Ben berjalan ke arah pagar, Reen datang menyusul dengan langkah kaki kesakitan.
"Lo bohong!!!" teriak Reen.
"Kenapa kamu disini?" ucap Ben segera menghampiri dan memeriksa keadaannya.
"Pembohong!! Pembohongg!!!" balas Reen menghindari tangan Ben marah.
"Reen, kamu kenapa?"
"Lo pembohooooong!!!" Reen menangis.
"Sayang?" ucap Ben kebingungan.
"Aku kehilangan dia Pah, aku kehilangan diaaa, aku keguguraaaan," Reen masih menangis.
Ben memeluk Reen. Dekapan mereka kencang, keduanya menyesal.
"Sayang its OK, yang penting kamu baik baik aja,"
Reen memukul-mukul Ben. Ben memaksa memeluk Reen, Reen berontak, namun semakin menerima.
"Reen, maaafin papa Reen. Semua salah papa, maafin papa Reen" Ben ikut menangis.
Suasana semakin haru, deru angin malam menyepoi, dinginnya merasuk tubuh. Untungnya mereka berpelukan memberikan kehangatannya masing-masing.
Beberapa menit berlalu, Ben dan Reen berjalan ke arah hutan, hendak ke tempat orang gantung diri. Ben melihat ke atas langit, terlihat bulan menjadi dua. Ben tak peduli. Sudah terlalu banyak hal ganjil diluar nalarnya. Mungkin bulan menjadi dua hanya keganjilan remeh dibanding semua keganjilan yang ia alami di Sarandjana. Ya, kota dengan seribu kemisteriusannya terjawab beberapa oleh Ben dan Reen yang mengalaminya secara langsung. Sebuah kisah urban, mungkin mitos setempat tentang apa itu Sarandjana. Kota yang bila ada orang berkunjung kesana, tidak ada yang mau untuk kembali karena kemashuran kota itu dengan kemajuan peradabannya. Entah benar atau tidak, yang jelas Ben mengalami kebalikannya. Bukannya betah, justru mereka harus terjebak ke sebuah kota penuh anomali. Bahkan bukan kota! Hanya seamparan desa kecil yang gelap, dengan hutan yang mengelilinginya. Hening, penuh kejenuhan, dengan orang-orang gila di dalamnya. Pak Atma yang entah siapa sebenarnya, apa motivasinya, semua masih menjadi misteri. Yang jelas, ada Pak Yatna yang penuh rasa syukur hidup disana. Berkat Sarandjana, Pak Yatna bisa selalu ada disamping istri tercintanya. Cinta... Entah apa arti dibalilk kata itu. Kata orang cinta membutakan. Mungkin iya menurut pak Yatna. Entah pak Yatna menyadari atau tidak, apakah ia memikirkan bagaimana rasa yang dialami istrinya? Kesakitan parah, mungkin sekarat, waktu yang tepat malaikat mencabut nyawanya. Kata orang, hal yang paling menyakitkan adalah sakaratul maut. Apakah benar, Pak Yatna seegois itu memikirkan dirinya sendiri alih-alih bisa selalu saling hidup diantara keduanya sampai waktu yang tak terbatas? Terlalu banyak misteri seliweran di Sarandjana. Begitu juga misteri hidup ini yang banyak simpang siur. Yang banyak tanda tanya. Mungkin pak Atma bagian dari orang yang penuh dengan tanda tanya dan segala kerahasiaannya. Pusat penelitian? entah apa yang diteliti. Entah apa tujuannya. Yang jelas, akibatnya dirasakan semua orang termasuk Ben dan Reen yang malang. Dimensi waktu, dunia paralel, supranatural, atau mungkin hantu yang sebenarnya bisa saja pak Atma ketahui dengan keilmuannya. Entah dia sudah menampung semua ilmu pengetahuan yang terlalu maju itu atau belum. Hingga ada sebuah pertanyaan yang cukup terkenal di dunia ilmu penelitian. Apakah manusia dengan segala kekurangan dan kapasitasnya bisa menampung semua fakta tabir alam semesta yang penuh misteri ini?
Angin malam kembali merasuki tubuh Ben dan Reen yang malang dengan cara berjalannya seperti tanpa harapan. Reen digendong Ben.
Gelagat mereka seperti manusia tanpa jiwa. Cara jalannyapun demikian. Reen yang putus asa, dan Ben yang juga hampir putus asa. Ben berjalan kosong berpenampilan lusuh dan penuh dengan darah. Wajah mereka pucat, kantung matanya hitam. Langkah mereka hampir mendekati rumah itu.
Sampai depan rumah, Ben dan Reen masuk kerumah itu. Ben menyuruhnya tunggu dipintu.
"Sayang, ada yang harus ayah akui… Semua ini salah ayah. Perceraian itu... salah ayah. Ayah…. terlalu….. jahat,” sesal Ben sambil menangis.