Sarandjana : Terjebak Malam

Adam Wiradi Arif
Chapter #4

[3] Auroboros

Mobil melaju mundur dengan cepat dan memutar balik. Terlihat di spion belakang, pria ambulan diam tidak mengejarnya. Ben dan Reen menginjak pedal kencang, walau laju tak maksimal. Mengintip sedikit di spion, pria itu naik mobil ambulannya lagi, namun leganya ambulan melaju lurus berlawanan arah, tak mengejar mereka. Ben dan Reen sedikit lega. Ben-lah yang sangat merasa lega dapat keluar dari ketakutan pembegalan itu. Namun masih ada ban yang pecah. Mereka mencari-cari tempat yang gelap untuk sembunyikan mobil menghindari ambulan balik lagi mengejar mereka. Ben keluar jalur jalan, ke arah hutan sedikit dan berhenti.

Ben mengambil dongkrak dengan cepat, membuka ban yang pecah dan mengganti ban dengan ban serep. Mereka masuk mobil lagi, starter dan masuk ke jalur kembali.

Semua semakin tenang. Semua mulai merasa aman. Setelah merasa aman, tiba-tiba mereka bertatap-tatapan. Hening sesaat, tiba-tiba Reen memandang Ben, dengan senyum kecil menahan tawa. Reen seakan menertawai ayahnya yang ketakutan.

"Gak keren ya?" ucap Ben, Reen tertawa, Ben juga ikut tertawa. Suasana mencair.

Ben dan Reen melanjutkan perjalanan, melaju mobil di jalanan sepi masih dengan rindang pepohonan gelap. Sayangnya Ben kebingungan mencari jalan karena terlampau jauh keluar dari jalan utama. Ben mengeluarkan smartphonenya hendak menyalakan GPS. Sayangnya tidak ada sinyal.

Setelah melaju agak jauh entah dimana, tampak selapang kuburan tunggal tanpa warung atau rumah-rumah sekitar di depan mereka dengan cahaya lampu kecil menerangi gapura depan kuburan dengan hiasan patung naga berbentuk bulat sambil menggigit ekor.

"Kok serem ya," suara Reen kecil berbicara sendiri.

"Takuuuut?." ucap Ben meremeh.

Mobil melaju lagi, belok kanan, kiri, kanan lagi.

Mobil berjalan dengan semakin lambat karena jalanan semakin sempit. Tidak terlihat satupun rumah disana.

Sambil melaju, Ben memperhatikan sesuatu yang aneh. Terlihat lagi selapang kuburan didepan mereka dengan cahaya lampu kecil menerangi gapura depan dan sangat sama, ada patung itu berbentuk naga bulat menggigit ekor.

"Kayaknya tadi kesini deh," ucap Reen.

"Coba entar belok kiri, tadi kan belok kanan."

Kali ini mereka belok kiri, jalan terus. Mereka melaju lambat. Sesuatu yang aneh ada lagi. Pandangan Reen tak asing didepan. Terlihat lagi kuburan yang sama persis dengan yang mereka lewati dua kali itu.

"Kayaknya udah gak beres deh," keluh Reen.

"Kamu tenang aja, papa sering kok liat kuburan bentuknya sama dan deketan." ucap asal Ben alih-alih menenangkan Reen. Ekspresi Reen meremeh, masih ingat ketakutan ayahnya ketika dikejar ambulan.

"Papa gak takut sama hantu. Papa cuma takut dibegal. Kalo beneran dibegal tadi gimanaaa?"

Reen diam dengan bibir meremeh, mobil melaju lambat lagi. Tiba-tiba sebuah palang tunggal beraksen batu bulat tertabrak mobil. Ben turun sejenak memeriksa. Bentuk palang itu aneh bagi Ben. Namun ia tak mau ambil pusing, naik mobil dan melaju lagi.

___

Akhirnya mereka menemukan jalan yang lebih besar. Terlihat ada plang vila didepannya, dengan ukuran lumayan besar, bertulis Villa Alipatih. Ben melihat jam tangan sudah mulai agak malam.

"Reen, gimana kalau kita nginep dulu disitu? Udah malem banget ini, takut ada begal."

"Dimana?" tanya Reen.

"Itu ada vila. Udah malem juga." jawab Ben.

"Aneh gak sih, ada vila tengah hutan begini? Serem lagi." curiga Reen

"Biasanya, vila ditengah hutan begini tuh vila private. Yang kesini, cuma orang yang mau ketenangan." jawab Ben.

"Yaudahlah," ucap Reen dengan sederhana. Ben merasa dibukakan kembali pintu dari Reen untuk keterbukaan mereka.

Ben sejujurnya kaget Reen menyetujuinya. Ia menyukuri malam itu walau sebelumnya sempat tegang. Mobilpun melaju mengarah mengikuti plang pengarah vila. Tanpa sadar mereka melewati pilar pembatas desa, dengan tulisan kecil, Sarandjana. Ya, desa itu sebenarnya cukup terkenal seperti yang diceritakan penyiar radio tadi sebelum menabrak ambulan. Sayangnya mereka tak sadar memasuki sebuah desa yang katanya hanya orang-orang tertentu yang bisa kesana. Yang katanya tidak pernah bisa ditemukan dengan mata telanjang. Yang katanya tak ada orang yang mau pulang darisana karena terlalu betah. Yang berbeda, agaknya bukan kemashuran kota dengan peradaban maju dengan gedung-gedung tinggi. Justru hanya hutan sepi yang belum tau ada kehidupan atau tidak disana. Tinggal bagaimana Ben dan Reen setelah ini, apa yang akan mereka temukan. Benarkah sebuah vila dengan penuh ketenangan yang diiucapkan Ben?

Ben dan Reen masih melanjutkan perjalanan menuju vila. Sekitar 200 meter, terlihat ranting pohon berukuran sedang menghadang jalanan dan mereka berhenti. Suasana masih gelap, dengan kanan kiri yang masih hutan. Ben menggotong pohon menyingkirkannya dari jalanan. Ben masuk mobil lagi, mobil melaju lagi. Reen berucap,

"Kayaknya dilarang nih kesini,"

"Enggak, paling itu badai angin. Disini kan cuacanya ekstrim kalo hujan, Kenapa? Takut?" goda Ben.

"Enggak." jawab Reen santai.

Mereka melaju lambat sekitar 20km/jam karena jalanan yang semakin sempit. Sebuah pertigaan muncul beserta plang pengarah vila yang mengarahkan mereka untuk belok kiri. Mereka ikuti.

____

Mobil melaju lagi, Reen menyandarkan kepala ke jendela mobil. Ia sedikit menoleh ke arah kiri. Samar-samar Reen melihat cahaya oranye menyala-nyala. Semakin detil Reen memandang, terlihat seperti kobaran api yang kecil karena jarak yang lumayan jauh.

Lihat selengkapnya