sari pati

F. Chava
Chapter #4

Hutan Monyet

Semenjak pulang naik angkot bersama, aku jadi dekat dengan Sheny. Perasaan yang berbeda benar-benar terasa saat aku berbincang dengannya. Dia berbeda, sangat berbeda. Mungkin kalau dijelaskan, tidak pernah kutemukan sosok teman sepertinya.

Kepada semua orang, dia selalu hangat dan ramah. Dia juga tidak pernah marah. Sabar terhadap semua anak yang ada di kelas. Dia tidak pilih-pilih teman. Aku melihatnya seperti malaikat yang tersasar dan tidak bisa kembali.

"Feb, tukeran nomor hp dong," katanya saat jam istirahat berlangsung.

"Buat apa?"

"Ya buat sms-an lah! Emang lu nggak mau sms-an sama gua?"

"Nggak. Ngapain?"

"Ihhh!!" desisnya. "Udah mana nomor lu, biar gua save. Masa kita satu kelas tapi nggak tukeran nomor hp?"

Karena merasa tidak enak hati, aku memberikan nomor hp-ku kepadanya. "Tapi jangan sms tiap hari ya? Gua nggak suka sms-an. Sukanya ngayal."

"Ntarlah gua sms-in lu terus. Ganggu khayalan lu! Hahaha." Iseng sekali niatnya itu. Namun, rata-rata remaja seusiaku menghabiskan waktu dengan bertukar pesan bersama teman-temannya. Hanya aku yang berbeda mungkin. Pernah sekali waktu aku meladeni salah seorang teman dekatku berkirim pesan. Alhasil, jempol kiriku bengkak karena tak biasa.

"Liat aja nggak bakal gua bales." Aku mengancam.

"Hahahaha." Ia tertawa lepas.

***

Ada seorang siswa laki-laki bernama Ferli, sudah beberapa hari ini ia mencoba mendekatkan diri. Sekedar mengobrol tentang jawaban soal, menanyai halaman, dan bersenda gurau.

Ferli yang awalnya malu untuk meminta tolong, akhirnya berani menyatakan niatnya melalui pesan singkat. Aku berencana untuk membantunya. Lagipula, ia adalah siswa yang baik. Jadi layak untuk dibantu. Della dan Vira kuajak untuk melancarkan rencana tersebut.

Sabtu pagi, Ferli menjemputku. Aku mengajak Della dan Vira. Juga Sheny, yang di mana adalah alasan mengapa Ferli meminta tolong. Cintanya ditolak, mentah-mentah. Ia tahu bahwa aku dekat dengan Sheny, ini semacam mak comblang tanpa arah. Aku yang tak pernah berpacaran tiba-tiba harus ikut-ikutan bermain di dalam perasaan yang saling bertolak belakang.

“Del, dmn lu?” aku mengirimkan pesan singkat. Kami janjian untuk main basket bersama pukul 9 pagi. Acara yang sebenarnya kuatur hanya untuk menolong Ferli.

“.gguw bLom djmpt sMa viRa, feb. lLo di anam?.”

“Gw udh sm ferli nih. Tgl jemput sheny.”

“.y gmNa geH. viRa bLom jmpt gguw.”

“Ok, gw jemput sheny dulu ya. Kita ketemuan di rumah sheny.”

“.oke.”

Dengan modal nekat, aku pergi menyusul Sheny. Ia tak tahu kalau Ferli turut serta. Tiba di depan rumahnya, aku menghubunginya. Beberapa menit kemudian, ia muncul dengan kaus putih, celana pendek, dan sepatu reebok putih. Ia tersenyum melambai ketika muncul di muka pintu.

Tatap matanya berubah drastis ketika melihat sosok Ferli yang jangkung bersandar di tembok depan rumahnya.

Lihat selengkapnya