Sarah & The Blessed People Vol. 1

usparkledust
Chapter #1

Neverland

London, 1943.

"Em, sekali kau lemparkan bola salju itu aku tidak akan bermain denganmu lagi!" Sarah yang sedang membaca dan duduk manis di batang kayu besar, mendadak kesal karena Em melemparkan bola salju yang hampir mengenai wajahnya. Ia berhasil menghindari bola salju itu dengan menumpu kaki kanannya untuk bergerak serong ke kiri.

"Kau sungguh membosankan hari ini!" Em kecewa sambil menendang bola saljunya dengan wajahnya yang mendung.

"Ayolah, Em! Kemarin kita sudah bermain sampai matahari tenggelam. Berlari-lari dengan Denny dan berseluncur dengan pintu tuan Smith," Sarah menutup bukunya lalu dengan tenang dia menggengam tangan Emily, menatapnya dengan penuh kasih.

"Bagaimana kalau kita makan biscuit coklat hari ini?" mendengar biscuit coklat, wajah Emily yang tadinya mendung berubah menjadi cerah bewarna merah seperti tomat. Menurut Sarah, lebih baik memberinya biscuit coklat daripada bermain bola salju.

"Baiklah! tapi, aku akan mengajak Denny," sahut Emily sambil sedikit mendengus.

"Hari ini Denny berkunjung ke rumah neneknya, kau tidak tahu?" Emily hanya menggeleng-geleng kepalanya, dan memutuskan kembali ke rumah.

Mereka berjalan diatas salju dengan sepatu boot bertali yang masih baru. Ayah mereka sengaja membelikannya untuk musim dingin tahun ini. Karena bootnya yang baru itu, Emily kecil mulai lincah menari-nari diatas hamparan salju yang menyelimuti seluruh halaman belakang. Sarah tersenyum karena tingkahnya yang begitu menggemaskan.

Sarah, berusia tujuh belas tahun. Sepasang matanya bewarna coklat, kulitnya putih, dan rambutnya coklat terang. Kalau musim semi datang, rambut Sarah sangat menarik perhatian karena berkilau-kilau seperti emas. Banyak orang yang membicarakan tentang rambutnya kenapa begitu indah, orang mengira ia memakai pewarna rambut padahal tidak sama sekali. Dan yang paling dibanggakan adalah alisnya yang tebal, terlukis seperti bulan sabit, cocok sekali untuk raut wajahnya yang manis. Dia memiliki semangat yang tinggi dan peduli terhadap siapapun termasuk adiknya. Emily, adik perempuannya namun berbeda ibu, berusia sebelas tahun. Ibunya meninggal setelah melahirkannya. Wajahnya yang kecil dan perawakannya berisi membuat gerak-geriknya lucu dan menghibur semua orang. Meskipun berbeda ibu, Sarah sangat menyayangi dan mencintai sepenuhnya layaknya adik kandungnya. Ayahnya memulai hidup baru kembali dengan wanita yang dipilihkan oleh paman Sarah. Namun, nasib berkata lain, istrinya meninggal setelah melahirkan Em. Sejak saat itu, ayahnya memutuskan untuk merawat mereka sendiri.

Cahaya api di perapian menyadur seluruh ruangan tamu, menerangi wajah mereka dengan hangat dan nyaman diantara bantal-bantal yang gemuk. Seolah-olah tampak seperti di buku cerita fiksi tentang keluarga harmonis yang sedang berkumpul melingkar di depan perapian membicarakan hari-hari mereka yang sibuk. Tapi, hal itu tidak terjadi dengan mereka. Saat ini, hanya mereka berdua yang ada di ruang tamu yang besar itu. Emily masih larut dengan buku ceritanya sambil makan biscuit pemberian Denny di karpet. Sedangkan Sarah, hanya menyeruput kopi dan menatap tajam ke arah perapian. Sementara diluar, hujan salju turun berguguran.

"Mengapa ayah belum pulang? Aku rindu sekali dengannya." Kata Em yang sudah mulai bosan dengan melihat langit-langit atap. Entah apa yang dibayangkan, dia hanya ingin ayahnya berada disisinya sekarang.

"Sebentar lagi ayah pulang," kata Sarah menjawab pelan. Dia menggerai selimutnya ke badannya lalu menyeruput kopinya lagi. Tetapi, diam-diam ia sendiri juga merindukan sosok ayahnya.

"Kesinilah Em, aku akan membacakan cerita untukmu." Emily yang tadinya terlentang melihat langit atap rumah, segera mendekati Sarah, meletakkan kepalanya di pangkuan Sarah dan menghadap lurus ke perapian. Sarah mencoba menghiburnya.

Em berkata, "ceritakan tentang anak laki-laki yang tinggal di Neverland bersama peri kecilnya Sarah, aku ingin tahu akhir ceritanya. Aku ingin sekali pergi kesana. Hanya saja kita tidak punya serbuk ajaib untuk terbang kesana."

Mendengar hal itu, Sarah mengerutkan dahinya. Cerita yang dikatakan Em, memang sangat populer dikalangan remaja London. Anak laki-laki itu bernama Peterpan. Dia memilih tinggal di Nerverland karena dia tidak mau menjadi orang dewasa. Menjadi dewasa sangat rumit dan banyak masalah. Dia memutuskan untuk menjadi anak kecil selamanya. Neverland adalah tempat yang paling indah dan impian semua orang. Lebih indah dari taman bermain dipusat kota. Banyak peri-peri kecil disana yang bisa membuatmu terbang kemanapun hanya dengan serbuk yang dikeluarkan oleh sayapnya. Selain itu, putri duyung yang tinggal di Laguna, dan yang paling mustahil awan-awan dilangit bisa dilompati dan dijadikan sebagai alas tidur. Konon yang terkenal, ada kapal-kapal perompak serta bajak laut dengan pemimpin yang sangat jahat, kapten Hook. 

"Tapi, menurutku cerita itu sudah tidak menarik lagi Em. Pan, lebih memilih kembali ke Neverland dan tidak mau dewasa. Dia memilih menjadi kesepian, ya... meskipun bersama peri kecilnya. Hal-hal yang indah yang terjadi disana, tidak menjamin kau akan berakhir bahagia, Kau suka dengan akhir cerita seperti itu?" ujar Sarah yang tidak suka cerita itu namun sebenarnya telah membacanya berulang kali.

"Kalau begitu ceritakan saja hal-hal yang menarik di Neverland," kata Em sambil mencubit pipi Sarah yang hangat.

"Jangan sentuh pipiku! bagaimana dengan cerita lain, tentang tiga babi bersaudara?" balas Sarah dengan menyentuh hidung Em yang merah.

"Tidak!! aku sudah tamat itu, ayah menceritakannya setiap aku tidur. Aku berharap ayah segera pulang dan menceritakanku tentang Neverland," seru Em sambil mengamati nyala api di perapian.

"Aku memang tidak sepandai ayah jika bercerita, tapi aku akan mencobanya Em," Sarah menghela napas panjang lalu mulai bercerita, "Suatu hari ada seorang anak perempuan bernama Ella, dia tinggal dengan ibu tirinya dan dua anak perempuannya. Mereka sangat jahat kepada Ella." Sarah tak menyadari dia sedang bercerita dengan nada datar dan sedikit membosankan. Tangan mungil Em tiba-tiba menutup mulut Sarah agar tidak melanjutkannya lagi. "Cukup! Apa kau sedang membaca koran? kau tidak seperti mau bercerita. Nada ceritamu tidak sungguh-sungguh. Kau terlihat gugup dan kaku!" Sergah Em.

"Baiklah, aku akan mencobanya lagi." Sarah menghela napas lebih panjang dari sebelumnya, lalu memulainya lagi, "pada suatu hariiiii, adaaa seorang anak perempuan bernamaaa Ellaaa. Dia tinggal dengan ibu tirinyaaa dan dua anak perempuannyaaaa. Mereka sangat jaaaahat kepada Ellaaa."

Lalu Em menyela lagi, "kau terlalu berlebihan Sarah, kau memanjangkan akhir katanya!"

"Tadi kau bilang terlalu datar, sekarang kau bilang berlebihan, terus maumu seperti apa?" tegas Sarah namun sangat menyenangkan melihat gadis kecil itu kesal.

"Kau pembaca dongeng terburuk Sarah!" kata Em mengejek sambil bercanda.

"Lebih baik mengepel lantai seluruh rumah daripada membaca dongeng untukmu," dan Sarah menatap Em yang tersenyum sambil menggigit bibirnya.

"Mengepel lantai seluruh rumah? Kau tidak pernah melakukan hal itu," seru Em sambil duduk membelakanginya.

"Kau lihat tanganku ini, ini adalah bukti bahwa aku pernah mengepel seluruh lantai." Kata Sarah memegang tangan Em lalu menggosokkan ke telapak tangannya. "Oke, aku percaya!" jawab Em. Em merasakan tangan sarah sedikit kasah dan terlalu kering.

"Kalau saja bibi Mathilda tidak menyuruhku, pasti tanganku sehalus pipimu, Em!"

"Bibi Mathilda ingin menjadikanmu seorang wanita yang serba bisa, ingat umurmu Sarah."

"Jangan kau ungkit tentang umur, Em. Kau ingin sombong karena umurmu baru sebelas tahun. Lagi pula, kau manfaatkan umurmu untuk manja dengan ayah bukan?" ujar Sarah sambil berpura-pura memejamkan mata.

Tiba-tiba Em melemparkan bantal ke kaki Sarah karena kesal. "Ahh, kau sengaja melakukannya bukan?" sergah Sarah yang kaget karena bantal yang dilemparkan ke kakinya sangat keras.

"Iya, aku sengaja!" ujar Em lalu berdiri dan pergi ke kamarnya.

"Em..Em kesini kau!" teriak Sarah tapi Em mengabaikannya.

Lihat selengkapnya