Ben mendengarkan berita itu, tubuhnya bergidik kecil amit-amit. Pasalnya, jalan Raden Saleh tak jauh dari jalanan yang dilalui Ben. Tak lama Reen membuka tas, mengambil rokok ditasnya. Ben kaget.
"Heh? Sejak kapan kamu ngerokok?"
Dengan sigap Ben mengambil batang rokok dimulut Reen, membuangnya dengan membuka jendela mobil. Ben mengecilkan lagi radio.
"Gak baik buat kesehatan." ucap Ben.
"Ihhh apaan sih gajelas." ketus Reen. Reen mengambil rokok lagi dari tasnya.
"Reeen?!" ucap Ben sedikit meninggi.
"Udah deh, gausah ikut campur kehidupan saya!" ketus Reen.
"Yaudah, tapi ngerokoknya jangan dulu yaa. Kurang pantes." ucap Ben khawatir.
"Kurang pantes apa? Karena saya perempuan? Bedanya apa sama laki-laki??"
"Karena kamu anak saya!" tegas Ben.
"Baru sekarang bapak anggep saya anak? 10 tahun pak! 10 tahun bapak gak pernah nemuin saya!!" ucsap Reen bernada meninggi.
"Reen?" nada Ben mereda.
"Apa?? Udah terlalu banyak hal sulit yang saya alami! Jangan ngerasa kita udah pelukan dan bapa anggep semua termaafkan!! Enggak pak!! Enggak akan!!" tegas Reen sambil mengadah ke arah jalan.
"Reen, bukannya papa gak ada buat kamu, tapi,"
"Halah! Sok sibuk! Emang dasarnya egois! Emang bener kata mama, bapak laki-laki yang gak bertanggung jawab!!" teriak Reen.
Ben diam sejenak kebingungan harus mulai menjelaskan darimana. Ben memandang wajah Reen. Smartphone Reen tiba-tiba berdering. Terlihat dari pandangan Ben kontak bernama Honey menelpon. Reen meminta berhenti sebentar, mobil berhenti. Reen keluar dari mobil mengangkat telponnya. Dari pandangan Ben terlihat Reen gundah dan sedih. Ben hanya melihat dari dalam mobil. Beberapa saat, Reen masuk lagi. Menutup mobil dengan kencang. Mobil melaju lagi.
Ben memandang wajah Reen lagi sesekali sambil menyetir. Ben tak kuat menahan penasaran, siapa dalang dibalik kesedihan anaknya itu. Ben memulai percakapan. Ketika hendak bertanya, Reen tiba-tiba menangis kecil, air matanya jatuh.
"Eh eh, apaan sih? Kamu kenapa? Putus?" ucap Ben kebingungan. Reen masih diam, Ben menghela nafas hendak melanjutkan percakapan.
"Kenapa sih? Santai aja, masih banyak cowok yang lain. Sering pacaran masa cemen sih." lanjut Ben.
"Jangan sotoy sama hidup saya!" jawab Reen ketus.
"Ya ampun, masih aja cengeng," canda Ben berusaha mencairkan suasana.
"Anterin saya ke terminal." tegas Reen tanpa melihat ayahnya.
"Kamu kenapa sih? Cerita dong sama papa." tanya Ben tenang.
"Anterin saya ke terminal!!" teriak Reen.
"Hey...hey... Kamu kenapa?" tanya Ben masih penasaran. Reen berusaha menenangkan diri, agak lama ia redam. Nafasnya berusaha stabil, Reen meminta.
"Saya gak mau pulang, anterin saya ke terminal,"
"Iya kenapa sih? Ada apa?"
Reen tak menjawab. Ben sejenak menghela nafas. Ia berucap lagi.
"Reen... Papa tau, papa gak pantes buat nanya ini sama kamu, kepo sama kamu, udah ninggalin kamu, udah ninggalin mama, udah sembarang larang-larang kamu. Papa minta maaf. Tapi buat kali ini aja kasih papa kesempatan untuk berbuat sesuatu buat kamu. Entah bermanfaat atau enggak, tapi papa mohon kasih papa kesempatan."
Reen menghela nafas. Reen membersihkan air matanya.
"Saya gak mau pulang. Saya gak mau ketemu dia,"
"Dia siapa?" tanya Ben tenang sambil lega akhirnya Reen mulai cerita.
"Roy." singkat Reen.
"Pacar kamu?" Ben penasaran
"iya." jawab Reen masih singkat.
"Kenapa gak mau ketemu? Bukannya semua harus diomongin?"
"Gak bisa pak!"
"Kenapa gak bisa? menjalin hubungan kalau gak berkomunikasi dengan baik, gak ak..."
"Dia hamillin orang lain!" potong Reen.