“Dia gila. Perempuan sundal!”
“Perempuan sinting pengganggu rumah tangga orang, pantaslah jika sekarang menderita sakit jiwa.”
“Dulu, saat dia waras, harusnya kita bakar saja.”
Dengungan lebah ibu-ibu komplek Dusun Manggung Asri memekakkan telinga. Aku tertegun menatap ke arah wanita muda berusia tiga puluhan. Sosok yang tiada habisnya jadi pergunjingan. Bahan gosip paling renyah. Ya, dialah Saraswati.
Mataku panas. Wanita itu gila. Benar-benar gila. Binar matanya ceria menatap polos ke kumpulan penggosip. Tersenyum hangat. Lesung pipinya terlihat memesona.Aku tambah terpaku, saat Saraswati berlari kecil ke arah sekumpulan manusia yang membencinya. Tahukah apa yang terjadi? Hal mencengangkan. Ya, dia memungut sampah-sampah. Memasukannya ke dalam keresek hitam. Tertawa puas. Benarkah orang gila ini sejahat yang mereka gosipkan?
Sudah sebulan aku dipindah tugas ke luar kota. Mengontrak di samping rumah ibunya Saraswati. Dari awal tinggal di sini, tiap waktu luang, perhatian tertarik kepada sosok Saraswati. Wanita muda berusia tiga puluhan. Jika dilihat sepintas, siapa yang akan mengira jiwanya terganggu? Gurat kecantikan jelas terlihat.
Bola mata bulat berwarna coklat terang. Mempunyai hidung mancung, berdagu belah. Ada lesung pipi. Giginya sangat rapih. Bukan itu saja, tinggi badannya sangat proporsional. Prediksiku, Saraswati dulunya pasti jadi rebutan para pria.
“Dia itu anak ibu satu-satunya,” ucap Mak Ijah, ibunya Saraswati, saat aku membeli sembako di warungnya.
Ya, Saraswati sudah tidak punya ayah. Ibunya banting tulang mencari nafkah sendiri. Mengurus anaknya dengan sabar. Satu hal yang membuatku heran. Dia tidak seperti orang gila kebanyakan yang berdandan compang-camping. Cukup bersih. Tapi tetap saja kelakuannya aneh. Sangat suka mengumpulkan sampah dan menggundukannya di tempat kesukaan.
Mak Ijah memberikan satu ruangan khusus untuk anaknya di belakang rumah. Temboknya tidak tertutup, diberi pintu kayu. Jadi Saraswati bebas hilir mudik semau sendiri. Walaupun begitu, saat magrib tiba, tidak pernah terlihat kelayapan. Apalagi kalau hujan, Saraswati selalu ditarik ibunya ke dalam rumah. Tidak peduli dengan kesinisan tetangga.
“Sejak kapan Teh Saraswati jiwanya terganggu, Mak?”
Penuh kehati-hatian aku bertanya. Bagaimanapun, tiap hari sepulang kerja, selalu ada yang berdesakan minta jawaban. Sebuah rasa penasaran.
“Dulu, Neng Saraswati teh sangat pintar. Selalu hangat dan ramah pada siapa saja. Bahkan anak-anak senang diajari belajar membaca olehnya. Emak-”
“Teh Saras pernah jadi guru?” Rasa penasaran menelikungku. Memotong ucapan Mak Ijah.
“Iya, si neng teh jadi guru honorer di SD selama empat tahunan. Dulu dia sangat pintar. Bahkan lulus dengan gelar cumdud atau apa ya?” Mak Ijah tersenyum kecil. Matanya menerawang, mengingat-ingat.
“Cum Laude, Mak.” Aku meluruskan ucapannya.
“Iya, itu. Dulu dia sangat periang. Hingga suatu waktu berubah drastis. Ibu-ibu di komplek menggosipkannya dengan hal yang sungguh hina. Emak percaya Neng Saras, dia tidak mungkin seperti itu. Puncaknya setengah tahun kemudian. Anak emak rajin bercermin, tertawa-tawa sendiri lalu menangis tanpa sebab, teriak-teriak, membanting apa saja yang ada di depannya.”