Ben berjalan santai, membuka rokok dan menyalakannya. Terlihat lapangan basket di tengah vila dari atas lantai, dengan cahaya lampu sorot kebawah lumayan terang. Ben turun lewat tangga lobi, menemui pak Atma. Ben meminta teh hangat, kopi sachet dan air putih literan.
"Pak Atma?" sapa Ben.
"Oh iya mas Ben?" sapa balik pak Atma yang sedang sibuk mengacak meja entah sedang apa.
"Saya boleh minta teh, kopi dan air pak?" tanya Ben
"Astagaaa, saya lupa. Nanti saya antar ke atas." jawab pak Atma, mulai menyiapkan.
"Gausah pak, saya tunggu aja disini,"
"Oh baik, sebentar mas Ben,"
Ben duduk di kursi. Tak lama, Pak Atma memberi semua yang diminta Ben. Pak Atma melihat tatapan Ben yang kosong sambil menghembuskan asap rokoknya. Pak Atma ikut duduk.
"Agaknya hubungan mas Ben dengan anaknya kurang baik ya?" tanya pak Atma.
"Kok tau? Wah dukun nih pak Atma," jawab Ben.
"Wah iya dong, saya dukun tersohor di desa ini, hehehe," canda pak Atma.
"Yaa, cuma mau lebih dekat aja pak. Udah 10 tahun saya gak ketemu anak kandung sendiri setelah bercerai."
"Anak-anak memang merepotkan. Hehehe... Kalau boleh tau, mas Ben kenapa gak temui anaknya selama 10 tahun?" tanya pak Atma lagi.
"Sejujurnya hari ini adalah hari penungguan saya selama 10 tahun. Aneh ya? Nunggu istri mati. Hehehe"
"Ah, saya turut berduka mas Ben," ucap pak Atma.
"Iya makasih pak. Hmm.... Ini kesalahan saya. Sebelumnya kami baik-baik saja. Istri saya bekerja, dan saya penulis. Jadi lebih banyak waktu bersama anak karena kerja dirumah. Sampai disuatu waktu, mertua saya memaksa saya berhenti menulis karena uangnya sedikit, mulai berbisnis dan meminjamkan uang kepada saya. Tapi, saya ditipu orang lain dan justru malah terlilit hutang. Istri saya juga berhenti berkarir saat itu karena insiden resesi tahun 2008. Entahlah, saya gak bilang istri saya ga terima saya apa adanya. Tapi ekonomi memang mempengaruhi keharmonisan kami."
Tiba-tiba Ben mendengar suara langkah kaki diatas, yakin itu Reen menguping. Ben lanjut cerita.
"Suatu malam kami bertengkar karena sudah beberapa bulan tidak berpenghasilan. Jarang ada tawaran menulis, ya begitu jadinya. Susah pak. Mau ngojek gak boleh mertua, mau nguli juga gak boleh. Singkat cerita, dia menggugat cerai. Jujur, saya menikah tidak atas dasar cinta. Hanya sebuah kecelakaan. Tapi, dibalik itu, saya melihat cahaya kebahagiaan saya. Reen tempat saya berteduh dan sumber kebahagiaan saya. Sayangnya, saya kalah hak asuh, karena istri saya cukup kuat relasi. Maklum lah pak, keluarga berada. Bertahun-tahun saya coba move on, memulai dari nol lagi, tapi di waktu itu pula saya merasa tidak ada lagi tujuan hidup buat saya." jelas Ben.
"Luar biasa. Tapi mas Ben gak jawab. Pertanyaan saya, kenapa tidak menemui anaknya sesekali?" tanya pak Atma penasaran.
"Itulah penyesalan terbesar dalam hidup saya. Sebenernya, disuatu sore, saya pernah menemui mereka di taman kota. Saat itu ada pria sedang asyik main dengan anak saya. Dia salah satu bawahan istri saya. Setelah perceraian, jarang saya lihat anak saya sebahagia itu. Mantan istri saya melihat saya dari kejauhan dan mendatangi saya. Kalimatnya cukup sederhana,"
Flashback ibu Reen bicara
Semakin kamu dekati Reen, semakin dia selalu melihat ke belakang.
Ben lanjut cerita.
"Penyesalan saya adalah terlalu takut dengan kalimat itu. Saya terlalu takut dunia luar yang begitu kejam pak. Takut tidak bisa membesarkan anak saya. Dan sekarang rasanya, saya bodoh berpikir begitu. Sekarang ini, rasanya waktu berharga bersama anak saya gak mau berhenti. Kalau bisa, terus begini lah, hehehe,"
Pak Atma memegang puncaknya.
"Waduh saya malah curhat colongan. Maaf ya pak. Ehm saya ke atas ya, nengok anak saya." ucap Ben lemas.
"Iya mas Ben," jawab pak Atma.