Aku memasuki gerbang sekolah yang sudah tiga hari ini kulewati. Tidak berubah, warnanya tetap biru. Biru kusam tepatnya. Yang lebih aneh lagi, sekolah ini adalah sekolah SMK Akuntansi terbaik di Bandar Lampung. Bukan kaleng-kaleng.
Setiap tahun, sekolah ini selalu menjadi juara dalam ajang perlombaan akuntansi baik di kota, provinsi dan nasional. Namun, kalau kau melihat gedung sekolah ini secara langsung, bisa dibilang bentuknya mirip seperti kotak sabun.
Entahlah, apakah sekolah terkenal ini tidak ada biaya bahkan untuk sekedar memperbarui warna cat dindingnya? Benar-benar tidak menarik. Mendengar nama sekolah ini, orang-orang selalu berpikir bahwa sekolah ini adalah salah satu sekolah elit di kota Bandar Lampung. Namun, jangan tanya soal bangunannya. Aku pun masih bertanya-tanya. Dikemanakankah uang bangunan yang setiap tahun diterima saat tahun ajaran baru?
Seluruh siswa baru berkumpul di satu ruangan yang lumayan besar. Namun belum layak kalau disebut aula. Lebih tepatnya mungkin aula dadakan, karena angkatan siswa baru tahun ini dipaksa duduk tiga orang pada sebuah meja.
Tidak ada wajah yang menarik untuk ditelisik. Wajah-wajah baru itu umumnya bermata segaris. Meski aku salah satu dari mereka; keturunan keluarga bermata segaris. Aku bahagia sempat tidak memilikinya di masa sekolah.
Tepat pukul 7. Kami berbaris rapi di lapangan. Dipantau oleh kakak-kakak kelas yang sengaja memanfaatkan momen ini untuk memamerkan muka yang lumayan atau sikap yang dingin namun menjurus ke arah galak. Kami masih mengenakan seragam SMP sekolah sebelumnya.
Sinar pagi begitu menyengat. Aku menyesal mandi buru-buru. Keringat mulai mengucur. Di dalam pikiranku, seandainya tadi aku mandi sedikit lebih lama, pasti aku tidak merasa sepanas ini. Mandi buru-buru kurang membuat tubuh menjadi segar. Rasanya aku ingin berendam di bak yang sering Mama gunakan ketika aku masih bayi.
Tak lama kemudian, kepala sekolah berambut putih memberikan sambutan. Senyumnya tulus, tawanya tak palsu. Seperti senang dengan kehadiran kami sebagai keluarga baru untuk tiga tahun ke depan. Bapak itu mengeluarkan kalimat basa-basi untuk mengulur-ngulur waktu. Aku bosan, karena bagiku mendengarkan ceramah seperti ini; tak bermanfaat. Dan aku yakin juga bahwa bapak itu paham jika sebagian dari kami tak mendengarkan.
Aku ingin melanjutkan peperangan dengan Cosa Nostra itu. Padahal butuh satu detik lagi bagiku untuk menekan pelatuk dan misiku berhasil. Itu adalah misi pertama yang gagal aku lakukan setelah belasan tahun lahir ke bumi.
Calon temanku berjumlah 89 orang. Jika aku termasuk, maka 90 orang adalah jumlah siswa kelas X tahun ini, 2010.
Setelah bapak kepala sekolah itu memberikan sambutan, ia undur diri. Seorang guru perempuan berambut tebal mirip dengan Dora tapi versi tuanya gantian naik untuk mengumumkan pembagian kelas. Sesuatu yang sudah kutunggu-tunggu.
Nama-nama yang sudah disebutkan masuk ke kelas yang ditentukan. Aku ditentukan untuk masuk di kelas X Ak 2 bersama 29 calon temanku. Aku bergegas menuju lantai tiga. Di lantai itu, ada tiga ruang kelas. Kelasku berada di tengah. Berhubung namaku disebut di pertengahan, aku bisa memilih bangku sesuai selera.