu, Ryan membentangkan tikar pandan itu-membuka gulungannya perlahan-lahan-untuk menyelimuti tubuh teman-temannya. Setelah selesai, Ryan menyelimuti dirinya yang berada di posisi ujung-dekat ke dapur.
"Uff, serunya malam pertama ini." Ryan memejamkan mata perlahan-lahan.
"Bakal sebulan lebih menyaksikan gayamu kek tadi itu? aduh, repotnya, Bang!" batin Paula galau.
Dia sudah terkesan sama Ryan waktu mereka keletihan berjalan kaki menuju ke posko-selesai upacara di kecamatan-bersama pak Kades tadi siang. Dengan gagahnya Ryan meminta tas mereka bertiga dan membawanya tanpa banyak bicara lalu sengaja berjalan di belakang mereka semua-seperti pengawal. Dia memisahkan diri dari rombongan, tapi segera bereaksi ketika ada yang berhenti karena tak sanggup lagi berjalan. Ryan-lah yang menentukan kapan mereka mengaso dan pak Kades mendukungnya.
Setelah makan siang bersama keluarga pak Kades, Ryan juga-lah yang berinisiatif memimpin acara perkenalan kelompok. Dimulai dari perkenalan dirinya yang menyebutkan: nama, asal daerah, fakultas, alamat tempat tinggal di Mihr dan status sudah punya pacar! Mereka tertawa mendengarnya, tapi Ryan berhasil meyakinkan bahwa status itu penting disebutkan demi kebaikan bersama. Mereka senang melihat pembawaan Ryan, tapi dia menolak dijadikan ketua kelompok lalu menunjuk Iwan-disetujui oleh semuanya. Iwan menyebut dirinya sebagai Kepala Suku!
--000--
Suasana Desa Turi yang alami sangat menyenangkan hati Ryan. Dia sering bangun sebelum fajar untuk menghirup udara segar dan menyaksikan pendaran kabut embun yang menari bersama sinar mentari pagi di halaman depan rumah. Tanpa diketahui Ryan, kebiasaannya itu diam-diam diperhatikan oleh Paula yang semakin hari, semakin terkesan padanya. Meskipun demikian, Paula selalu menjaga sikap agar Ryan tidak mengetahui keresahan hatinya.
Selama dua minggu tinggal bersama di rumah pak Kades ini, Ryan hanya terkesan pada Paula. Mahasiswi kedokteran itu mengingatkan-nya pada Indri: tenang, tidak banyak bicara, anggun dan ramah. Ryan suka memandang saat Paula baru bangun tidur, sedang memakai sarung dan sedang memasak-pertama kalinya terpesona setelah 3 tahun. Semuanya itu terasa menusuk dada Ryan karena ia terus berusaha menjaga jarak dengan Paula, untuk meyakinkan semua temannya bahwa dia sudah punya pacar-seperti pengakuannya saat perkenalan kelompok.
"Ayok sarapan, Bang." Paula memanggil dari jendela ruang depan.
Ryan menoleh, "Duluan aja, Dek. Aku masih kenyang."
"Kenyang? sejak kapan?" Paula turun mendatangi Ryan ke halaman.
"Selama ini kita sarapan barengan 'kan, Bang?" tanya Paula dengan lembut dari belakang Ryan.
"Iya, Paula," Ryan menoleh- menyembunyikan senyum, "tapi-"
"Kalo Abang enggak mau, kami pun enggak sarapan," Paula memandang Ryan dengan gugup.
"Indri-" Ryan menjentikkan puntung rokok, "Ayok-lah, biar senang kau, Dek."
"Kok bisa bangun tidur kenyang, Bang? mimpi makan, ya, semalam?" Paula menaiki tangga rumah sembari tersenyum.
Ryan tertawa pelan, "Mimpi kau, Dek-makanya kenyang."