Tujuh tahun lalu
Malam merangkak naik. Sebuah angka muncul di kotak inbox facebook-ku, ada desir aneh mengikuti, apa dia lagi? Seorang lelaki aneh yang rajin berkomentar di postinganku, bahkan untuk cerita picisan yang kutulis. Sejak SMA kelas tiga aku memang suka menulis, entah itu puisi picisan, atau cerita murahan.
Dua tahun lalu aku bergabung dengan beberapa komunitas grup menulis di dunia maya, sejak itulah permintaan pertemanan di akun medsosku membludak. Entahlah mereka menyukai diriku, atau karyaku? Toh di dunia menulis itu aku memakai nama pena, yup sebuah nama pena yang sangat kusukai. Amaryllis. Sebuah bunga berwarna merah cantik dan megah.
Kau tahu? Seorang kawan dekatku yang tahu nama penaku berkelakar menyebalkan,
"Saras, kamu ini aneh, masa milih nama pena Amaryllis, kan menakutkan nama itu," kelakarnya saat itu. Mata Dean mengerling usil ke arahku yang lagi asyik mengetik di keyboard laptop.
"Justru Amaryllis itu aku banget, cocoklah pokoknya buat wanita secantik aku," narsisku. Tawa Dean meledak. Aku hanya meringis.
Jika membahas masalah cantik, tentu saja Dean kalah, aku pastinya lebih cantik. Bisa gawat kalau dia lebih cantik, kan cowok tulen. Sebenarnya ada suatu rahasia yang membuatku jatuh hati pada nama Amaryllis. Kamu tahu legenda yang menelikung bunga Amaryllis? Sungguh tragis dan menyedihkan.
Menurut legenda, Amaryllis adalah nama seorang peri cantik, pemberani, teguh, dan baik hati. Dia jatuh hati pada seorang gembala, nama lelaki penggembala itu adalah Alteo. Seorang pemuda dengan wajah sangat tampan ibarat Apollo dan tangguh serta kuat, mirip Hercules. Apa mau dikata, cinta Amaryllis bertepuk sebelah tangan.
Yup, Amaryllis patah hati, namun berdasarkan nasehat dari seseorang yang dipercayainya untuk meluluhkan Alteo, Amaryllis pun mendatangi rumah pemuda itu, mengenakan gaun paling indah dan mewah, berwarna putih bersih dan cemerlang. Dia mengetuk pintu, namun tetap tertutup. 30 hari berlalu, sesaat sebelum hari ke-30, dia menusukkan panah emas tepat ke hatinya.
Darah bersemburat di sekujur badannya, merahnya semburat itu berubah menjadi kuncup-kuncup bunga yang memekar, berwarna merah. Alteo pun membuka pintu di hari ke-30, dia takjub dengan pemandangan sekitarnya. Bunga indah berwarna merah memenuhi teras dan jalan di sekitarnya, itulah wujud cinta Amaryllis, tetap menjadi berguna, meninggalkan keindahannya walau sudah tiada.
Dean selalu paranoid dengan sebuah nama, dia selalu menakutiku dengan akhir yang tragis. Halah siapa yang tahu akan apa yang akan terjadi di kemudian hari? Tapi tiba-tiba saja aku merindukan sosok sahabat usilku itu, sejak lulus kuliah tiga tahun lalu, dia pergi, melanjutkan kuliahnya ke luar desa. Entah luar desa sebelah mana. Dia tak pernah bercerita.
Aku jadi curiga, jangan-jangan bukan luar desa, tapi luar negeri. Paling kalau didesak pertanyaan, dia hanya berkelakar, luar negeri? Ngawur, duit dari mana, jelasnya aku lanjut kuliah di luar desa dan kota, agak sebelah timur, dekat gang buntu, samping kantin mak Icih. Huah, sungguh menyebalkan bukan? Dia memang sosok yang agak kocak. Menurut beberapa temanku, dia ada hati denganku. Bukannya aku buta dan tidak tahu, namun sepertinya berpura-pura adalah jalan terbaik. Perasaanku padanya hanya sebatas sahabat. Tidak lebih.
Kamu tahu? Bagi orang kampung dan anak yatim macam aku, sudah bisa lulus kuliah saja merupakan kebahagiaan tersendiri. Dean memang rutin memberiku kabar, dia selalu bercerita tentang aneka bunga yang lebih hebat wujud dan namanya dibandingkan Amaryllis. Memamerkan lewat foto-foto yang dikirimnya ke ponselku. Dia bahkan menawariku agar mau pergi menyusulnya.
Dean tahu duniaku adalah tulisan, dia menawarkan berbagai bea siswa dari berbagai perusahaan yang baru kudengar. Dasar anak usil, siapa juga yang mau ke desa antah berantah, cuma demi melihat berbagai bunga? Dia paling cuma tertawa jika aku mengomelinya. Paling tidak cerita tentang desa yang dipenuhi bunga dan keusilannya menginspirasiku melahirkan tulisan dan cerita buat anak-anak di Sekolah Dasar tempatku mengajar.
Kembali pikiranku ditarik dari perasaan di masa lalu ke masa kini, beranda facebook ramai, angka di inbox facebook berubah menjadi 3, jempol mengklik kolom message. Tap! Sebuah pesan muncul sempurna. Sekejap, pesan itu membuat bulu kudukku merinding.
Amaryllis, kamu siap menyemburatkan darahmu? Bukankah aku sudah bilang, jika tidak bisa memilikimu, maka tak akan ada siapapun yang bisa memiliki jiwa maupun tubuh indahmu itu.
Tunggu aku di malam gelap milikmu, aku akan datang!