Mataku mengerjap pelan. Silau. Sepertinya sinar matahari menerabas jendela di samping tempatku berbaring. Bau harum bunga mawar meruap, menyusup ke indra penciumanku. Mata mengedar mengenali tiap jengkal ruangan yang terasa asing. Dinding-dinding ruangan tempatku berada terbuat dari bilik anyaman bambu. Tunggu, kepala berusaha mengingat kejadian semalam Rasanya masih terasa berat. Ingatan samar membuat raga merinding takut.
Aku tertegun lama, mengedarkan pandangan ke tiap penjuru ruangan. Di mana ini? Saat raga ingin terbangun, hanya berhasil duduk, kemudian rasa sakit menjalar di kaki. Hanya bisa mengaduh pelan dan meringis.
"Jangan banyak bergerak dulu, kakimu terkilir, tersandung akar di hutan." Suara bariton seorang pria memecah keheningan.
Aku hanya bisa duduk dengan susah payah, bola mataku bergerak ke arah datangnya sumber suara, tepat di depan pintu yang hanya terhalang tirai.
"Siapa kamu?" tanyaku, waspada. Entahlah, kini seolah semua orang adalah musuh dan dia adalah sosok yang harus diwaspadai.
"Aku Ardi," ucapnya, dia tersenyum tipis menatapku yang kini penuh rasa waspada.
Tangan Ardi memegang semangkuk makanan. Dia berjalan santai, mendekat, dan duduk di dipan tempatku berbaring.
"Masih pusing? Makanlah sup hangat ini agar tubuhmu kembali segar."
"Apa yang kamu lakukan semalam?" Mataku memicing tajam. Ya, ingatan menyeruak ke kejadian semalam, dialah lelaki yang membuat diri ini tak sadarkan diri.
"Maaf, semalam aku terpaksa membekap wajahmu dengan sapu tangan yang telah dibasahi Chloroform."
"Kamu membiusku! Untuk apa? Dan di mana ini?" teriakku, lantang. Memberondongnya dengan pertanyaan.
Ardi hanya tersenyum bingung menatap wajahku, matanya berkedip-kedip, tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Sabar, pelan-pelan. Pertanyaannya satu-satu ya. Jelasnya, aku bukan orang jahat." Dia mencoba meyakinkanku.
"Orang baik tak mungkin membius wanita yang baru ditemuinya," ucapku, dingin.
"Ya, aku memang bukan orang baik, tapi bukan berarti berniat menyakitimu. Hal itu terpaksa dilakukan."
"Terpaksa? Apa maksudmu? Sebenarnya ini di mana?" tanyaku, rasa penasaran terus saja hinggap.
"Makanlah dulu supnya, setelah makanan ini habis, aku akan menjelaskan semuanya." Ardi menyodorkan sendok ke depan wajahku.
Tentu saja aku menolak disuapi olehnya. Lelaki asing yang bahkan tak tahu identitasnya. Dengan jengkel merebut mangkuk sup yang dipegangnya. Memakan sup tersebut dengan tergesa-gesa.
"Pelan-pelan, nanti tersedak," ucapnya, perhatian. Dia menatapku dengan wajah senang dan tatapan aneh. Aku hanya mengerling tak suka, lantas melanjutkan makan.
***
Tujuh Tahun Lalu
"Kaki Kitty terpotong? Manusia seperti apa yang tega menyakiti kucing selucu ini?" Pak Rt menggelengkan kepala kuat-kuat. Mungkin dia juga kaget ada orang yang tega melakukan hal seperti itu.
Rafa, salah satu mantri Desa, konsentrasi membalut kaki Kitty dengan serius. Ya, malam ini kampungku gaduh. Sesaat setelah malam cekam penuh dengan ancaman di inbox akunku, di tirai jendela kamar terlihat rembesan darah Kitty. Saat itu kucing malang tersebut mengeong lemah. Ternyata badannya ditali ke kayu-kayu palang jendela, sementara kakinya sudah putus satu, menyisakkan darah yang masih menetes.
Saat itu aku langsung menjerit, panik, dan gemetar. Emak yang lagi tertidur pulas langsung terbangun, menghampiri dan ketika melihat apa yang terjadi, dia langsung berlari menuju arah pos ronda. Membunyikan kentongan dan pergi menemui Pak Rt. Hampir semua warga Komplek Dusun Manggung Asri terbangun. Beberapa pria dewasa tampak siaga, sebagian dari mereka bahkan memeriksa ke hutan dekat desa. Hanya hutan terlarang yang tidak diperiksa.
Ya, di Dusun ini selain dekat dengan hutan biasa, di arah selatan Desa ada hutan terlarang. Di sana masih banyak binatang buas, para warga dilarang memasukinya jika ingin nyawanya selamat. Apa mungkin orang yang mengancamku bersembunyi di hutan itu? Bahkan warga tidak menemukan siapapun yang mencurigakan. Dusun Manggung Asri jauh dari kota, jadi akan mudah dikenali jika ada sosok asing yang baru menetap di sini atau bukan penduduk asli.
Malam itu gubuk emak ramai oleh penduduk desa yang rata-rata dari mereka penasaran atas kronologis kejadian pengancaman terhadao diriku. Bahkan Pak Jarwo, Lurah di desa ini, menyempatkan diri datang. Dia mencoba menenangkan aku dan emak. Berkali-kali dia menepuk bahuku.
"Kita pasti akan menemukan penjahat yang tega mengancam Neng Saras, kok bisa dia tuh tega pisan. Anggap saja bapak ini abah kamu, kalau ada apa-apa langsung hubungi aja, jangan ragu ya." Wajah Pak Lurah serius sekali, Bu Lurah juga tak kalah baik dengan suaminya, dia merengkuhku, mencoba menenangkan.
Rasa kekeluargaan di Desa memang beda dengan di kota. Semua penduduk Dusun Manggung Asri telah kuanggap sebagai keluarga. Terbukti mereka dengan suka rela mencoba menenangkanku dan Emak, berusaha menemukan si pengancam, bahkan beberapa warga, ibu-ibu, ada yang sengaja menemani kami hingga bermalam di bale-bale depan rumah.