Bu Anna menunjuk beberapa siswa sebagai penanggung jawab kelas. Clara yang wajahnya mirip sekali dengan Mikha Tambayong dipilih Bu Anna sebagai ketua kelas. Sikapnya yang memiliki jiwa kepemimpinan menjadikan ia kandidat terbaik untuk mengemban tugas itu.
Jonas dipilih sebagai seksi keamanan. Tugasnya menjaga kelas supaya tidak berisik. Padahal, Jonas itulah biang kebisingan di kelas selama beberapa hari ini. Hal yang lebih aneh lagi adalah Bu Anna menunjukku sebagai seksi kerohanian. Agen rahasia bertugas setiap hari sebagai pemimpin doa? Apakah aku dan Jonas ditugaskan untuk bercermin pada diri sendiri?
Oleh karena itu, tugasku setiap hari memilih lagu pujian dan memimpin doa baik setelah masuk dan sebelum pulang sekolah. Lama aku memikirkan judul lagu yang enak dinyanyikan, enak dalam artian liriknya singkat sehingga kami bisa cepat pulang. Akhirnya, setelah lama berpikir, aku menemukannya.
Sekolah di sini tidak membosankan seperti yang aku bayangkan. Melanjutkan pendidikan di SMK bukanlah kemauanku. Awalnya aku ragu, apalagi orang-orang yang usianya jauh lebih tua dariku mengatakan bahwa belajar akuntansi lebih sulit dari pada matematika. Matematika aku sama sekali tidak paham. Waktu UN, aku mengambil kursus private selama beberapa waktu agar bisa mengejar ketertinggalan.
***
Tawaku tidak bisa berhenti. Karena ulah Sheny, karena kepolosannya, kami dibuat tak percaya. Bagaimana ada manusia sepolos itu di zaman sekarang ini. Sheny adalah orang yang memberikan aku tango vanilla di akhir perjamuan kasih waktu itu. Kami jadi dekat karena sikapnya yang supel dan ramah. Jaraknya dari tempat dudukku juga tidak jauh. Urutan ke tiga dari belakang. Urutan ketiga dari depan. Artinya, ia berada di tengah-tengah.
“Jadi lu nggak tau terminal itu di mana?” Sumpah, aku tidak pernah percaya ada orang sepolos dan selugu dia.
“Di bawah Ramayana itu kan?” katanya memastikan.
“Woy, Sheny! Itu mah bukan terminal. Di Sukaraja tuh namanya terminal. Di bawah Ramayana mah tempat ngetem angkot!” terang Della. Pembicaraan kami ini sebenarnya tak penting. Hanya berupaya mengetes pengetahuan umum yang dimilikinya.
“Oooo... Gua kira itu terminal.”
“Sumpah ngakak,, perut gua sakit!” kata Vira sambil memegangi perutnya. Semua orang tahu bahwa di bawah Ramayana itu bukan terminal. Sepertinya Sheny terlalu lama bertapa di rumahnya sendiri. Sebagai anak bungsu dan selisih tahunnya hingga belasan dari kakak-kakaknya, bisa dipastikan kalau ia jarang untuk ke luar rumah.
Kami kehabisan tenaga. Muka lugunya benar-benar membuat siapa saja yang baru mengenalnya akan terpingkal-pingkal.
“Maaf sih, gua kan nggak tau..” Suaranya begitu lesu. Mungkin terlampau malu karena pengetahuan dasar saja ia tidak tahu.
“Makanya sekali-kali jalan-jalan, Sheny,” kata Della menghibur.
"Ih, gua sering lewat loh. Kan rame terus, banyak angkotnya. Makanya gua pikir terminal." Ia berupaya membela diri.
Melihat wajahnya yang begitu malu, aku tersenyum dalam hati. Di tahun 2010 ini, ada juga orang yang tidak tahu terminal itu di mana. Sepertinya selama satu tahun nanti, akan banyak kejutan-kejutan yang akan terjadi. X Ak II berisi anak-anak yang menyenangkan. Tidak hanya itu, Bu Anna juga sepertinya akan menjadi guru yang mengasyikkan.
Ramayana adalah salah satu departement store yang ada di Bandar Lampung. Hanya, tempatnya tidak seperti yang dibayangkan pada umumnya. Di lantai bawah Ramayana, angkutan umum sering lewat untuk menurunkan penumpang dan perhentian angkot untuk sekedar menunggu penumpang. Ramayana di sini adalah simbol pergantian rute dari angkot rute Teluk Betung, Antasari, Pahoman, dan Rajabasa. Jadi, wajar saja jika Sheny menganggap Ramayana adalah salah satu terminal yang ada di kota kami. Bodohnya, aku juga jadi berpikir keras. Apa Sheny benar? Apa di bawah Ramayana itu terminal? Di dekat Ramayana, Stasiun Kereta Api Tanjung Karang berdiri megah. Apa kami yang salah dan Sheny yang benar? Entahlah.
***
Saat jam istirahat, Della dan Vira mengajakku untuk mengantre mie ayam Pak De kesukaan mereka. Aku sebenarnya enggan untuk bergabung. Sejak SMP, aku selalu menghindar untuk makan di tempat keramaian. Seorang agen rahasia makan di tempat ramai? Bagaimana kalau banyak yang melihat? Bagaimana kalau ada musuh yang menyerang? Ketakutan-ketakutan itu terus mengisi kepalaku hingga penuh, sampai akhirnya aku tetap mengikuti ajakan mereka karena merasa tak enak hati.
Kami terlambat beberapa menit karena aku yang terlalu banyak berpikir mau atau tidak. Konsekuensinya, kami harus mengantre di gerobak kecil yang ukurannya tak lebih dari 60 x 120 cm. Benci sekali harus berdempet-dempetan dengan kakak kelas yang juga ingin makan mie ayam. Pak De adalah satu-satunya penjual mie ayam di kantin sekolah.
“Gua nggak jadi, lah,” kataku. Pak De hanya seorang. Sementara kami yang ingin makan mie buatannya berjumlah puluhan. Gerobak Pak De yang terletak di samping tembok kantin, kami kerubungi sehingga sebagian jalan menuju parkiran motor tertutup.
“Ih, kenapa, Feb?” tanya Vira. Ia sedang berupaya memanfaatkan tubuhnya yang pendek itu untuk menyelinap dan mendekati Pak De agar pesanan kami dibuat duluan.
“Antri. Kapan makannya ini mah? Ckckck...”
“Sabar sih, kalo nggak lo duduk aja. Ntar mie lo gua yang bawain,” ujar Della. “Tenang aja, Vira pasti bisa bikin Pak De ngebuatin mie kita duluan.”
Tanpa menolak, kuputuskan untuk mencari tempat duduk. Tidak baik menolak kebaikan teman. Aku melayangkan pandangan ke seluruh penjuru kantin. Semua tempat duduk terisi. Ada juga yang kosong, tetapi itu di wilayah kakak kelas. Aku tidak mengenal mereka.
“Febri!!” Sheny tiba-tiba melambaikan tangannya. Ia sedang menunggu pesanan arema. Aku menebaknya karena bangku yang didudukinya bersebelahan langsung dengan etalase miliki mbak arema. Kebetulan bangku panjang yang diduduki itu masih kosong. Cukuplah untuk kami bertiga.
Aku bergegas. Sebelum sampai, aku harus melewati beberapa meja yang diduduki oleh kakak kelas. Berkutat dengan kerumunan orang yang sedang memesan sarapan pagi mereka. Di kantin ini juga tersedia nasi campur. Anak laki-laki kuketahui lebih suka membeli nasi campur. Dengar-dengar, nasinya bebas mau sebanyak apapun. Penjualnya adalah tante-tante bersuku Batak.
“Gila lu makan cabe pake arema apa makan arema pake cabe?” Aku terkesiap ketika melihat betapa ganasnya ia menuangkan seluruh sambal di mangkuk kecil ke mangkuk aremanya.
“Ih, nggak enak loh kalo nggak pedes,” belanya sambil mengaduk-ngaduk kuah yang mulai berubah warna menjadi merah merona. Kemudian, ia mengambil botol kecap, lalu memencet tubuh botol itu sehingga cairan hitam pekat mendarat mulus di kuah merah aremanya. Warna kuah bercampur padu. Juga rasanya. Pedas, manis, nano nano.
“Ya nggak gitu juga kali. Bisa mencret lu.”
10 menit kemudian Della dan Vira datang membawa 3 mangkuk mie ayam. Mereka makan dengan lahap. Sementara aku, diam-diam memandangi orang di sekitar sebelum memasukkan sumpitan mie pertama ke dalam mulutku.
“Kenapa lu, Feb?” Sheny keheranan.