SARI, Arwah Penasaran yang terundang

Efi supiyah
Chapter #5

GARA-GARA GENIT


Malam merambat, adzan isya' sudah terdengar sejak tadi, jamaah dari langgar juga sudah berduyun-duyun keluar dan kembali pulang ke rumah masing-masing. Hari ini dagangan bakso yang Mamat jual agak sepi pembeli. Padahal saat cuaca dingin apalagi sehabis hujan sore tadi, biasanya dagangannya akan ramai diserbu langganan.

Tentu saja, saat cuaca dingin memang paling pas menikmati yang hangat-hangat seperti bakso. Tapi malam ini justru berbeda. Banyak langganan baksonya yang sudah menutup pintu rumahnya rapat-rapat sejak sore, rupanya mereka lebih memilih mencari kehangatan dengan bergelung di tempat tidur daripada menikmati semangkok bakso dagangannya.

Setelah berkeliling di dua kampung tempat ia biasa menjajakan baksonya, Maman memutuskan untuk pulang dengan rute yang sama, meskipun sisa dagangannya masih lumayan. Biasanya, kalau sisa dagangan masih banyak, Maman akan mengambil jalan memutar untuk pulang sekalian menjajakan sisa dagangannya. Tapi jika dagangannya habis, ia lebih memilih kembali melalui rute yang tadi dilaluinya saat berangkat untuk menghemat waktu dan tenaganya karena rutenya lebih pendek.

Perlahan Mamat mendorong gerobak baksonya melalui jalan kampung yang masih basah sisa hujan tadi sore, di beberapa tempat yang tanahnya ambles dan berlubang malah terdapat genangan air. Dengan bantuan sinar lampu petromax yang diletakkan di dekat dandang kuah bakso Mamat menyusuri jalan kampung yang gelap itu.

Tak ada sedikitpun rasa takut di hatinya. Berjualan bakso keliling kampung sudah dilakoninya selama bertahun-tahun. Ia sudah mengenal betul keadaan dan suasana kampung yang selalu aman walau sepi. Kalaupun ada berita kejahatan yang terjadi, pasti tak jauh-jauh dari pencurian ternak atau unggas yang dipelihara warga. Pelakunya pun bukan orang jauh, paling-paling ya warga kampung itu sendiri. Yang jelas selama ini, kehidupan di kampung yang sepi itu selalu adem ayem saja.

Entah sudah jam berapa saat Maman sudah mulai memasuki kampung tempat tinggalnya, melalui ujung kampung yang berbeda dari rumahnya. Suasana benar-benar telah sepi.

Dari kejauhan dilihatnya lampu jalan yang berada tepat di depan rumah besar keluarga Sanwani bersinar temaram. Di sepanjang jalan itu, malam ini cuma lampu di rumah itu yang terlihat masih menyala walau hari hujan. Karena lampunya adalah lampu listrik. Sementara penerang jalan dari warga lain biasanya adalah lampu minyak atau obor yang akan mati saat hari berangin atau hujan.

Ada sedikit harapan di hati Mamat untuk bisa mendapatkan uang tambahan dari dagangannya. Biasanya, anak-anak di keluarga Sanwani selalu membeli baksonya. Mereka adalah langganan tetap bakso dagangannya.

Tadi sore, mereka belum membeli bakso karena saat melewati depan rumah besar itu, hujan masih turun dengan lebatnya dan pintu pagar rumah besar itu tampak tertutup rapat meskipun pintu rumah terlihat terbuka.

Dengan penuh semangat Mamat mendorong lebih cepat gerobak baksonya mendekati rumah besar keluarga Sanwani. Tapi sayang, saat sampai ternyata pagar rumah itu masih tertutup rapat. Sekarang bahkan pintu rumahnya pun sudah terkunci. Lampu teras juga sudah dimatikan. Itu artinya semua penghuninya sudah tidur. Pupuslah sudah harapannya.

Tapi tunggu!

Sesaat sebelum Mamat mendorong lagi gerobak baksonya, sudut matanya menangkap gerakan seseorang dari arah rumpun pohon bunga kacapiring yang tumbuh di sudut halaman.

Mamat menajamkan pandangannya. Di sudut halaman itu memang gelap, apalagi lampu teras yang sudah dimatikan membuat sudut itu tak terjamah sinar. Mendung yang menggelayut di langit juga menyembunyikan rembulan. Larik sinar lampu jalan yang berwarna kekuningan juga tak mampu menembus kepekatan

malam hingga ke sudut itu.

Sinar lampu petromax di ujung gerobaknya juga makin melemah

sinarnya, pertanda minyak tanahnya juga mulai menipis. Mungkin sebentar lagi, lampu petromax nya juga akan padam.

"Siapa itu?" tanya Mamat masih menajamkan pandangan mencoba mengenali sosok yang terlihat mulai bergerak mendekatinya.

"Saya, Cak!" Samar-samar Mamat melihat sosok perempuan terlihat dari pakaian yang dikenakannya berupa jarik yang menutup dibawah lutut serta kebaya berwarna terang mendekat dari balik pagar yang tertutup rapat.

"Lho, kamu siapa? Apanya Lek Sumini?" tanyanya setelah merasa tak mengenali sosok perempuan asing yang berada di dalam rumah keluarga Sanwani yang terlihat tertutup rapat itu dengan nada curiga.

Lihat selengkapnya